Penelitian untuk melestarikan ikan wader dibutuhkan karena ikan ini terancam punah. Dukungan riset dan pemberdayaan terkait ikan wader salah satunya dilakukan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikan wader pari (Rasbora lateristriata) menjadi salah satu ikan yang laris dikonsumsi masyarakat dan olahannya bernilai jual tinggi. Namun, keberadaan ikan wader di alam kini berada dalam ancaman kepunahan.
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Djumanto, dalam pidato pengukuhan guru besar berjudul ”Tantangan Peningkatan Produksi dan Pelestarian Sumber Daya Ikan Asli Perairan Darat Indonesia”, di Yogyakarta, Selasa (9/5/2023), mengatakan, status keberadaan ikan wader dapat meningkat menjadi kritis jika kualitas habitat ikan wader turun drastis sehingga tidak cocok untuk berkembang biak.
”Spesies ikan wader yang berstatus rentan bisa menjadi kritis ketika kualitas habitat ikan wader mengalami penurunan yang sangat drastis, sehingga tidak cocok untuk berkembang biak. Demikian halnya, ikan yang berstatus risiko rendah bisa menjadi rentan jika tingkat penangkapan dan gangguan antropogenik lainnya sangat tinggi,” papar Guru Besar Ilmu Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Pertanian UGM tersebut.
Djumanto menjelaskan, terdapat sejumlah faktor utama yang mengancam keberadaan ikan air tawar asli perairan darat, termasuk wader. Ancaman tersebut sangat tinggi dengan jenis yang cukup beragam.
Salah satunya adalah cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, misalnya menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti memakai setrum atau kejut listrik.
Selain itu, ancaman juga muncul dari perilaku pemancing ikan ataupun penggemar ikan yang kurang bertanggung jawab, seperti melepaskan spesies ikan tertentu yang berakibat pada penurunan populasi ikan mangsa. Lalu, introduksi spesies asing yang invasif bisa menjadi kompetitor atau predator ikan asli.
Ancaman muncul dari perilaku pemancing ikan ataupun penggemar ikan yang kurang bertanggung jawab, seperti melepaskan spesies ikan tertentu yang berakibat pada penurunan populasi ikan mangsa.
Lebih lanjut Djumanto menjelaskan, perairan umum darat di Daerah Istimewa Yogyakarta masih menyimpan sebanyak 47 jenis ikan, meliputi 42 jenis ikan lokal/asli dan 5 jenis ikan introduksi, yakni ikan red devil, guppy, nila, sapu-sapu, dan ekor pedang. Adapun berdasarkan status keberadaannya, ikan berstatus risiko rendah sebanyak 83 persen, ikan berstatus belum dievaluasi sebesar 13 persen, sedangkan yang berstatus informasi data kurang dan rentan masing-masing 2 persen.
Perlindungan dan pelestarian terhadap ikan asli dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pemanfaatan ikan terkendali, pembuatan reservat, penebaran atau restocking, pengendalian ikan invasif, domestikasi ikan asli, dan modifikasi habitat pemijahan.
Terkait modifikasi pemijahan, sebagian besar ikan memijah bertepatan saat musim hujan ketika tersedia air yang melimpah dan kualitasnya baik. Sementara pada ikan wader pari yang mendiami sungai Ngrancah, pemijahan terjadi pada peralihan musim hujan dan kemarau ketika suhu udara rendah dan kandungan oksigen tinggi.
Pemijahan bisa dilakukan dengan menyediakan habitat pemijahan berupa cekungan yang berukuran sekitar 2 x 1 meter persegi dan rerata kedalaman air 30 cm dengan substrat dasar pasir pada sisi sungai. Kondisi seperti ini dapat memicu ikan wader pari untuk datang dan memijah.
Semakin banyak cekungan sebagai habitat pemijahan di sepanjang sisi sungai dapat meningkatkan peluang ikan wader pari untuk memijah sehingga populasinya akan tinggi. Mode yang sama dapat digunakan untuk jenis ikan lain yang menjadi target untuk dikonservasi, misalnya ikan uceng (Nemacheilus fasciatus).
Secara tepisah, Aquatic Research Group, Fakultas Biologi UGM, pernah melakukan penyuluhan terkait budi daya ikan wader pari. Penyuluhan ini dibutuhkan dan dilakukan pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki minat untuk melakukan budi daya ikan wader pari.
Salah satu seri kegiatan penyuluhan masyarakat untuk budi daya ikan lokal ini dilaksanakan dalam bentuk kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan DIY pada November 2020 di Sleman dan Bantul, antara lain di Potorono, Temuwuh, Sumbersari, serta Wonokerto.
Inisiator Aquatic Research Group, Bambang Retnoaji, mengatakan, ada fasilitas alat pemijahan portabel ikan wader pari hasil kolaborasi dengan Kelompok Petani Ikan Santan Mina Lestari Binaan CSR PLN Peduli. Dikenalkan pula sistem budi daya semi-massal yang lebih mudah diterapkan di lingkungan perkotaan, serta potensi pengembangannya dengan basis teknologi informasi seperti penggunaan microcontroller dan sensor untuk otomatisasi pemberian pakan, pengaturan debit air, pengaturan suhu, dan penelusuran data parameter air menggunakan internet of things.
Selain melakukan pengembangan budi daya ikan wader pari saja, Aquatic Research Group juga terus melakukan edukasi terkait cara pembudidayaan ikan yang memiliki potensi nilai ekonomi tinggi.