Zat Kimia Beracun PFAS Ditemukan dalam ”Popcorn” dari Amerika Serikat
Laporan terbaru menunjukkan bahwa produk ”popcorn microwave” buatan Amerika Serikat yang diekspor ke Indonesia mengandung zat kimia berbahaya ”per- and polyfluoroalkyl substances” atau PFAS.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru dari Nexus3 Foundation dan The International Pollutants Elimination Network atau IPEN menunjukkan produk popcorn microwave buatan Amerika Serikat yang diekspor ke Indonesia mengandung zat kimia berbahaya per- and polyfluoroalkyl substances atau PFAS. Bahan pencemar ini memiliki karakteristik susah terurai di lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia, di antaranya memicu gangguan imunologis dan reproduksi.
Laporan Nexus3-IPEN berjudul ”Bahaya Beracun dalam Popcorn Microwave” ini dirilis pada Kamis (23/3/2023). Dalam riset ini, Nexus3-IPEN membeli popcorn microwave dari Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Sebanyak 18 sampeldariIndonesia dibeli dari toko lokal dantokodaring.Sebelas sampel dari AS dibeli secara daring dan dari toko di negara BagianIndiana dan California. Semua sampel tersebut diproduksi oleh empatperusahaanmakananAS.
Empat merek popcorn yang diuji meliputi Jolly Time (diproduksi oleh American Popcorn Company), ACT II (diproduksi oleh Conagra), Cousin Willie’s (diproduksi Ramsey Popcorn), dan Preferred Popcorn. Seluruh sampel dikirimkan ke laboratorium independen diUniversity of Chemistry and Technology, Praha, Ceko dan diuji untuk kandungan bahan kimia PFAS. Semua dari 29 sampel kantong popcorn terindikasi mengandung satu atau lebih jenis bahan kimia PFAS, yang rinciannya bisa dilihat di tabel.
Dalam riset ini, mereka menemukan bahwa PFAS digunakan dalam kemasan makanan berbahan kertas sebagai penghalang kimiawi pada permukaan bahan pembungkus, yang menghalau minyak dari makanan. Kemasan popcorn microwave yang mengandung PFAS ini bermigrasi ke dalam minyak dan lemak sehingga manusia dapat menelan bahan-bahan kimia tersebut ketika mereka mengonsumsi popcorn.
Studisebelumnya oleh Herbert P Susmann dari Department of Biostatistics, University of Massachusetts Amherst, yang diterbitkan di jurnal Environmental Health Perspective pada 2019tentang paparan pada manusia menunjukkan konsumsi popcorn microwave dikaitkan dengan kadar PFAS yang jauh lebih tinggi dalam darah.
”Indonesia seharusnya tidak menjadi tempat pembuangan produk beracun dari AS,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 di Indonesia. Nexus3 Foundation, sebelumnya dikenal sebagai Balifokus Foundation, adalah lembaga indepden yang berfokus pada riset dan advokasi terkait bahan kimia dan limbah, bahan berbahaya dan limbah serta pembangunan berkelanjutan.
PFAS merupakan bahan kimia oleophobic atau antiminyak dan hydrophobic atau antiair yang banyak dimanfaatkan dalam industri elektronik dan otomotif. Bahan ini banyak ditemukan pada teflon. Ada beberapa ragam bahan kimia yang masuk dalam PFAS, tiga di antaranya adalah PFOS (perfluorooctanesulfonic acid), PFOA (perfluorooctanoic acid), dan PFHxS (Perfluorohexanesulfonic acid), telah terdaftar dalam Konvensi Stockholm untuk pembatasan dan penghapusan global.
Pada Februari 2023, Otoritas Bahan Kimia Uni Eropa (ECHA) merilis proposal yang menyerukan larangan sekitar 10.000 PFAS. ECHA mencatat bahwa PFAS yang tidak penting, termasuk yang digunakan untuk kemasan makanan, dapat dihapus terlebih dahulu.
Meskipun Indonesia merupakan pihak dalam Konvensi Stockholm, saat ini tidak ada peraturan pemerintah yang melarang PFAS dalam kemasan makanan. Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengimpor popcorn microwave senilai 3 juta dollar AS pada 2021.
Maka dari itu, Yuyun menyarankan agar pihak berwenang di Indonesia menghentikan impor popcorn microwave yang mengandung PFAS dan menerapkan aturan untuk melarang zat beracun ini digunakan di Indonesia. Sejauh ini belum ada peraturan PFAS di Indonesia. Hal ini dinilai memperburuk masalah, membuat penduduknya rentan terhadap produk yang mengandung PFAS. ”Orang Indonesia tahu cara membuat popcorn di atas kompor,” ujarnya.
