Berpotensi Mengancam Ekosistem Pesisir, Masyarakat Desak Pencabutan Aturan Ekspor Pasir Laut
Kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah agar segera mencabut Peraturan Pemerintah No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sebab, aturan ini mengancam ekosistem dan ruang hidup masyarakat pesisir.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan kembali aturan ekspor pasir laut yang sempat dilarang sejak tahun 2022 dapat mengancam ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dan ruang hidup masyarakat pesisir, termasuk nelayan. Kelompok masyarakat sipil pun mendesak pemerintah agar segera mencabut peraturan yang dinilai mengeksploitasi laut tersebut.
Desakan untuk mencabut aturan ekspor pasir laut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Lauttersebut disampaikan oleh 28 eksekutif daerah Walhi se-Indonesia secara daring, Rabu (31/5/2023).
Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Even Sembiring mengemukakan, dalam konsideran atau halaman pembuka menyebutkan bahwa pembentukan PP ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan laut dan mengelola hasil sedimentasi. Akan tetapi, kesehatan laut yang dimaksud pemerintah sangat bertentangan dengan sejumlah ketentuan yang tertuang dalam PP ini.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 PP No 26/2023 menyebutkan, hasil sedimentasi di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosiyang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan.
Kemudian dalam Pasal 9 kembali dijelaskan jenis pemanfaatan hasil sedimentasi mencakup pasir laut dan material sedimen lain berupa lumpur.
Pengelolaan hasil sedimentasi di laut juga masih dimungkinkan dilakukan di zona inti kawasan konservasi. Namun, pengelolaan hasil sedimentasi di zona inti ini hanya boleh dilakukan oleh unit organisasi pengelola kawasan konservasi sesuai kewenangan.
Menurut Boy, implementasi PP ini akan turut berdampak terhadap ekosistem di Pulau Rupat, Riau. Sebab, di sekitar kawasan ini terdapat aktivitas dari perusahaan bermasalah yang telah mendapat izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut. Padahal, Pulau Rupat merupakan salah satu pulau terluar yang masuk kawasan strategis nasional tertentu.
”Bagaimana mungkin suatu lokasi yang disiapkan sebagai kawasan pariwisata sambil didorong untuk dikelola masyarakat dirusak oleh aktivitas tambang. Lokasi ini juga berada di pencadangan kawasan konservasi perairan laut dengan model taman pesisir,” ujarnya.
Melalui penerbitan PP ini, Boy memandang bahwa pemerintah tidak pernah memedulikan sesuatu yang mengancam keberadaan masyarakat. ”Hal ini memperlihatkan rezim sekarang semakin tidak berpihak pada lingkungan dan nelayan,” ucapnya.
Selain Walhi, desakan untuk mencabut PP ini juga dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikaran (Kiara). Kiara memandang pengesahan PP 26/2023 merupakan bentuk eksploitasi sumber daya laut Indonesia yang dilakukan oleh negara dengan alasan pemanfaatan sedimentasi. Eksploitasi ini turut berdampak terhadap masyarakat pesisir, termasuk para nelayan dan perempuan.
Bagaimana mungkin suatu lokasi yang disiapkan sebagai kawasan pariwisata sambil didorong untuk dikelola masyarakat dirusak oleh aktivitas tambang.
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati menyatakan, penerbitan PP ini semakin memperjelas orientasi negara dalam mengelola laut yang hanya mengakomodasi kepentingan investor.
Di sisi lain, alih-alih menyejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan, negara justru semakin melindungi investasi melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan.
Konsolidasi
Sebagai upaya menyikapi pengesahan aturan ini, Kiara mengadakan pertemuan secara daring dengan sejumlah jaringan yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Selain berkonsolidasi, pertemuan ini juga akan menentukan sikap dan tindakan Kiara ke depan.
”Seharusnya, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) berdiri bersama kita saat ini. Akan tetapi, selama ini KKP menjadi sangat tidak leluasa untuk berdiri bersama rakyat. Konsolidasi inilah yang akan terus didorong. Dalam waktu dekat, sepertinya koalisi perlu turun ke jalan. Kalau perlu, langkah hukum bisa diambil,” kata Susan.
Sebelumnya, Juru Bicara Menteri Kelautan dan PerikananWahyu Muryadi menyebut PP No 26/2023 tidak menjadikan ekspor pasir laut sebagai tujuan utama. Pemanfaatan sedimentasi di laut lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, seperti reklamasi, pembangunan infrastruktur, dan prasarana.Izin pemanfaatan sedimentasi harus melalui KKP.
Adapun ekspor pasir laut untuk kebutuhan luar negeri akan ditentukan oleh tim kajian yang terdiri dari KKP, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perhubungan. Ekspor tersebut tidak bisa sembarangan karena ditentukan oleh tim kajian tersebut (Kompas, 30/5/2023).