”Spindle Sleep” Dapat Mengurangi Kecemasan pada Penderita PTSD
Gelendong tidur atau ”spindle sleep”, semburan singkat aktivitas otak selama tidur, berpotensi mengatur kecemasan pada orang dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ledakan singkat aktivitas otak selama tidur yang dikenal sebagai gelendong tidur atau spindle sleep berpotensi mengurangi kecemasan pada orang dengan gangguan stres pascatrauma atau PTSD. Peneliti menilai, temuan tersebut berguna bagi orang dengan gangguan kecemasan yang mencari cara non-invasif untuk memanfaatkan tahapan tidur.
Mengutip Science Daily, Jumat (26/5/2023), penelitian para ahli di Universitas California-San Fransisco (UCSF) menunjukkan, kebersihan tidur, stimulasi listrik otak, dan obat tidur yang diresepkan dapat meningkatkan gelendong tidur. Hal tersebut terkait dengan tidur tahap non-rapid eye movement 2 (Non-REM2) yang berpotensi menguntungkan pasien dengan gangguan stres dan kecemasan.
Pada tahap Non-REM 2, denyut jantung dan pernapasan seseorang akan melambat dan suhu tubuh menurun. Seseorang juga akan menjadi semakin kurang sadar akan lingkungan sekitar. Jika terdengar suara, tidak dapat memahami betul kontennya.
Penulis hasil riset itu, Anne Richards dari UCSF Department of Psychiatry and Behavioral Sciences, menyebutkan, studi ini menyoroti peran spindle sleep dalam mengurangi kecemasan pada PTSD. Selain itu, menegaskan peran spindle sleep dalam transfer informasi baru ke penyimpanan memori jangka panjang.
”Temuan ini mungkin bermakna tidak hanya untuk orang dengan PTSD, tetapi juga untuk mereka yang memiliki gangguan kecemasan,” kata Richards.
Para peneliti mendaftarkan 45 peserta yang sedang mengalami trauma. Sebagian peserta memiliki gejala PTSD sedang dan sebagian lainnya memiliki gejala yang lebih ringan atau tanpa gejala. Mereka mempelajari gelendong selama tidur tahap NREM2, fase yang terdiri dari 50 persen dari total tidur.
Dalam penelitian tersebut, para peserta melakukan ”kunjungan stres”. Mereka melihat gambar terkait beberapa adegan kekerasan, seperti kecelakaan, kekerasan perang, dan mutilasi manusia atau hewan. Setelah itu, mereka tidur siang yang dipantau peneliti di laboratorium.
Survei kecemasan dilakukan setelah pemaparan gambar dan tidur siang. Para peneliti juga membandingkan tingkat kecemasan dalam kunjungan stres dengan kunjungan kontrol.
Penelitian menunjukkan bahwa frekuensi spindle lebih tinggi selama ”kunjungan stres” daripada kunjungan kontrol. Dengan demikian, stres merupakan faktor yang berkontribusi dalam perubahan ritme spindle sleep.
Temuan ini mungkin bermakna tidak hanya untuk orang dengan PTSD, tetapi juga untuk mereka yang memiliki gangguan kecemasan.
”Ini merupakan bukti kuat bahwa stres merupakan faktor yang berkontribusi dalam perubahan ritme spindle sleep,” kata penulis pertama studi ini Nikhilesh Natraj dari Departemen Neurologi UCSF.
Natraj mengatakan, proyek peneliti selanjutnya ialah mempelajari peran spindle dalam konsolidasi dan pemutaran ulang ingatan yang mengganggu beberapa minggu setelah paparan trauma.
Menyiasati gangguan tidur
Gangguan tidur terhadap orang PTSD harus segera diatasi. Tidur yang buruk berkontribusi pada perkembangan dan kelangsungan PTSD. Akan tetapi, penderita PTSD sering mengalami kesulitan tidur dan mudah terbangun saat tidur. Selain itu, banyak juga dari mereka yang mengalami mimpi buruk.
Richards mengatakan, seseorang dengan PTSD sering kali ketakutan untuk tidur karena khawatir akan mengalami mimpi buruk. Hal tersebut dapat menyebabkan penderita menghabiskan waktu berjam-jam di tempat tidur dengan pikiran kacau.
”Jika berada di tempat tidur selama 20 menit dan tidak dapat tertidur, bangunlah dari tempat tidur. Kemudian, pergi ke tempat lain untuk melakukan sesuatu yang menenangkan. Setelah itu, kembali ke tempat tidur ketika sudah merasa mengantuk,” tutur Richards.