Kini, ikan wader pari yang dikembangkan itu memasuki generasi ketiga. Selain unggul dalam adaptasi, wader pari hasil pengembangan itu juga lebih mudah bertelur.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·2 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Universitas Gadjah Mada meneliti optimalisasi budidaya wader pari, ikan lokal yang populasinya merosot di alam. Hasil penelitian, pemijahan atau reproduksi ikan bisa dilakukan setiap dua pekan dari sebelumnya 1-2 kali setiap kemarau dan musim hujan.
Penelitian budidaya itu dilakukan Aquatic Research Group Fakultas Biologi UGM sejak 2012. ”Kalau kami bisa memijahkan setiap dua pekan, kami bisa membuat siklus reproduksi di alam menggunakan teknik berjenjang. Produksi bisa kontinu, tidak hanya mengandalkan satu atau dua kali tiap musim,” kata ketua peneliti, Bambang Retnoaji, di Laboratorium Struktur dan Pengembangan Hewan UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (4/2/2020).
Alasan penelitian, wader bernilai ekonomis. Publik juga menggemari olahan ikan kecil itu. Pada saat yang sama, konservasi ikan lokal berlanjut. Awalnya, tim peneliti mengumpulkan bibit dari sungai-sungai di DIY. Lalu, ikan dibuat beradaptasi dengan kondisi laboratorium.
Tim mulai merekayasa agar ikan bertelur pada 2014. ”Tahun 2015, kami menemukan teknologi sederhana memijahkan wader pari. Lewat teknologi ini dihasilkan indukan 500 butir sekali bertelur,” kata Bambang. Tingkat keberhasilannya 60-70 persen. Alat pemijah itu dirancang khusus. Pemijahan dilakukan di ruangan tertutup dengan kisaran suhu ruangan 25-30 derajat celsius. Lalu, kualitas oksigen terlarut berkisar 6-8. Derajat keasamannya (pH) juga diatur dengan sirkulasi air terus-menerus.
Generasi ketiga
Kini, ikan wader pari yang dikembangkan itu memasuki generasi ketiga. Selain unggul dalam adaptasi, wader pari hasil pengembangan itu juga lebih mudah bertelur. Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan DIY R Hery Sulistio menyampaikan, dinas menjalin kerja sama atas hasil penelitian itu.
Tujuannya, memunculkan ikan-ikan lokal untuk meminimalkan jumlah ikan invasif di perairan DIY. Kerja sama ditandatangani pada Februari 2020. ”Sekarang, yang di lapangan itu banyak ikan berpotensi invasif. Kita harus munculkan ikan-ikan lokal khas, salah satunya wader pari,” kata Hery.
Sebelumnya tidak ada masyarakat yang membudidayakan. Ikan diambil dengan cara disetrum atau dijaring.
Saat ini, kata Bambang, pihaknya sudah membuat kelompok binaan budidaya wader pari itu. Ada tiga kelompok, yaitu satu kelompok di Kulon Progo dan dua kelompok di Sleman. Dari tiga kelompok itu, baru satu kelompok aktif, yakni Kelompok Santan Mina Jaya di Sleman. Mereka sudah lima kali panen sejak 2018. Sekali panen 20-30 kilogram.
”Sebelumnya tidak ada masyarakat yang membudidayakan. Ikan diambil dengan cara disetrum atau dijaring,” ujar Bambang. Menurut Hery, kajian UGM itu dikembangkan lebih lanjut oleh Balai Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya Cangkringan. Induk yang dihasilkan dikembangbiakkan lagi agar lebih banyak jumlahnya.
Sebagian akan ditebarkan ke perairan umum. ”Kami juga mendorong agar teknologi budidaya ini bisa dikembangkan di masyarakat. Intinya, bagaimana wader pari bisa memberi keuntungan bagi pembudidayanya,” kata Hery.