Ahli Kimia Berhasil Menciptakan ”Kulit Elektronik” yang Meniru Indera Peraba
Peneliti berhasil mengembangkan kulit elektronik yang lembut dan elastis yang dapat merasakan tekanan, suhu, ketegangan, dan banyak lagi, seperti halnya kulit asli.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti telah mengembangkan kulit elektronik yang dapat meniru proses yang sama yang menyebabkan jari tangan, jari kaki, atau anggota tubuh bergerak saat tertusuk atau tersiram air panas. Teknologi ini dapat mengarah pada pengembangan pelapis untuk kaki palsu yang akan memberikan rasa sentuhan kepada pemakainya, atau membantu memulihkan sensasi pada orang yang kulitnya telah rusak.
Kulit elektronik atau e-skin ini dikembangkan insinyur kimia Zhenan Bao di Stanford University di California. Hasil penelitian terbaru dari Bao dan tim ini diterbitkan pada 18 Mei 2023 di jurnal Science.
Laporan ini menunjukkan keberhasilan rekayasa sifat material, struktur perangkat, dan arsitektur sistem yang dilakukan Bao dan tim dalam mewujudkan e-skin. Kulit buatan ini diklaim mampu melakukan persepsi multimodal, pembangkit sinyal kereta pulsa neuromorfik, dan aktuasi loop tertutup.
Bao mengembangkan struktur dielektrik tiga lapis yang membantu meningkatkan mobilitas pembawa muatan listrik sebanyak 30 kali dibandingkan dengan dielektrik satu lapis, yang memungkinkan sirkuit beroperasi pada tegangan rendah.
Dalam makalah ini, Bao menggambarkan sensor tipis dan fleksibel yang dapat mengirimkan sinyal ke bagian korteks motorik di otak tikus yang menyebabkan kaki hewan berkedut saat e-skin ditekan atau diremas.
”Kami telah mengerjakan e-skin monolitik selama beberapa waktu. Rintangannya bukanlah menemukan mekanisme untuk meniru kemampuan sensorik yang luar biasa dari sentuhan manusia, tetapi menyatukannya hanya dengan menggunakan bahan seperti kulit,” kata Zhenan Bao, dalam keterangan yang dirilis Stanford University.
Weichen Wang, kandidat doktoral di laboratorium Bao, yang merupakan penulis pertama makalah tersebut mengatakan, sebagian besar tantangan itu yaitu untuk menjadikan bahan elektronik seperti kulit. Hal ini supaya dapat dimasukkan ke dalam sirkuit terintegrasi dengan kompleksitas yang cukup untuk menghasilkan kereta pulsa seperti saraf dan tegangan operasi yang cukup rendah untuk digunakan dengan aman pada tubuh manusia. Wang telah mengerjakan prototipe ini selama tiga tahun.
Bao dan timnya kini telah berhasil membuat kulit prostetik yang lembut dan fleksibel, tetapi juga dapat mengirimkan sinyal listrik ke otak untuk memungkinkan pemakainya merasakan tekanan, ketegangan, atau perubahan suhu. ”Kami sudah mendiskusikannya sejak lama,” katanya.
Lapisan teknologi
Pada kulit manusia yang sehat, reseptor mekanik bisa merasakan informasi dan mengubahnya menjadi pulsa elektrik yang ditransmisikan melalui sistem saraf ke otak. Untuk mereplikasi ini, kulit elektronik membutuhkan sensor dan sirkuit terintegrasi, yang biasanya terbuat dari semikonduktor kaku. Sistem elektronik yang fleksibel memang sudah tersedia, tetapi biasanya hanya bekerja pada voltase tinggi yang tidak aman untuk perangkat yang dapat dikenakan.
Untuk membuat e-skin yang sepenuhnya lembut, tim Bao mengembangkan struktur dielektrik tiga lapis yang membantu meningkatkan mobilitas pembawa muatan listrik sebanyak 30 kali dibandingkan dengan dielektrik satu lapis, yang memungkinkan sirkuit beroperasi pada tegangan rendah. Salah satu lapisan dalam tiga lapisan tersebut adalah nitril, karet yang sama yang digunakan pada sarung tangan bedah.
Mayoritas e-skin terbuat dari banyak lapisan bahan mirip kulit. Jaringan struktur nano-organik terintegrasi di setiap lapisan yang mengirimkan sinyal listrik bahkan ketika diregangkan. Jaringan ini dapat direkayasa untuk merasakan tekanan, suhu, regangan, dan bahan kimia.
Setiap input sensorik memiliki sirkuit terpadu sendiri. Kemudian semua berbagai lapisan sensorik harus diapit menjadi satu bahan monolitik yang tidak mengelupas, robek, atau kehilangan fungsi listrik. Setiap lapisan elektronik hanya setebal beberapa puluh hingga seratus nanometer dan bahan jadi dari setengah lusin lapisan kurang dari satu mikron.
”Tetapi, itu sebenarnya terlalu tipis untuk ditangani dengan mudah, jadi kami menggunakan substrat untuk menopangnya, yang menjadikan e-skin kami setebal 25-50 mikron, kira-kira setebal selembar kertas,” kata Bao. ”Ketebalannya mirip dengan lapisan luar kulit manusia.”
Peluang penggunaan
Bao dan tim telah mengubah semua bahan yang kaku menjadi bahan yang lunak sambil tetap mampu menghasilkan kinerja listrik yang tinggi. Sensor dapat mengubah perubahan fisik, seperti tekanan yang diterapkan atau perubahan suhu, menjadi pulsa listrik. Tim juga membuat alat yang dapat mengirimkan sinyal listrik dari saraf ke otot, meniru koneksi di sistem saraf yang disebut sinapsis.
Bao dan tim menguji sistem tersebut pada seekor tikus. Kulit dihubungkan melalui kabel ke korteks somatosensori tikus—bagian otak yang bertanggung jawab untuk memproses sensasi fisik. Saat kulit elektronik dipicu oleh sentuhan, ia mengirimkan sinyal listrik ke otak, yang kemudian ditransmisikan melalui sinapsis buatan ke saraf siatik di kaki hewan, menyebabkan anggota tubuh berkedut.
Jenis e-skin ini dapat digunakan pada orang yang mengalami luka parah, atau memiliki gangguan sensorik. Bao mengatakan bahwa, dalam jangka panjang, mereka berharap dapat mengembangkan sistem yang tidak terlalu invasif. ”Kami membayangkan bahwa untuk orang yang kehilangan anggota tubuhnya, kami tidak perlu menanamkannya ke dalam otak,” katanya. ”Kita bisa memasang implan di sistem saraf tepi.”
Saat ini, e-skin masih harus disambungkan ke sumber daya eksternal, tetapi Bao pada akhirnya berharap untuk mengembangkan perangkat nirkabel. Namun, untuk memiliki kulit buatan yang menutupi semua jari tangan, dan merespons sentuhan, suhu, dan tekanan, akan dibutuhkan lebih banyak penelitian.