Walhi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil memublikasikan laporan perkembangan pencabutan izin sektor kehutanan dan perkebunan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta satuan tugas pemerintah transparan dalam pencabutan berbagai izin usaha berbasis lahan. Selama ini, informasi tentang evaluasi pencabutan izin tersebut dinilai belum terbuka kepada publik. Akibat informasi yang tertutup tersebut, mereka menemukan adanya dugaan sejumlah pelanggaran di perusahaan-perusahaan yang izinnya telah dicabut.
”Kami berharap ada keterbukaan informasi dari pemerintah sehingga ada titik tengah dari temuan-temuan kami di lapangan,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian saat peluncuran laporan perkembangan pencabutan izin sektor kehutanan dan perkebunan di Jakarta, Senin (22/5/2023).
Pada awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan 2.078 izin usaha pertambangan, 192 izin sektor kehutanan, dan 34.448 hektar hak guna usaha perkebunan. Namun, hingga saat ini, belum semua izin usaha dicabut. Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang diketuai Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia masih melakukan sejumlah evaluasi.
Banyak perusahaan yang sudah dicabut izinnya masih beroperasi di lapangan. Selain itu, akibat tidak adanya kepastian hukum membuat pelanggaran demi pelanggaran terus-menerus lahir.
Menurut Uli, Walhi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan menemukan informasi evaluasi yang tengah dilakukan pemerintah. Mereka hanya bisa mengakses informasi pencabutan izin dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK KLHK) Nomor 1 Tahun 2022 yang terbit pada 5 Januari 2022. SK tersebut memuat izin usaha perusahaan yang telah dicabut serta menerangkan jenis izin konsesi kawasan hutan yang menjadi obyek kegiatan evaluasi, penertiban, dan pencabutan izin.
”Banyak perusahaan yang sudah dicabut izinnya masih beroperasi di lapangan. Selain itu, akibat tidak adanya kepastian hukum membuat pelanggaran demi pelanggaran terus-menerus lahir,” ujar Uli.
Dalam laporan yang disusun organisasi masyarakat sipil tersebut, sejumlah perusahaan yang ada dalam SK KLHK No 1/2022 masih beroperasi. Hal ini terbukti adanya pembayaran dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, kompensasi penggunaan kawasan hutan, dan denda kepada KLHK.
Di Papua, menurut Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka, sejumlah yang telah dicabut izinnya masih beroperasi sejak penerbitan SK KLHK No 1/2022. Temuan Yayasan Pusaka hingga April 2023, melalui pemantauan citra satelit, ada pembukaan lahan baru seluas 943,1 hektar. Lahan-lahan tersebut dikelola empat perusahaan yang tertera dalam SK KLHK No 1/2022.
”Dalam studi yang dilakukan pada salah satu perusahaan, mereka menganggap pencabutan dalam SK KLHK No 1/2022 tidak kuat di mata hukum karena di lahan tersebut telah menjadi APL (areal penggunaan lain),” kata Tigor.
Dalam temuan itu juga, sejumlah lahan dari perusahaan yang masih dievaluasi telah menjadi permukiman dan hutan adat. Uli menyebut, pemerintah seharusnya memberikan hak pengelolaan hutan tersebut kembali kepada masyarakat untuk menghindari pengalihan hak guna kawasan. Hal ini juga menjadi upaya untuk menghindari konflik di tengah masyarakat.
”Sekali lagi, kami tidak mengetahui alasan pemerintah belum memutuskan untuk melakukan rekognisi kawasan hutan tersebut karena tidak adanya keterbukaan informasi dari proses evaluasi yang tengah dilakukan,” ucap Uli.
Sementara itu, Linda Rosalina dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mengatakan, hak guna usaha yang masih ada pada perusahaan yang sudah dicabut izin usahanya berpotensi membuat deforestasi semakin masif. Menurut dia, seharusnya hal ini menjadi peringatan bagi pemberi dana dari perbankan dan investor. Pemerintah seharusnya bisa melalukan intervensi melalui satgas yang dibentuk agar menyesuaikan pembiayaan berdasarkan prinsip dalam taksonomi ekonomi hijau yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan.
”Dokumen taksonomi ekonomi hijau perlu diintervensi untuk memperingatkan perbankan dengan memberikan pembatasan pembiayaan kepada perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan,” ujar Linda.
Fokus nilai ekonomi
Dari berbagai persoalan di lapangan serta tertutupnya sejumlah informasi, Walhi dan organisasi masyarakat sipil menduga pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan upaya-upaya pelestarian lingkungan. Jika melihat tugas Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi, pemerintah lebih fokus pada nilai ekonomi.
Berdasarkan hasil analisis dengan metode skoring, pencabutan izin perusahaan yang dilakukan pemerintah tersebut layak dari aspek lingkungan. Sebanyak 72 persen konsesi yang dicabut merupakan areal dengan fungsi hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit.
Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan mayoritas izin usaha untuk semua sektor berada pada kelas tanah dengan kepekaan sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan tingginya risiko bencana pada kawasan-kawasan konsesi tersebut.
Sementara dari aspek topografi, izin perusahaan yang dicabut mayoritas berada dalam kelas kelerengan sangat curam. Kondisi ini mengindikasikan kerentanan perubahan tutupan dan permukaan tanah yang berdampak pada risiko bencana ekologis (Kompas, 6/1/2023).
”Kami menganggap pembentukan satgas jika melihat pada tugasnya yang lebih banyak berorientasi pada pemulihan investasi. Kami menduga satgas hanya fokus pada nilai ekonomi,” kata Uli.
Sementara itu, saat dihubungi, perwakilan dari Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi belum memberikan keterangan.