Menurut Yuyun, PFAS bertahan di dalam tubuh, terutama terdeteksi di dalam darah, hati, air susu ibu (ASI), dan ginjal. Efek PFAS dikaitkan dengan gangguan imunologis, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan, efek pada berat badan lahir, gangguan pertumbuhan, gangguan belajar, gangguan perilaku, dan ancaman lain terhadap kesehatan manusia.
Alternatifyang lebih amandariPFAStelah tersedia untuk kemasan kertas. Sebagaicontoh, kemasan kertas berlapis lilin atau kemasan kertas dengan kepadatan yang tinggi dapatmenggantikanfungsi dari PFAS dan mencegahmigrasi ke dalamlemak atauminyak.
Bahaya PFAS
Jitka Straková, peneliti IPEN, mengutarakan, ”Pemerintah (di dunia) perlu mengatasi akar masalah ini, yaitu dengan melarang produksi, penjualan, dan mengategorikan penggunaan PFAS sebagai kelas sendiri, terutama untuk penggunaan yang tidak penting.”
Pada Januari 2023, IPEN dan jaringan Toxic-Free Future yang berbasis di AS juga melakukan survei pada empat perusahaan produsen popcorn ini untuk mengkaji kebijakan mereka tentang PFAS.
Pemerintah (di dunia) perlu mengatasi akar masalah ini, yaitu dengan melarang produksi, penjualan, dan mengategorikan penggunaan PFAS sebagai kelas sendiri, terutama untuk penggunaan yang tidak penting.
”Dalam tanggapan yang dikirim melalui surat elektronik, salah satu perusahaan, yakni Conagra, menyatakan telah menghapus PFAS sejak tahun lalu dari kemasan yang dipakai untuk popcorn microwave ACT II di AS, dan mulai Maret 2023 tidak akan lagi menggunakan PFAS dalam kemasan untuk popcorn microwave yang dijual secara internasional di bawah merek ACT II. Sementara tiga perusahaan lainnya tidak menanggapi e-mail kami,” ujarnya.
Di AS, tidak adanya peraturan federal membuat beberapa negara bagian mempertimbangkan atau mengadopsi pembatasan PFAS. Sebanyak 11 negara bagian telah mengesahkan undang-undang yang melarang PFAS dalam kemasan makanan, tetapi ini tidak menghentikan ekspor produk yang mengandung PFAS.
Pada 2021, undang-undang bipartisan yang diperkenalkan di Kongres AS melarang PFAS secara nasional, tetapi proposal tersebut gagal karena lobi perusahaan dan kurangnya dukungan Partai Republik. Dalam keterangan di laman resminya, Lembaga Obat dan Makanan (FDA) AS menyebutkan, beberapa jenis PFAS terbukti terakumulasi di lingkungan dan di dalam tubuh kita. Paparan beberapa jenis PFAS telah dikaitkan dengan efek kesehatan yang serius.
Melalui pengujian FDA terhadap makanan yang ditanam atau diproduksi di area dengan kontaminasi PFAS lingkungan yang diketahui, jelas bahwa PFAS di tanah, air, atau udara dapat diserap oleh tumbuhan dan hewan, yang menyebabkan makanan terkontaminasi.
Namun, pengujian FDA terhadap beragam makanan yang dikumpulkan untuk Total Diet Study (TDS) menemukan bahwa secara keseluruhan amat sedikit sampel yang memiliki PFAS yang dapat dideteksi dan sampel dengan kadar rendah. Pada 2022, kami melakukan survei makanan laut yang ditargetkan dan dalam sampel terbatas yang diuji kami menemukan lebih banyak jenis PFAS dan tingkat lebih tinggi dibandingkan makanan segar dan olahan yang diuji dalam sampel TDS.
Sementara riset terpisah oleh Alaska Community Action on Toxics (ACAT) menemukan PFAS di perairan sekitar Fairbanks dan Anchorage, yang dihuni masyarakat lokal Arktik. ”Orang Alaska menderita efek buruk dari paparan bahan kimia beracun selama ini. Kami senang bahwa Senator Lisa Murkowski memperjuangkan undang-undang untuk mengakhiri penggunaan PFAS dalam kemasan makanan dan berharap dapat merayakan kemenangan tahun ini,” kata Pamela Miller, Direktur Eksekutif ACAT dan Co-Chair IPEN.
Pada 2018 dan 2019, jaringan Toxic-Free Future menerbitkan investigasi PFAS dalam kemasan makanan di rantai toko kelontong. Pada tahun 2020, kampanye tersebut merilis studi lanjutan, ”Packaged in Pollution” dan menemukan hampir setengah dari sampel kemasan makanan positif mengandung fluor di atas tingkat penapisan yang menunjukkan kemungkinan ada PFAS, termasuk dalam kemasan burger dari sejumlah restoran waralaba.