BRIN Menjaring Pengetahuan Lokal dalam Naskah Nusantara
Indonesia memiliki kekayaan pengetahuan lokal berbasis naskah Nusantara. Hal ini menjadi modal penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Naskah kuno Nusantara menjadi fondasi penting mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berupaya menjaring kekayaan pengetahuan lokal dalam naskah Nusantara untuk diterbitkan menjadi buku sehingga memudahkan masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkannya.
Penjaringan naskah tersebut akan dihimpun dalam buku bunga rampai Khazanah Pernaskahan Nusantara: Antara Peluang dan Tantangan. Kegiatan ini merupakan bagian dari program akuisisi pengetahuan lokal sebagai sumber literasi sains.
”Program ini ingin menjaring sebanyak-banyaknya pendokumentasian pengetahuan lokal dalam pernaskahan Nusantara,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah BRIN Ayom Widipaminto dalam webinar penjaringan naskah buku tersebut, Jumat (19/5/2023).
Ayom mengatakan, pihaknya berupaya mengikuti jejak pengetahuan berbasis naskah Nusantara. Hal ini menjadi keunggulan Indonesia karena mempunyai banyak potensi di sejumlah daerah. ”Harapannya pada penjaringan naskah kali ini akan mendapatkan banyak karya agar bisa kami fasilitasi untuk diterbitkan,” ucapnya.
Ayom menambahkan, tahun depan pihaknya ditargetkan menerbitkan sekitar 1.000 karya. Dalam skema penjaringan naskah, para editor dan peneliti didorong memunculkan karya-karya, terutama buku, dari hasil akuisisi pengetahuan lokal. ”Sisi kompetitifnya tetap harus dijalankan. Meski targetnya luar biasa banyak, kami tetap ingin memunculkan kualitas karya yang diterbitkan,” katanya.
Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRINSuyami menyebutkan, penyusunan buku bunga rampai itu bertujuan mendistribusikan konten ilmiah berkualitas secara terbuka bagi masyarakat, terutama konten pengetahuan lokal. Buku itu mewadahi segala kajian dan gagasan terkait naskah kuno, baik berupa tulisan tangan atau manuskrip maupun yang merupakan hasil cetakan.
Kajian manuskrip di Indonesia masih sedikit yang memperhatikan tradisi-tradisi masyarakat. Sebagian besar manuskrip yang tersimpan memang sudah jarang digunakan oleh masyarakat.
”Dengan sebutan pernaskahan Nusantara, kami bermaksud menjaring berbagai tulisan yang ada di segenap penjuru wilayah Nusantara,” katanya. Buku bunga rampai itu mengkaji pernaskahan Nusantara dari berbagai perspektif. Jadi, tidak hanya telaah isi dan digitalisasi yang sudah dikerjakan banyak pihak.
Buku tersebut diharapkan menginspirasi banyak kalangan guna meningkatkan upaya pengelolaan, pendayagunaan, pelestarian, dan pemanfaatan pernaskahan Nusantara dengan lebih baik. Selain itu, pihaknya juga mengajak para ahli untuk melihat satu sisi kajian pernaskahan yang selama ini kurang mendapatkan perhatian, yaitu living manuskrip.
Kajian ini tidak hanya fokus pada naskahnya, tetapi juga menyoroti keberadaan naskah dalam kehidupan masyarakat, baik terkait kelestarian fisik naskah, nilai budaya yang terkandung di dalamnya, maupun pandangan, sikap, dan tindakan masyarakat.
”Mari kita telusuri, gali, kaji, manfaatkan, melestarikan, dan mengembangkan pernaskahan Nusantara. Sebab, itu sebagai bukti warisan keberadaban dan keberaksaraan leluhur Nusantara,” ujarnya.
Kajian tradisi
Editor buku bunga rampai Khazanah Pernaskahan Nusantara: Antara Peluang dan Tantangan, Wiwin Indiarti, mengatakan, kajian manuskrip di Indonesia masih sedikit yang memperhatikan tradisi-tradisi masyarakat. Sebagian besar manuskrip yang tersimpan memang sudah jarang digunakan oleh masyarakat.
Namun, masih terdapat beberapa manuskrip yang dipakai. Penggunaannya beragam dan memiliki fungsi sosial, budaya, dan religi.
”Masyarakat adat dan tradisional pada masa lalu, dan beberapa hingga sekarang, hidup dalam tradisi pembacaan manuskrip yang biasanya dinyanyikan di berbagai kesempatan. Manuskrip-manuskrip yang digunakan oleh masyarakat dalam berbagai tradisi dan ritual ini disebut dengan living manuskrip,” jelasnya.
Ahli pernaskahan Nusantara dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menyebutkan, daerah-daerah di Tanah Air mempunyai cara pembacaan naskah kuno yang berbeda. Menurut dia, perlu dibuat film dokumenter untuk melestarikan kekayaan tradisi tersebut.
”Saya membayangkan sebuah tim yang melibatkan filolog, antropolog, dan orang-orang profesional di bidang pembuatan film sehingga kita punya data salah satu ekspresi kebudayan itu. Kalau kita tidak segera mendokumentasikan, zaman berubah begitu cepat,” ucapnya.