Pengadilan Dinilai Belum Memperhatikan Kepentingan Terbaik Anak
Proses hukum terhadap AG, anak berkonflik dengan hukum dalam perkara penganiayaan Cristalino David Ozora, terus berlanjut. Penasihat hukum AG telah menyampaikan kasasi di Mahkamah Agung.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mulai menerima berkas perkara A, anak berkonflik dengan hukum dalam kasus penganiayaan berat terhadap Cristalino David Ozora. Proses hukum A dipercepat karena ia masih di bawah umur.
Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan terus memantau proses hukum AG (15), anak berkonflik dengan hukum dalam perkara penganiayaan berat terhadap Cristalino David Ozora (17).
Pasca-putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menvonis AG (15), dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan, koalisi menyampaikan pengaduan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung.
Hakim tunggal di pengadilan tingkat yang mengadili perkara AG dinilai melakukan sejumlah pelanggaran, terutama tidak memberikan waktu yang cukup untuk pembelaan anak sebagaimana prinsip dasar dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Demikian juga hakim tunggal di pengadilan tingkat banding tidak memeriksa perkara berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana menjadi dasar dalam UU SPPA. Hakim tunggal PT DKI Jakarta tidak mempertimbangkan secara cermat rekomendasi dari penelitian kemasyarakatan dalam kasus anak.
Karena itu, Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP) pada Kamis (25/5/2023) mengirim surat ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA). Mereka menilai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.
Koalisi yang terdiri dari Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) meminta kepada KY dan Bawas MA untuk memberikan perhatian pada kasus AG.
”Perbuatan kedua hakim yang kami duga melanggar kode etik dan perilaku hakim ini dapat menjadi contoh buruk terhadap proses mengadili kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak perempuan AG dalam kasus ini,” kata Erasmus Napitupulu, Koordinator Aliansi PKTA, Kamis petang.
Koalisi memberikan sejumlah catatan terhadap hakim tunggal di PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta. Untuk hakim di PN Jakarta Selatan koalisi menilai, hakim tidak melakukan pemeriksaan secara berimbang, yakni hakim menolak untuk memutarkan video CCTV di ruang sidang. Padahal, video CCTV tersebut memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh hakim dalam putusan.
”Hakim tunggal PN Jakarta Selatan juga tidak memutus perkara AG berdasarkan fakta di persidangan, hakim memilih dan berperilaku sudah berposisi melihat terdakwa bersalah dengan ’pemilihan’ fakta oleh hakim tanpa melihat fakta di persidangan,” tegas Erasmus.
Pada saat mengadili perkara AG, menurut Aisyah Assyifa, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), hakim tidak melakukan pemeriksaan sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum terkait latar belakang seksual anak.
Hakim dinilai tidak mempertimbangkan fakta yang menunjukkan bahwa anak berhubungan seksual dengan orang dewasa sebanyak lima kali, sebagai hal yang merupakan perbuatan pidana berdasarkan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
”Riwayat hubungan seksual yang seharusnya merupakan perbuatan pidana justru digunakan oleh hakim untuk menyatakan anak tidak memiliki trauma tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” kata Aisyiyah.
Dari perkara tersebut, hakim tunggal tidak mempertimbangkan kerentanan posisi anak pelaku AG. Hubungan seksual AG dengan orang dewasa MDS (pelaku dewasa pada persidangan terpisah) seharusnya menjadi bagian yang diperhatikan oleh hakim untuk melihat kerentanan anak dan melakukan pemeriksaan yang adil.
Riwayat hubungan seksual yang seharusnya merupakan perbuatan pidana justru digunakan oleh hakim untuk menyatakan anak tidak memiliki trauma tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Hakim juga dinilai tidak memperhatikan laporan penelitian kemasyarakatan yang jadi hal wajib dalam UU. ”Putusan hakim kami duga berdasarkan keinginan menghukum anak, tidak untuk kepentingan terbaik anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA,” tegas Nur Ansar, peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Selain itu, hakim dinilai tidak proporsional dan memberikan kesempatan pembuktian yang sama antara anak dan jaksa.
FAKHRI FADURROHMAN
Adegan saat saksi menolong korban Cristalino David Ozora dalam rangkaian rekonstruksi kasus penganiayaan kepada David di kawasan Green Permata Boulevard, Jakarta Selatan, Jumat (10/03/2023). Tersangka Mario Dandy Satrio dan tersangka Shane Lukas hadir dalam rekonstruksi. Adapun pelaku A dan korban David digantikan oleh peran pengganti. Pelaku A digantikan perannya karena ia masih di bawah umur.
Tidak cermat
Adapun untuk hakim tunggal PT DKI Jakarta, Koalisi AG-AP mengadukan bahwa hakim tersebut tidak memeriksa perkara AG dengan cermat dan adil. Buktinya, berkas banding dikirimkan ke PT DKI Jakarta pada 26 April 2023 dan pada hari yang sama, hakim tunggal tersebut baru ditunjuk oleh PT DKI Jakarta.
Namun, belum sampai satu hari atau pada 27 April 2023, hakim tunggal PT DKI Jakarta sudah mengeluarkan putusan yang isinya memperkuat putusan tingkat pertama yang menghukum penjara anak.
Feri Saputra, peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, menyatakan, selain putusan tersebut terburu-buru, tidak memeriksa seluruh bukti, hakim tidak mengoreksi beberapa penyimpangan yang dilakukan hakim di PN Jakarta Selatan.
Sebelumnya, penasihat hukum AG, Mangatta Toding Allo, menyatakan, pihaknya sudah menyatakan kasasi ke MA sejak 10 Mei 2023 dan berharap hakim di tingkat kasasi akan mengadili perkara AG dengan adil.
Menanggapi pengaduan ke KY dan MA, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menyatakan, pihaknya menghargai upaya yang dilakukan Koalisi AG-AP sebagai pengingat dan menjadi bahan pengambilan putusan yang benar-benar memperhatikan kepentingan terbaik anak.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, juga berharap pemenjaraan anak adalah upaya terakhir dan waktunya pun sesingkat mungkin. Hak-hak dasar anak selain perampasan kebebasan tetap harus dipenuhi negara, seperti pendidikan dan kesehatan.
Terdakwa utama
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara Jakarta itu, menilai pengaduan tersebut harus dilakukan. Sebab, hakim di PN dan PT yang memeriksa perkara AG dinilai keliru memutuskan menghukum anak AG dengan penjara 3 tahun 6 bulan. ”Kekeliruan pertama, anak AG tak ikut serta dalam penganiayaan berat direncanakan,” ujarnya.
Selanjutnya, secara formil seharusnya yang disidangkan lebih dahulu dalam perkara tersebut adalah Mario Dandy, yang diduga melakuan penganiayaan berat yang direncanakan dan diduga memenuhi semua unsur Pasal 355 KUHP.
Hal itu, menurut Ahmad, merupakan kesalahan fatal dalam menyidangkan anak AG. Karena itu, hakim yang memeriksa dan memutus seharusnya menunda sidang anak AG hingga terdakwa utama (dader/pleger) yang disidangkan.