Industri Diminta Membayar 1,2 Miliar Dollar AS Terkait Cemaran PFAS
Tiga produsen bahan kimia diminta membayar miliaran dollar AS atas cemaran PFAS di air minum. Bagaimana dengan situasi cemaran bahan kimia yang sulit terurai ini di Indonesia?
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga produsen bahan kimia besar menyatakan bakal membayar hampir 1,2 miliar dollar AS untuk memenuhi gugatan bahwa mereka telah mencemari sumber air di seluruh Amerika Serikat dengan per- and polyfluoroalkyl substances atau PFAS. Bahan kimia beracun ini dikenal memiliki karakteristik susah terurai di lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia, di antaranya memicu gangguan imunologis, reproduksi, perkembangan, kanker, dan efek pada berat badan lahir.
Seperti diberitakan AFP, tiga perusahaan, yaitu Chemours, DuPont, dan Corteva, dalam siaran pers bersama pada Jumat (2/6/2023) telah ”mencapai kesepakatan prinsip untuk menyelesaikan semua klaim air minum terkait PFAS untuk wilayah yang melayani di sebagian besar penduduk Amerika Serikat”.
Sebanyak 1,185 miliar dollar AS akan diberikan untuk dana penyelesaian, dengan Chemours menyumbang 592 juta dollar AS, DuPont membayar 400 juta dollar AS, dan 193 juta dollar AS lainnya ditambahkan oleh Corteva.
Indonesia seharusnya tidak menjadi tempat pembuangan produk beracun dari AS.
Kelompok bahan kimia yang dikenal sebagai PFAS ini telah digunakan sejak tahun 1940-an dalam berbagai macam produk industri dan konsumen seperti panci antilengket, karpet, pakaian tahan air, kemasan makanan, kosmetik, dan barang pembersih.
Selain kesepakatan yang dicapai oleh ketiga perusahaan tersebut, raksasa industri 3M juga telah menandatangani kesepakatan prinsip senilai setidaknya 10 miliar dollar AS untuk menyelesaikan tuntutan hukum terkait PFAS lainnya yang diajukan oleh beberapa kota besar dan kecil di AS.
Di Eropa
Selain di Amerika Serikat, 3M juga menjadi target tuntutan hukum terkait PFAS di Eropa. Pada tahun 2022, perusahaan menyetujui penyelesaian sebesar 571 juta euro (612 juta dollar AS) dengan wilayah Flanders atas pembuangan bahan kimia PFAS di sekitar pabrik Zwijndrecht, dekat kota Antwerpen di Belgia.
Pemerintah Belanda juga mengatakan pekan lalu akan meminta kompensasi dari 3M atas kerusakan yang disebabkan oleh bahan kimianya di sungai Western Scheldt, yang mengalir ke Laut Utara. Tahun lalu, pihak berwenang Belanda memperingatkan agar tidak memakan ikan, udang, remis, dan produk lain dari Western Scheldt karena tingkat PFAS yang tinggi.
Kepada AFP, 3M mengatakan pada bulan Desember bahwa mereka akan menghentikan pembuatan zat PFAS pada akhir 2025 mengingat peraturan yang lebih ketat atas efek kesehatan yang berbahaya dari penggunaannya.
Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) awal tahun ini mengusulkan standar baru untuk membatasi PFAS dalam air minum publik, mengharuskan utilitas untuk memantau enam bahan kimia dan mengurangi levelnya.
Administrator EPA, Michael Regan, mengatakan, standar air baru berpotensi mencegah ribuan kematian dan puluhan ribu penyakit terkait PFAS. ”Bahan kimia beracun ini sangat menyebar dan bertahan lama di lingkungan sehingga ditemukan di makanan, tanah, dan air bahkan di sudut paling terpencil di planet kita,” katanya.
Proposal EPA, yang akan diselesaikan pada akhir tahun, akan menetapkan standar nasional untuk PFAS dalam air minum.
Situasi di Indonesia
Laporan dari Nexus3 Foundation dan The International Pollutants Elimination Network (IPEN) yang dirilis pada Maret 2023 menunjukkan bahwa produk makanan popcorn microwave buatan Amerika Serikat yang diekspor ke Indonesia juga mengandung zat kimia berbahaya PFAS.
Temuan Nexus3-IPEN, 18 sampelpopcorn microwave dari Indonesia yang diperiksa dibeli dari toko lokal dan toko daring. Sebelas sampel dari AS dibeli secara daring dan dari toko di Negara Bagian Indiana dan California. Semua sampel tersebut diproduksi oleh empat perusahaan makanan AS.
Empat merek popcorn yang diuji adalah Jolly Time (diproduksi oleh American Popcorn Company), ACT II (diproduksi oleh Conagra), Cousin Willie’s (diproduksi oleh Ramsey Popcorn), dan Preferred Popcorn. Seluruh sampel dikirimkan ke laboratorium independen di University of Chemistry and Technology, Praha, Ceko, dan diuji untuk kandungan bahan-bahan kimia PFAS. Sebanyak 29 sampel kantong popcorn dinyatakan terindikasi mengandung satu atau lebih jenis bahan kimia PFAS, yang rinciannya bisa dilihat di tabel.
Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa PFAS telah digunakan dalam kemasan makanan berbahan kertas sebagai penghalang kimiawi pada permukaan bahan pembungkus, yang menghalau minyak dari makanan. Kemasan popcorn microwave yang mengandung PFAS ini ternyata bermigrasi ke dalam minyak dan lemak sehingga manusia dapat menelan bahan-bahan kimia tersebut ketika mereka mengonsumsi popcorn.
Saat merilis laporan ini, Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 di Indonesia, menyarankan pihak berwenang di Indonesia harus menghentikan impor popcorn microwave yang mengandung PFAS dan menerapkan peraturan untuk melarang zat beracun ini digunakan di Indonesia.
Sejauh ini, menurut Yuyun, belum ada peraturan PFAS di Indonesia. Cemaran PFAS di sumber air minum di Indonesia juga belum diketahui. Tidak adanya data dan peraturan terkait PFAS ini memperburuk masalah, membuat penduduknya rentan terhadap produk yang mengandung bahan kimia beracun ini.
”Indonesia seharusnya tidak menjadi tempat pembuangan produk beracun dari AS,” kata Yuyun.
PFAS sendiri merupakan bahan kimia oleophobic atau antiminyak dan hydrophobic atau antiair yang banyak dimanfaatkan dalam industri elektronik dan otomotif. Bahan ini banyak ditemukan pada teflon. Ada beberapa ragam bahan kimia yang masuk dalam PFAS, tiga di antaranya, yaitu PFOS (perfluor octanesulphonic acid), PFOA (perfluorooctanoic acid), dan PFHxS (perfluorohexanesulfonic acid), telah terdaftar dalam Konvensi Stockholm untuk pembatasan dan penghapusan global.