Minim Perhatian, Pesisir dan Pulau Kecil Terus Terpolusi Sampah Plastik
Persoalan sampah plastik di pulau-pulau kecil terpencil sulit diatasi akibat minimnya perhatian berbagai pihak terkait.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permasalahan sampah plastik yang mencemari lautan masih sulit teratasi, khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia bagian timur. Perlu perhatian dan penguatan komitmen dari berbagai pihak untuk mengampanyekan pengurangan sampah plastik serta meningkatkan pengelolaannya agar sampah plastik tak mencemari lingkungan laut.
Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) Kusdiantoro mengatakan, penanganan sampah plastik di laut memerlukan sejumlah strategi, seperti meningkatkan kesadaran, menghentikan sampah masuk ke laut, membersihkan sampah, memantau, mengawasi, dan menegakkan hukum. Pemerintah daerah yang memiliki pesisir dan pulau-pulau kecil perlu meningkatkan publikasi dengan bantuan media secara jangka panjang.
”Target penurunan sampah plastik pada 2025 sebesar 70 persen. Semua pihak harus berperan dalam sinergi pentaheliks yang terdiri atas pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media untuk mengampanyekan ini,” tutur Kusdiantoro dalam seminar Produk Berkelanjutan, Pengolahan Sampah, dan Dampaknya pada Keanekaragaman Hayati Indonesia, di Jakarta Pusat, Sabtu (20/5/2023).
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, volume timbulan sampah di Indonesia pada 2022 mencapai 19,45 juta ton. Angka tersebut menurun 37,52 persen dari 2021 yang sebanyak 31,13 juta ton. Mayoritas timbulan sampah nasional itu berupa sisa makanan sebesar 41,55 persen, kemudian sampah plastik di urutan kedua sebesar 18,55 persen.
Berdasarkan perhitungan sampah plastik oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional, terdapat 615.674 ton sampah plastik di laut pada 2018. Data KLHK mencatat, baru 28,5 persen sampah plastik ke laut Indonesia yang bisa dikurangi pada 2018-2021. Di sisi lain, capaian pengurangan sampah plastik di laut pada 2022 meningkat menjadi 35,5 persen.
Lebih lanjut, Kusdiantoro menuturkan, pada 2030 Indonesia dapat mencapai bebas sampah plastik (nol persen) di laut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan target tersebut, diperlukan publikasi, kampanye, dan edukasi lebih luas lagi tidak hanya di hulu, tetapi juga hingga ke hilir. Sementara itu, permasalahan sampah di pulau-pulau kecil di Indonesia, khususnya Indonesia timur, jarang sekali dipublikasi secara nasional.
Kekhawatiran ini juga disampaikan Teria Salhuteru, Direktur Moluccas Coastal Care (MCC), salah satu organisasi lingkungan hidup di Kota Ambon, Maluku. Kampanye soal sampah plastik di laut sudah sering dilakukan, tetapi jarang sekali mendapatkan perhatian secara nasional, baik dari pemerintah maupun media di Indonesia.
”Sejak 2017, kami sudah berusaha melakukan aksi sederhana dan kampanye mengatasi persoalan sampah plastik di pulau-pulau kecil di sini, seperti memasang jaring di sekitar lahan mangrove untuk melindungi pertumbuhannya agar tidak tertumpuk sampah plastik. Namun, permasalahan sampah di permukaan air masih tidak bisa diatasi sampai sekarang karena kurangnya publikasi,” tutur Teria.
Kurangnya perhatian itu, menurut Teria, juga berdampak pada minimnya edukasi bagi nelayan untuk tidak membuang sampah ke laut saat berkegiatan mencari ikan. Meski demikian, kontribusi sampah plastik dari perikanan dinilai rendah, yakni sebesar 20 persen.
Selain itu, komitmen pemerintah terkait program-program penanganan sampah plastik di laut untuk daerah pesisir terpencil juga dipertanyakan keberhasilannya. Pulau kecil dinilai memerlukan teknologi pengelolaan sampah, kemudian pemerintah daerah diharapkan mau berkolaborasi dengan investor luar untuk menangani sampah di laut.
”Saat ini, masyarakat hingga wisatawan lokal ataupun mancanegara mengeluhkan soal sampah plastik di bawah laut. Jangan hanya Bali yang dapat perhatian dan dilihat masalah sampah plastiknya, laut di pulau-pulau kecil Indonesia timur ini juga sama besar sampahnya,” kata Teria.
Ekonomi sirkular
Tidak hanya mencapai target penurunan sampah di tahun-tahun mendatang, target lain juga diharapkan tercapai, yaitu penguatan sinergi berbagai pihak dan terbentuk ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah. Sumber daya yang ada dapat dioptimalkan tanpa ada yang terbuang agar bermanfaat secara ekologi ataupun ekonomi.
Senior Consult Executive Waste4Change Lathifah Awliya Mashudi menyatakan perlunya mengubah paradigma masyarakat terhadap pengelolaan sampah plastik. Dalam mengolah sampah, saat ini masyarakat seharusnya tidak lagi menerapkan prinsip ekonomi linear, tetapi sirkular.
”Ekonomi linear merupakan prinsip pengelolaan sumber daya, dalam hal ini sampah, dengan tidak memanfaatkan kembali atau langsung dibuang ke tempat sampah atau tempat pembuangan akhir. Namun, dalam ekonomi sirkular, nilai produk dari suatu sumber daya dapat terus dimanfaatkan karena diolah kembali (reduce, reuse, dan recycle/3R),” kata Lathifah, Sabtu (20/5/2023).
Prinsip ekonomi sirkular berarti meminimalkan limbah dengan berfokus pada upaya mengurangi limbah dan polusi. Kemudian, menjaga produk dan bahan yang digunakan agar bertahan lama dengan menggunakan kembali serta mendaur ulang demi menjaga kelestarian produk tersebut. Selain itu, regenerasi sistem alam dengan mengembalikan nutrisi ke tanah atau menggunakan energi terbarukan.