Solidaritas Global untuk Mengatasi Dampak Buruk Candu Narkoba
Dunia menghadapi situasi darurat penyalahgunaan narkoba. Pendekatan penanggulangan zat adiktif itu perlu diubah berbasis prinsip hak asasi manusia dan inklusi.
Dunia menghadapi situasi darurat penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Sejak konvensi tunggal obat-obatan narkotika tahun 1961 disepakati hingga kini, perang global memberantas penyalahgunaan narkoba tak kunjung berakhir. Jumlah kasus terus bertambah bahkan merenggut nyawa penggunanya.
Laporan Narkoba Dunia Tahun 2022 yang diterbitkan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) memperkirakan 284 juta orang atau 5,6 persen orang dewasa berusia 15-64 tahun menggunakan obat-obatan terlarang dalam 12 bulan terakhir. Angka ini naik 26 persen sejak tahun 2010.
Secara global, sekitar 500.000 orang meninggal akibat penyalahgunaan napza dan sekitar 70 persennya terkait opioid dengan 30 persen lebih di antaranya disebabkan overdosis. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 115.000 orang meninggal akibat overdosis napza pada tahun 2017, terutama di Amerika Serikat dan Kanada.
Para pengguna narkoba suntik juga rentan terpapar sejumlah penyakit infeksi. Studi global menunjukkan, satu dari enam pengguna narkoba suntik terinfeksi HIV. Sementara empat dari 10 pengguna narkoba suntik saat ini terpapar hepatitis C dan satu dari 12 pengguna narkoba suntik terkena infeksi hepatitis B kronik.
Berdasarkan data WHO, angka kasus baru hepatitis C per tahun di antara pengguna narkoba suntik 8 per 100 orang pada tahun 2020 dan ditargetkan turun menjadi 3 per 100 orang tahun 2025. Sementara angka kematian akibat hepatitis C per tahun dari 290.000 atau 5 per 100.000 pada 2020 ditargetkan turun jadi 240.000 kasus atau 3 per 100.000 pada 2025.
Baca juga: Layanan Pengurangan Dampak Buruk Narkoba Masih Terbatas
Menurut Koordinator Teknis Pencegahan Inovatif dan Populasi Kunci Departemen Program Global HIV dan Hepatitis WHO Annette Verster, dalam Harm Reduction pre-Conference, di Melbourne, Australia, Sabtu (15/4/2023), pengendalian penyakit ini terkendala terbatasnya akses warga terhadap layanan tes dan perawatan, termasuk harm reduction atau pengurangan dampak buruk narkoba.
Sanksi hukum
Direktur Eksekutif Harm Reduction International (HRI) Naomi Burke-Shyne, dalam Harm Reduction International Conference, di Melbourne, Minggu (16/4/2023), menyatakan, situasi itu disebabkan kebijakan penanganan dampak buruk narkoba di sejumlah negara menitikberatkan pada penerapan sanksi hukum pidana. Tak ada toleransi penggunaan narkoba.
”Stigma dan disinformasi merupakan dasar sebagian besar kebijakan publik tentang narkoba di banyak negara. Padahal, tak ada bukti kebijakan berfokus pada hukuman dan toleransi nol terhadap penggunaan narkoba mencapai tujuannya untuk mengurangi konsumsi narkoba dan dampak buruk yang ditimbulkannya,” kata Naomi.
Ketua Komisi Global untuk Kebijakan Narkoba Helen Clark menyatakan, lebih dari enam dekade setelah Single Convention on Narcotic Drugs (Konvensi Tunggal Narkotika) lahir tahun 1961, banyak konsekuensi negatif pelarangan penggunaan narkoba. ”Ini menunjukkan kegagalan kebijakan pelarangan total pemakaian narkoba,” ujarnya.
Tak ada bukti kebijakan berfokus pada hukuman dan toleransi nol terhadap penggunaan narkoba mencapai tujuannya untuk mengurangi konsumsi narkoba dan dampak buruk yang ditimbulkannya.
Tinjauan Global Tahun 2022 yang dilansir Harm Reduction International melaporkan 35 negara menetapkan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba dan sekitar selusin negara memberlakukan sanksi hukuman mati wajib bagi terpidana kasus narkoba.
Kini lebih dari 3.000 orang menghadapi ancaman hukuman mati karena kasus narkoba. Dalam sepuluh tahun terakhir, setidaknya 4.000 orang dieksekusi karena pelanggaran terkait peredaran narkoba.
Baca juga: Kebijakan Narkoba Masih Berfokus pada Penegakan Hukum
Penerapan undang-undang narkoba berfokus pada menghukum pelaku pelanggaran terkait narkoba juga meningkatkan kepadatan penjara. Penal Reform International melaporkan pada 2022, satu dari lima orang berada di penjara akibat pelanggaran terkait narkoba. Diperkirakan ada 2,2 juta orang ditahan karena kasus narkoba.
Menurut Helen, konsekuensi negatif kebijakan pelarangan dan hukuman bagi pelaku pelanggaran terkait narkoba juga mengakibatkan perilaku berisiko tinggi seperti penyuntikan tak aman, menghambat akses layanan kesehatan, menginvestasikan sumber daya tak efektif, serta membebani anggaran individu dan pemerintah.
Pelarangan dan kriminalisasi kepemilikan serta penggunaan zat psikoaktif juga membahayakan kelompok rentan antara lain perempuan, masyarakat adat, remaja, serta orang dengan HIV. ”Karena itu, pendekatan pemberian sanksi hukum perlu beralih ke kebijakan berbasis bukti yang menghormati hak asasi manusia,” kata Helen.
