Radioisotop untuk Diagnosis dan Terapi Kanker Tiroid
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional terus meneliti dan mengembangkan riset aplikasi nuklir untuk bidang kesehatan. Salah satunya pengembangan produk radioisotop Iodium-131 untuk deteksi dan terapi kanker tiroid.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Selama ini, nuklir lebih banyak dipahami sebagai bahan yang berbahaya. Padahal, jika digunakan secara tepat, nuklir bisa memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya berupa inovasi teknologi nuklir di bidang kesehatan.
Berbagai pengembangan pun telah lama dilakukan oleh para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pemanfaatan nuklir untuk kesehatan. Sejumlah produk radiofarmaka juga telah dihasilkan, antara lain, Metoxy Isobutil isonitril-MIBI untuk diagnosis perfusi jantung, Etambutol untuk diagnosis tuberkulosis, dan Samarium 153-EDTMP untuk terapi paliatif bagi pasien kanker metastasis ke tulang.
Radiofarmaka dan metode pengujiannya memiliki peran penting dalam keberhasilan diagnosis dan terapi penyakit karena sifatnya yang spesifik pada target sasaran. Untuk deteksi, radiofarmaka dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Secara in vivo, teknik deteksi dilakukan dengan menginjeksikan radiofarmaka ke dalam tubuh pasien kemudian dilakukan pencitraan terhadap tubuh pasien.
Sementara untuk deteksi secara in vitro, dilakukan di luar tubuh. Sampel berupa darah pasien diambil kemudian dilakukan pemeriksaan menggunakan kit Radioimmunoassay (RIA) dengan prinsip imunologi.
Besarnya manfaat yang didapatkan tersebut membuat pengembangan terus dilakukan untuk menghasilkan berbagai produk radiofarmaka yang dibutuhkan masyarakat. Pengembangan yang saat ini telah berjalan di BRIN, yaitu pengembangan larutan Iodium-131 untuk sediaan oral. Larutan ini merupakan produk radioisotop yang dapat digunakan untuk diagnosis dan terapi kanker tiroid.
Radioisotop adalah isotop tidak stabil yang dapat memancarkan radiasi seperti partikel alpha, beta, ataupun sinar gamma. Sementara radiofarmaka adalah radioisotop dalam bentuk sediaan farmaka yang digunakan untuk aplikasi medis, terutama pengobatan kanker.
Dalam penelitian yang telah dilakukan, radioisotop Iodium-131 atau I-131 ini terbukti efektif dalam mendeteksi dini kanker tiroid sekaligus dapat dimanfaatkan untuk terapi kanker tiroid dengan stadium lanjut.
Pengembangan yang saat ini telah berjalan di BRIN, yaitu pengembangan larutan Iodium-131 untuk sediaan oral. Larutan ini merupakan produk radioisotop yang dapat digunakan untuk diagnosis dan terapi kanker tiroid.
Peneliti Pusat Riset Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN, Indra Saptiama, dalam kegiatan BRIEF (BRIN Insight Every Friday) bertema ”Nuklir untuk Kesehatan, Pembuatan Radioisotop untuk Pengobatan Kanker”, di Jakarta, Jumat (19/5/2023), menuturkan, pengembangan larutan I-131 untuk sediaan oral semakin penting karena kebutuhan yang semakin meningkat di Indonesia. Setidaknya, diperlukan 30.000-40.000 milikuri (mCi) per bulan.
Kebutuhan yang meningkat ini seiring dengan jumlah kasus kanker tiroid yang juga semakin besar di masyarakat. Jumlah rumah sakit yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir juga semakin banyak.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020, angka kasus kanker tiroid menduduki peringkat kesembilan dengan kasus tertinggi dari semua jenis kanker dengan jumlah kasus 586.202 jiwa. Prevalensi kanker tiroid pada lima tahun terakhir meningkat menjadi 1.984.927 kasus. Di Indonesia, berdasarkan data Globocan 2021, penambahan kasus kanker tiroid mencapai 13.114 kasus.
