Pelepasliaran Macan Tutul ”Wahyu” di Gunung Halimun Salak Tingkatkan Keragaman Genetik
Setelah enam tahun direhabilitasi, macan tutul jawa bernama Wahyu dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Wahyu merupakan macan tutul yang dievakuasi pada 2017 karena berkonflik dengan manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS —Setelah enam tahun direhabilitasi, macan tutul jawa atau Panthera pardus melas bernama Wahyu dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (23/5/2023). Pelepasliaran macan tutul ke habitatnya ini diharapkan dapat meningkatkan populasi sekaligus keragaman genetik spesies.
Wahyu dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) oleh petugas dari jarak jauh dengan cara menarik tali yang terhubung ke kandang besi. Pelepasliaran ini dilakukan dengan jumlah petugas yang terbatas untuk menghindari kontak dengan manusia.
Wahyu kemudian akan dibiarkan keluar dari kandang secara alami. Saat pintu kandang dibuka, macan tutul berusia 6 tahun 11 bulan tersebut tampak belum keluar menuju habitatnya. Wahyu diperkirakan akan keluar dari kandang saat aktif pada sore hari. Pelepasliaran ini juga disaksikan melalui kamera pemantau yang dipasang di sejumlah titik.
Semoga Wahyu bisa bertahan hidup dan berkembang biak serta menjadi penyeimbang ekosistem di TNGHS.
Kegiatan pelepasliaran merupakan kerja sama berbagai pihak, antara lain Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat dan Balai TNGHS. Kegiatan ini juga mendapat dukungan dari Yayasan Cikananga Konservasi Terpadu, Yayasan Sintas Indonesia, Forum Konservasi Macan Tutul Jawa, Fansfornature, Orang Utan Help, Wanicare, Gembira Loka Zoo, Yayasan Bakti Barito, dan Star Energy Geothermal Salak, Ltd.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Exploitasia menyampaikan, pelepasliaran Wahyu ke habitatnya akan meningkatkan keragaman genetik spesies, khususnya di wilayah TNGHS.
”Pelepasliaran ini merupakan upaya untuk meningkatkan populasi macan tutul di Jawa. Upaya ini merupakan bagian dari program pemerintah terkait konservasi ex-situ link to in-situ. Artinya, ini merupakan bagian dari proses penyelamatan, rehabilitasi, habituasi, sampai ke pelepasliaran,” ujar Indra yang turut hadir dalam acara pelepasliaran tersebut.
Menurut Indra, TNGHS dipilih sebagai lokasi pelepasliaran Wahyu karena jumlah mamalia besar yang masih terbatas. Kehadiran macan tutul sebagai salah satu predator puncak nantinya akan menjaga keseimbangan dan kesehatan ekosistem di kawasan tersebut.
Indra memastikan tidak ada tumpang tindih kawasan meski macan tutul ini dilepasliarkan di lokasi yang dekat dengan area eksplorasi pembangkit listrik tenaga panas bumi. Sebab, saat ini semua sektor dituntut untuk memperhatikan aspek keanekaragaman hayati agar ada keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan ekologi.
Upaya lainnya yang dilakukan KLHK, khususnya terkait konservasi ex-situ atau di luar habitat asli yakni dengan kegiatan pengembangbiakan terkontrol untuk populasi macan tutul jawa dan satwa endemik lainnya. Kemudian, upaya pengembangbiakan juga dilakukan dengan teknologi reproduksi berbantu, seperti fertilisasi in vitro atau bayi tabung.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, sampai saat ini populasi macan tutul di TNGHS berjumlah 48-52 ekor. Namun, setiap individu macan tutul tersebut belum bisa diketahui jenis kelaminnya. Hasil analisis kesesuaian habitat juga menunjukkan sekitar 21.000 hektar kawasan di TNGHS telah siap menjadi habitat macan tutul jawa.
Kepala BBKSDA Jabar Irawan Asaad mengatakan, selama ini sudah banyak satwa liar yang dilepasliarkan di kawasan konservasi di Jabar untuk memperbaiki populasi. Selain macan tutul, satwa lainnya yang juga banyak dilepasliarkan yakni owa jawa, ular, dan elang jawa.
”Satwa yang dilepasliarkan di habitatnya ini diharapkan bisa berkembang biak. Sebab, habitat satwa liar yaitu di alam, bukan di rumah atau di kandang,” ucapnya.
Hasil evakuasi
Wahyu adalah macan tutul yang dievakuasi oleh tim Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Cikananga pada 2017di Kepolisian Sektor (Polsek) Tanggeung Kabupaten Cianjur. Wahyu dievakuasi setelah sebelumnya berkonflik dengan manusia dan akhirnya ditangkap oleh warga dengan cara memasang jaring dan menjerat macan tersebut menggunakan tambang.
Saat itu, hasil pemeriksaan awal di lokasi menunjukkan, Wahyu masih berusia sangat muda dan diperkirakan berusia dibawah satu tahun. Wahyu juga berada dalam kondisi tubuh yang sangat kurus, lemah, dan terjadi penurunan massa otot yang parah serta dehidrasi parah.
Petugas kemudian menempatkan Wahyu di klinik selama satu minggu pertama untuk memantau kesehatan, asupan pakan, dan perilakunya. Selama proses pemantauan hingga enam tahun, Wahyu kemudian tumbuh dengan baik dan tidak ada komplikasi medis.
Sejak awal, Wahyu tercatat sebagai individu yang tidak aktif di siang hari dan langsung bersembunyi ketika mendengar atau melihat orang. Semua pemantauan dan penilaian perilaku dilakukan dengan menggunakan kamera jebak. Wahyu menjadi aktif di pengujung hari sekitar pukul 17.00 dan kembali lagi ke kotak tidur sekitar pukul 06.00.
Kepala PPS Cikananga Cahyono Hidayat Subekti meyakini Wahyu dapat bertahan hidup di habitat aslinya. Kegiatan pemantauan merupakan salah satu aspek terpenting yang harus terus dilakukan setelah pelepasliaran Wahyu agar perilakunya bisa terus dipantau dan diamati, termasuk untuk melihat potensi perkembangbiakannya.
”Satwa liar yang sudah dirawat di kandang potensinya memang sangat sulit untuk dilepasliarkan. Namun, kami sudah berusaha untuk melatih Wahyu agar bisa liar kembali. Semoga Wahyu bisa bertahan hidup dan berkembang biak serta menjadi penyeimbang ekosistem di TNGHS,” katanya.