Pengendalian narkoba yang berfokus pada penegakan hukum dan kerap menyasar komunitas miskin diperkirakan menghabiskan biaya 100 miliar dollar AS tiap tahun. ”Hentikan aliran dana untuk sistem hukuman yang menindas. Sebagian dana harus diinvestasikan untuk kesehatan, keadilan, dan komunitas,” kata Naomi.
”Konsekuensi negatif kebijakan narkoba mesti menjadi isu bersama. Kami tidak dapat melawan rasisme, mencapai keadilan jender, atau memastikan tiap orang mendapat hak lebih sehat dan aman tanpa mereformasi undang-undang narkoba yang jadi alat dalam sistem penindasan ini. Jadi, perlu ada gerakan bersama,” ujarnya.
Pendekatan kesehatan
Padahal, bahaya narkoba bisa dimitigasi dengan mengedepankan aspek sosial dan kesehatan. Layanan harm reduction merupakan bentuk upaya pengurangan dampak buruk, khususnya narkotika dan psikotropika. WHO, UNODC, dan Badan PBB untuk Masalah HIV/AIDS (UNAIDS) mendeklarasikan sembilan program harm reduction.
Beberapa program tersebut antara lain layanan alat suntik steril, terapi substitusi opiat dan layanan pemulihan adiksi lainnya, konseling dan testing HIV, sosialisasi dan edukasi bagi pengguna narkoba suntik dan pasangan seksualnya, vaksinasi, diagnosis, dan pengobatan hepatitis maupun tuberkulosis.
Namun, pendekatan ini menghadapi tantangan regulasi serta norma sosial dan budaya. Banyak pembuat kebijakan enggan menerima pemberantasan total narkoba mustahil dilakukan dan menganggap mendukung pengurangan dampak buruk berarti membenarkan penyalahgunaan napza. Akibatnya, alokasi dana program ini amat kecil.
Konsep harm reduction dan intervensinya menimbulkan perdebatan sejak pertama kali diangkat dalam forum pengawasan narkoba internasional pada pertengahan 1980-an. Pengurangan dampak buruk menjadi tantangan terhadap pendekatan hukuman sesuai konvensi internasional pengendalian narkotika.
Hal itu karena pengurangan dampak buruk tidak memaksakan pencegahan dan terapi berbasis larangan pemakaian napza. Layanan ini menjangkau pengguna narkoba di mana pun berada demi membangun kepercayaan dengan populasi terpinggirkan.
Baca juga: Kolaborasi untuk Mengurangi Dampak Buruk Narkoba
Jadi, layanan ini mengubah pendekatan penanganan narkoba, hemat biaya, dan mengatasi dampak negatif kebijakan narkoba. Namun, layanan ini belum tersedia dalam skala luas. Kurang dari 2 persen pengguna narkoba suntik tinggal di negara dengan cakupan jarum suntik dan terapi substitusi opioid sesuai rekomendasi PBB.
Di banyak negara belum tersedia layanan pengurangan dampak buruk napza, bahkan mengkriminalkan kepemilikan jarum suntik. Pengurangan dampak buruk napza jadi bagian penting perubahan pendekatan penanganan narkoba dan merupakan bagian dari gerakan hak asasi manusia yang lebih luas.
Strategi ini mengakui kombinasi faktor psikologis, biologis, sosial, lingkungan, dan budaya memengaruhi kehidupan individu. Jadi, inisiatif ini harus menyediakan akses ke layanan kesehatan dan sosial, termasuk layanan hukum.
Terlepas dari tantangan yang dihadapi, pengurangan dampak buruk berhasil dilakukan di sejumlah negara. Laporan Global State of Harm Reduction 2022 menunjukkan 105 negara memasukkan referensi pendukung untuk mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba dalam dokumen kebijakan nasional.
Jumlah negara yang menerapkan program pengurangan dampak buruk napza, seperti program jarum suntik dan pengoperasian ruang penggunaan obat, terus bertambah. Saat ini 92 negara menerapkan program layanan jarum suntik steril (NSP) atau naik dari 86 negara pada tahun 2020.
Pemeriksaan sampel obat turut mencegah kematian akibat overdosis napza. Selandia Baru jadi negara pertama melegalkan pemeriksaan narkoba. Di New York City, Amerika Serikat, adanya ruang konsumsi napza terpantau tenaga medis menyelamatkan nyawa ratusan orang sejak tempat itu beroperasi pada November 2021.
Sementara wilayah ibu kota Australia memperkenalkan tempat pengujian obat tahun lalu dan mendekriminalisasi kepemilikan napza berjumlah kecil.
Di Indonesia, layanan pengurangan dampak buruk narkoba diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Terapi Rumatan Metadona. Terapi pengganti opiat ini untuk mengendalikan perilaku ketergantungan opiat dan mengurangi penularan HIV dan AIDS.
Namun, menurut Human Right Lead HRI, Ajeng Larasati, layanan terapi metadona untuk mengurangi dampak buruk napza baru tersedia di kota besar. Itu mencerminkan fokus kebijakan narkoba masih pada penerapan sanksi hukum dan kewajiban ikut rehabilitasi. ”Hanya 10 persen dari total pengguna narkoba butuh rehabilitasi,” ujarnya.
Helen menegaskan, regulasi nasional terkait narkoba mesti sejalan dengan norma hak asasi manusia. Negara-negara perlu membuka akses universal ke layanan harm reduction, mendekriminalisasi kepemilikan napza untuk pribadi, serta mengakhiri kekerasan pada pengguna napza. ”Inklusi, kesetaraan, dan nondiskriminasi harus menjadi prinsip dasar semua kebijakan,” ujarnya.