Perluas Ruang Gerak Macan Tutul Jawa untuk Mencegah Kepunahan
Kini hanya tersisa 11.000 kilometer persegi area yang layak dihuni macan tutul jawa di Pulau Jawa yang seluas 130.000 km persegi. Hilangnya habitat dan fragmentasi habitat ini mengancam populasi predator penting ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Habitat macan tutul jawa dengan nama Latin Panthera pardus melaskian tergerus akibat peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan secara masif di seluruh wilayah Pulau Jawa. Semua pihak perlu memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi macan tutul jawa untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan.
Anggota Komisi Kelangsungan Hidup Spesies Badan Konservasi Dunia (IUCN-SSC), Erwin Wilianto, mengemukakan, luas hutan di Jawa kini hanya tersisa 29.000 kilometer persegi dari luas total pulau yang mencapai 130.000 kilometer persegi. Dari luas hutan tersisa tersebut, diperkirakan hanya 11.000 kilometer persegi yang layak dihuni macan tutul jawa.
”Hutan tersisa ini menjadi habitat satwa liar, baik yang terancam punah maupun tidak. Satwa-satwa ini saling berebut habitat karena luas area hutan yang semakin menyusut. Bahkan, bisa jadi satwa ini saling overlapping (tumpang tindih) area,” ujarnya dalam diskusi daring terkait status konservasi macan tutul jawa, Selasa (24/5/2022).
Konservasi satwa ini jangan hanya melihat dari satu aspek, tetapi harus multidimensi. Beberapa aspek yang sekiranya mendukung konservasi macan tutul harus dirangkul dan dikoneksikan. (Ilham Purwa)
Hilangnya habitat asli ini juga menjadi salah satu penyebab macan tutul jawa kerap memasuki permukiman warga, seperti di Karawang (Jawa Barat) dan Banyumas (Jawa Tengah). Kondisi ini kemudian memicu konflik antara manusia dan satwa liar.
Erwin mencatat, sepanjang 2008-2019 telah terekam 94 kejadian atau interaksi antara manusia dan macan tutul jawa. Kejadian terbanyak adalah macan tutul memangsa ternak dan memasuki permukiman warga. Namun, ada juga kejadian macan tutul yang terkena jerat dan ditemukan sudah mati.
Dari interaksi tersebut, tercatat sebanyak 31 individu macan tutul berhasil ditangkap atau diamankan kemudian dibawa ke kebun binatang dan pusat penyelamatan satwa. Akan tetapi, hanya 5 individu yang akhirnya bisa kembali ke alam.
Menurut Erwin, terdapat beberapa faktor pendorong terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar. Faktor utama adalah terjadinya pertumbuhan jumlah manusia sehingga mereka merambah habitat satwa liar untuk kebutuhan ruang, sumber daya, dan hewan ternak. Sementara faktor pendorong lainnya seperti perubahan iklim dan meningkatnya penyakit pada satwa.
”Konflik ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bahkan saat era kolonial. Dokumentasi Peter Boomgard menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun pada 1925-1935, kolonial maupun orang lokal bisa berburu 135 macan tutul di Jawa Timur,” tuturnya.
Selain itu, catatan lainnya menyebut sebanyak 5-10 macan tutul jawa diburu setiap tahun pada masa kolonial. Perburuan dilakukan karena macan tutul dan kumbang dipandang sebagai binatang yang menakutkan, bahkan melebihi harimau.
Hilangnya habitat dan konflik dengan manusia pada akhirnya membuat status konservasi macan tutul jawa kian terancam. Populasi macan tutul jawa pada tahun 1992 diketahui berjumlah 350-700 individu dan terus berkurang hingga 491-546 individu pada 2016.Sementara menurut penilaian terakhir yang dilakukan IUCN, jumlah populasi macan tutul jawa hanya tersisa 319 individu dewasa.
Erwin menegaskan, ketersediaan dan hambatan antar-ruang bagi macan tutul jawa harus segera dicari solusinya agar spesies ini terhindar dari kepunahan. Solusi yang bisa diambil adalah dengan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi macan tutul jawa. Upaya pemerintah memproteksi area di luar kawasan konservasi harus ditingkatkan.
”Apabila memungkinkan, juga perlu dibangun suatu konektivitas dengan menghubungkan setiap petak habitat. Sementara upaya yang masih jauh untuk dilakukan adalah mengelola spesies dengan metapopulasi dan translokasi. Terakhir, bisa juga dengan memindahkan manusia di habitat satwa liar meski solusi ini sulit dilakukan di Indonesia,” ucapnya.
Sinergitas konservasi
Anggota Forum Macan Tutul Jawa, Ilham Purwa, mengatakan, keberadaan macan tutul jawa telah tertuang dalam morfologi Pulau Jawa, termasuk pada aspek budaya. Sebagai contoh, gunungan dalam budaya wayang di Jawa memasukkan sejumlah elemen ekosistem, seperti primata, predator, tumbuhan, dan rumah manusia.
”Dalam satu gunungan ini sudah mencerminkan suatu sinergitas atau simbiosis mutualisme. Jadi, konservasi satwa ini jangan hanya melihat dari satu aspek, tetapi harus multidimensi. Beberapa aspek yang sekiranya mendukung konservasi macan tutul harus dirangkul dan dikoneksikan,” katanya.
Ilham menambahkan, semua pihak harus mempelajari morfologi macan tutul jawa untuk mengetahui kantong-kantong habitat, potensi konflik ke depan, hingga karakter sosial dan budaya setempat. Sebab, selama ini banyak ditemukan macan tutul jawa di luar kantong habitat asli sehingga perlu memperluas titik konservasi dan area perlindungan ke depan.