Indra mengatakan, Iodium-131 telah digunakan di beberapa fasilitas kedokteran nuklir untuk kebutuhan diagnosis dan terapi kanker tiroid. Namun, pemenuhan I-131 di rumah sakit di seluruh Indonesia selama ini didapatkan dengan cara impor.
Hal itu akhirnya mendorong peneliti di Pusat Riset Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN untuk mengembangkan Iodium-131 produksi dalam negeri. ”Penelitian saat ini masih on progress (dalam pengembangan). Sejumlah pengujian pun masih harus dilakukan. Diharapkan produk bisa siap untuk diuji secara klinis pada 2024,” tuturnya.
Menurut Indra, fasilitas produksi larutan Iodium-131 sediaan oral kini sedang dipersiapkan untuk registrasi CPOB (cara pembuatan obat yang baik) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sementara itu, produk dari I-131 sedang disiapkan untuk masuk pada tahap uji nonklinik. Adapun pengujian yang akan dilakukan meliputi uji biodistribusi, uji kinetika dalam darah, klirens, toksisitas akut, dan uji biodosimetri.
Proses produksi
Indra menjelaskan, produksi larutan I-131 oral harus melewati sejumlah tahapan proses. Tahap pertama dilakukan dengan memproduksi larutan I-131 dalam bentuk bulk (jumlah besar). Proses ini dilakukan dengan prairadiasi, iradiasi, dan paskairadiasi.
Secara terpisah, Herlan Setiawan, yang juga peneliti Pusat Riset Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN menuturkan, proses iradiasi yang dilakukan untuk memproduksi laturan I-131 membutuhkan waktu sekitar empat hari atau 100 jam. Proses iradiasi dilakukan di reaktor nuklir untuk mengaktivasi bahan target agar menjadi tidak stabil dan menghasilkan bahan yang bersifat radioaktif.
Formulasi pun dilakukan melalui penimbangan, pencampuran, homogenisasi, dan dispensing. Kemudian, kendali kualitas larutan I-131 akan dilakukan, antara lain, untuk mengukur tingkat kejernihan, pH, kemurnian radiokimia, serta kemurnian radionuklida. Ditargetkan, produk yang dihasilkan harus terbukti jernih, memiliki tingkat pH 7,5-10, memiliki tingkat kemurnian radiokimia lebih dari 95 persen, serta memiliki tingkat kemurnian radionuklida lebih dari 99,98 persen.
Dari proses pengujian yang dilakukan, produk larutan I-131 oral yang dikembangkan oleh peneliti BRIN dapat memenuhi target tersebut. Larutan I-131 oral terbukti jernih dan memiliki tingkat pH yang sesuai. Selain itu, kemurnian radiokimia yang dihasilkan lebih dari 95 persen. Tingkat kemurnian radionuklida juga lebih dari 99,8 persen.
Indra menjelaskan, dalam sekali proses pembuatan, produk I-131 yang bisa dihasilkan selama ini 5.000-10.000 milikuri. Jumlah ini memang masih jauh dari kebutuhan yang diperlukan di Indonesia, tetapi setidaknya kemandirian akan produk I-131 sudah bisa dibuktikan.
”Produk larutan Iodium-131 sediaan oral ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara luas di rumah sakit yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir. Dengan demikian, ketergantungan akan produk impor bisa dikurangi dan bermanfaat secara langsung bagi masyarakat Indonesia yang membutuhkannya. Selain harga lebih murah, akses juga lebih mudah dengan produk dalam negeri,” papar Indra.
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Rohadi Awaludin, dalam keterangan pers, Kamis (25/5/2023), mengatakan, pengembangan radioisotop dan radiofarmaka merupakan salah satu program utama yang dilakukan oleh Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN. Pengembangan I-131 oral pun menjadi sub-program dari tiga subprogram unggulan yang telah disiapkan.