Pengelolaan Gambut Dukung Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Saat ini belum banyak negara yang menuangkan pengelolaan gambut dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi. Padahal, restorasi dan pengelolaan lahan gambut dapat mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Restorasi sekaligus pengelolaan lahan gambut yang baik dan benar di sejumlah wilayah di Indonesia dapat mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Namun, sampai saat ini belum banyak yang menuangkan aspek pengelolaan gambut dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi negaranya masing-masing.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Dari Sains ke Kebijakan: Peran Utama Lahan Gambut Tropis dalam Mitigasi Perubahan Iklim”, di Jakarta, Senin (15/5/2023). Kegiatan yang diselenggarakan selama tiga hari tersebut diisi oleh pemaparan akademisi dan praktisi lahan gambut dari dalam maupun luar negeri.
Profesor riset di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haruni Krisnawati mengemukakan, lahan gambut merupakan ekosistem yang unik karena dapat menyimpan 30-40 persen karbon dunia. Jumlah penyimpanan tersebut dua kali lebih besar dibandingkan karbon yang berada di kawasan hutan dunia.
”Distribusi lahan gambut mayoritas berada di Asia dan Amerika Utara. Sekitar 12 persen dari lahan gambut dunia dalam kondisi kering dan telah terdegradasi serta berkontribusi terhadap 5 persen emisi gas rumah kaca global akibat faktor manusia,” ujarnya.
Haruni menekankan bahwa merestorasi dan mengelola ekosistem gambut sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global. Namun, sayangnya potensi pengelolaan gambut ini belum banyak tertuang dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) penurunan emisi.
Dari 148 negara yang memiliki lahan gambut, tercatat hanya 19 negara atau 13 persen yang baru memasukkannya ke dalam NDC. Dalam siklus pertama penyusunan NDC tahun 2015-2019, hanya tujuh negara yang memasukkan pengelolaan gambut. Kemudian pada 2020, pengelolaan gambut secara resmi disebut dalam NDC oleh Inggris dan Kanada.
”Inklusi atau pendekatan pengelolaan lahan gambut, terutama di wilayah tropis sangat penting dalam tindakan mitigasi perubahan iklim. Upaya restorasi dan manajemen berkelanjutan dari lahan gambut tropis juga dapat mendukung konservasi biodiversitas serta meningkatkan aspek sosial ekonomi masyarakat,” katanya.
Menurut Haruni, sampai kini sudah terdapat beberapa hasil studi yang mengidentifikasi potensi lahan gambut dalam penurunan emisi. Kolaborasi antar-para peneliti dibutuhkan untuk meningkatkan kalkulasi dalam pelaporan penurunan emisi di sektor lahan gambut ini.
Inklusi atau pendekatan pengelolaan lahan gambut terutama di wilayah tropis sangat penting dalam tindakan mitigasi perubahan iklim.
Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Agus Yasin menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki lahan gambut terbesar di dunia, yakni seluas 13,4 juta hektar. Lahan gambut di Indonesia ini tersebar di sejumlah wilayah seperti Sumatera (37,8 persen), Kalimantan (34,6 persen), Papua (27,2 persen), dan Sulawesi (0,4 persen).
”Lahan gambut di Indonesia telah banyak terkonversi menjadi perkebunan dan agrikultur. Drainase kanal merupakan salah satu penyebab utama kerusakan lahan gambut. Kerusakan ini akan melepaskan emisi, kehilangan biodiversitas, dan kebakaran hutan,” ujarnya.
Data BRGM mencatat, Indonesia memiliki total 408 kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang merupakanekosistem gambut yang terletak di antara dua sungai, di antara sungai dengan laut atau rawa-rawa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 178 KHG memiliki kanal dengan luas mencapai 239.803 kilometer.
Upaya restorasi
Upaya restorasi dan pengelolaan gambut yang dilakukan BRGM selama ini berfokus pada pembasahan (rewetting), penanaman (revegetation), dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar (revitalization). Sejak pertama kali dibentuk pada 2016 sampai 2022, BRGM telah membangun 7.697 sekat kanal, menanam kembali di lahan gambut seluas 2.147 hektar, dan memberdayakan 1.238 kelompok masyarakat.
Sementara khusus pada tahun 2022, BRGM telah merestorasi gambut seluas 244.915 hektar.Tahun lalu BRGM juga melakukan pembangunan sekat kanal sebanyak 451 unit, revegetasi lahan gambut seluas 220 hektar, dan pemeliharaan tahun pertama revegetasi 170 hektar.
”Pembangunan sekat kanal yang dimodifikasi juga dapat digunakan untuk akses transportasi kapal-kapal tradisional masyarakat. Sementara proses revegetasi menunjukkan tanaman bertumbuh sangat baik hingga lima meter selama tiga sampai empat tahun,” tutur Agus.
Selain itu, BRGM juga telah mengembangkan 746 desa mandiri peduli gambut (DMPG). Sebagai penyelaras program restorasi gambut, kegiatan dalam DMPG meliputi perencanaan dan pembentukan kawasan pedesaan, perhutanan sosial dan reforma agraria, resolusi konflik, pemberdayaan ekonomi desa, hingga pencegahan karhutla.
”Kami mengerahkan fasililitator di setiap desa dan mereka yang akan memfasilitasi pemetaan spasial. Fasilitator juga akan memperkuat pengetahuan lokal dan inovasi serta terlibat dalam restorasi lahan gambut yang terintegrasi,” katanya.