Tim peneliti dari Badan Tenaga Nuklir Nasional mengembangkan produk substitusi radiofarmaka nanokoloid serum albumin manusia untuk mendeteksi sel kanker payudara. Inovasi ini bertujuan mengurangi impor produk tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Sediaan radiofarmaka nanokoloid serum albumin manusia telah dimanfaatkan di dunia kedokteran nuklir untuk mendiagnosis sebaran sel kanker payudara. Namun, ketersediaannya masih harus diimpor dari luar negeri. Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional pun berupaya mengembangkan produk subtitusinya.
Hingga kini, jumlah kasus kanker payudara terus meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penyakit ini pun menjadi penyebab kematian utama saat ini. Keterlambatan diagnosis dan deteksi dini menjadi salah satu penyebab perburukan pada pasien kanker.
Sebagian besar pasien datang ke fasilitas kesehatan sudah dalam stadium lanjut. Padahal, kanker dapat bermetastasis atau menyebar ke organ tubuh lain dengan cepat. Karena itu, penanganan terapi dan diagnosis yang tepat perlu segera dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Data Riset Kesehatan Dasar mencatat, prevalensi kanker di Indonesia meningkat dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen pada 2018. Data statistik kanker di tingkat global pun memperkirakan ada 348.809 kasus baru kanker terjadi di Indonesia. Angka kejadian kanker tertinggi yakni kanker payudara dengan prevalensi 42,1 per 100.000 penduduk dan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk.
Tingginya kejadian juga kematian akibat penyakit ini menegaskan kanker payudara perlu diwaspadai. Kesadaran untuk melakukan deteksi dini amat diperlukan. Apalagi penyebab kanker belum diketahui secara pasti, selain karena gaya hidup tidak sehat dan faktor keturunan. Selain itu, diagnosis yang tepat dibutuhkan agar penanganan lebih lanjut bisa optimal.
Di bidang kedokteran nuklir, diagnosis kanker payudara dalam dilakukan melalui metode limfosintigrafi atau metode diagnosis dengan pemeriksaan kelenjar getah bening. Itu dilakukan dengan cara menyuntikkan sediaan radiofarmaka ke dalam tubuh pasien. Sediaan itu lalu dapat mendeteksi sebaran sel kanker dalam saluran getah bening yang bisa dilihat dengan menggunakan kamera gamma atau detektor gamma.
Adapun sediaan radiofarmaka yang digunakan adalah radioisotop teknesium-99m nanokoloid serum albumin manusia (nanokoloid human serum albumin/HSA). Radioisotop ini memiliki sifat nuklir dengan batas aman untuk diagnosis suatu penyakit. Waktu paruhnya pendek yakni sekitar enam jam. Energi pemancar dari sinar gamma juga tak besar sehingga tidak berdampak pada organ tubuh.
Peneliti dari Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) Wening Lestari menjelaskan, secara teknis, nanokoloid HSA berupa serbuk kering akan ditambahkan dengan larutan radioisotop teknesium-99m (Tc-99m). Sediaan ini lalu diinjeksikan ke pasien dengan ukuran ideal 100-200 nanometer.
Penggunaannya hanya bisa dilakukan radiofarmasis dan dokter spesialis kedokteran nuklir. Perempuan hamil dan menyusui biasanya tidak diperbolehkan untuk menggunakan kit nanokoloid ini.
“ Akumulasi sel kanker dalam saluran getah bening dapat diketahui dengan menggunakan gamma kamera sehingga bisa diketahui simpul getah bening bagian mana yang menerima sel kanker. Itu biasa dilakukan sebelum operasi untuk menegakkan diagnosis apakah kanker sudah menyebar atau belum. Dengan begitu, tindakan terapi yang diberikan bisa lebih tepat,” tuturnya.
Selama ini kebutuhan rumah sakit akan radiofarmaka nanokoloid HSA masih diimpor dari luar negeri yakni nanocoll albumon. Padahal, kebutuhannya terus meningkat seiring jumlah pasien kanker payudara yang terus bertambah.
Karena itu, peneliti di Batan berupaya mengembangkan subtitusi untuk produk tersebut. Saat ini, kit nanokoloid HSA yang dikembangkan masih dalam tahap uji validasi untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin edar ini ditargetkan bisa diperoleh pada tahun 2024.
Wening menuturkan, metode pembuatan kit nanokoloid tersebut merujuk pada dokumen Internasional Atomic Energy Agency (IAEA). Tahapan pengembangannya pun mengikuti tahapan pengembangan radiofarmaka lain, mulai dari proses formulasi dan validasi. Dengan begitu, kit yang dihasilkan akan berkualitas dan terstandar sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh US Pharmacopeia (USP).
Sejumlah pengujian perlu dilakukan sebelum kit nanokoloid HSA dari Batan siap diproduksi. Itu antara lain untuk menguji kejernihan, kadar pH, kemurnian radiokimia, ukuran partikel, sterilitas, pre-klinis, dan uji klinis. Seluruh pengembangan akan dilakukan mengacu pada kaidah cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Tahun ini, proses sintensis dan preparasi pada kit nanokoloid HSA telah berhasil dilakukan. Hasil sintesis dan preparasi non steril skala kecil telah berhasil diperoleh sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, yaitu kurang dari 100 nm dan kemurnian radiokimia hasil penandaan dengan Tc-99m lebih dari 90 persen.
“Kita tahu jumlah prevalensi kanker payudara di Indonesia terus meningkat. Kebutuhan sediaan nanokoloid untuk penegakan diagnosis juga bertambah. Karena itu, kita harus bisa mandiri dalam penyediaan kit ini. Apalagi, Batan juga sudah memiliki pengalaman untuk pengembangan radiofarmaka,” tuturnya.
Jumlah prevalensi kanker payudara di Indonesia terus meningkat. Kebutuhan sediaan nanokoloid untuk penegakan diagnosis juga bertambah.
Dukungan dari berbagai pihak dibutuhkan untuk percepatan pengembangan produk ini. Dukungan tersebut terutama dari mitra industri untuk memproduksi produk ini secara massal. Selain itu, kerja sama dan pembinaan diperlukan dari badan regulasi. Selama ini, para peneliti belum memiliki pemahaman utuh terkait prosedur terstandar dalam proses pengembangan.
Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR), Rohadi Awaludin berharap, kit radiofarmaka nanokoloid HSA yang sedang dikembangkan dapat mensubstitusi atau menggantikan produk impor luar negeri. Tentunya, harga yang ditawarkan pun akan lebih terjangkau.
Berbagai pengembangan produk radioisotope dan radiofarmaka lainnya juga terus dikembangkan oleh Batan. Dalam kurun waktu 2020-2024, terdapat lima produk yang ditargetkan terwujud. Selain kit nanokoloid HSA, produk lainnya yakni Generator Mo-99/Tc-99m, Radiofarmaka berbasis PSMA (Prostate Specific Membrane Antigen), Kit radiofarmaka EDTMP, dan Contrast agent berbasis gadolinium untuk MRI.
“Selama ini kebutuhan radioisotop dan radiofarmaka di dalam negeri dipasok produk impor, yang mencapai di atas 90 persen. Untuk mengurangi ketergantungan itu, Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) berupaya mengembangkan produk tersebut,” tutur Rohadi.