Edukasi sejak Dini Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan
Berdasarkan laporan UNEP tahun 2022, pada 2030, peningkatan akibat perubahan iklim dengan potensi kebakaran ekstrem hingga 14 persen. Pada 2050 diprediksi meningkat 30 persen serta naik menjadi 50 persen pada 2100.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Perubahan iklim berpotensi mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, lebih sering. Negara-negara dengan potensi karhutla yang tinggi dituntut bersiap menghadapi ancaman tersebut. Upaya mitigasi dini dan edukasi kepada masyarakat, petugas, dan lembaga terkait perlu lebih dimasifkan.
Berdasarkan laporan tahun 2022 dari Program Lingkungan PBB (UNEP), pada 2030, peningkatan akibat perubahan iklim dengan potensi kebakaran ekstrem meningkat hingga 14 persen. Angka tersebut diprediksi kembali meningkat hingga 30 persen pada akhir 2050 dan 50 persen pada akhir abad ini.
Upaya edukasi diwujudkan dalam sebuah konferensi kebakaran yang digelar IPB University berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia. Acara ini berlangsung secara hibrida dengan menghadirkan pembicara pegiat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dari sejumlah negara Eropa, Asia, serta lembaga negara terkait.
Kami fokus pada upaya penanganan ketika api berhasil menyebar dengan upaya dilakukan harus maksimal menghentikan api sedini mungkin.
”Kami mencoba mengisi puzzle dari penanganan negara yang berbeda. Misalnya, dari Perancis kami belajar penanganan di wilayah pegunungan. Kemudian di Thailand kebakaran lahan kering dan Malaysia kebakaran lahan gambut,” kata Direktur Regional Forest Fire Management Resource Center-Southeast Asia (RFMRC-SEA) Bambang Hero Saharjo kepada wartawan seusai acara konferensi di Bogor, Jawa Barat, Rabu (10/5/2023).
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB ini menyebut, kendati beberapa negara Asia Tenggara belum sebaik Perancis dalam upaya penanganan, perspektif lain tetap diperlukan. ”Langkah paling dasar dari pencegahan adalah edukasi sehingga kami mengundang banyak pihak, mulai dari unsur pemerintah, civitas, hingga perwakilan dari daerah rawan karhutla,” ujar Bambang.
Perwakilan Perancis, Christelle Helly dari Université Paris Sciences et Lettres mengungkapkan, dalam penanganan pencegahan dini dilakukan dengan edukasi. Edukasi tersebut mulai dari sosialisasi, penyuluhan, hingga pembinaan masyarakat yang berada di kawasan rawan karhutla.
Helly menyebut, salah satu upaya preventif yang cukup sentral adalah melatih manajemen masyarakat di kawasan rawan karhutla. Pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang batas-batas area persebaran api akan mempermudah proses mitigasi awal saat kebakaran.
”Selain itu, kami juga fokus pada upaya penanganan ketika api berhasil menyebar dengan upaya dilakukan harus maksimal menghentikan api sedini mungkin. Kemudian, mencegah persebaran api serta pemulihan segera wilayah yang terdampak kebakaran,” ucap Helly.
Teknologi
Bambang menyebut, negara-negara di kawasan Asia Tenggara mayoritas belum memanfaatkan teknologi secara efisien. Menurut dia, upaya penanganan di Perancis terbantu dengan teknologi simulator kebakaran atau fire simulator. Dengan simulator tersebut, bisa memprediksi mitigasi yang sesuai saat terjadi kebakaran. Di samping itu, pemetaan wilayah rawan karhutla dengan penanganan efektif pada wilayah kebakaran.
”Ini sudah disiapkan sejak 2022, bahkan prototipenya sudah ada. Saat ini sedang finalisasi segara dimanfaatkan. Teknologi ini akan menjadi yang pertama kali diterapkan di Asia Tenggara. Fire simulator tentu akan mempercepat dan mengefisiensi pemadaman,” kata Bambang.
Bambang berharap pemanfaatan teknologi bisa ditindaklanjuti Pemerintah Indonesia di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin kritis, termasuk ancaman El Nino yang diprediksi lebih kering pada semester dua 2023.
Direktur Mitigasi Kedeputian Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Barton Suar Pelita Panjaitan mengatakan, pemerintah telah mengupayakan pencegahan dini. Konsep wajib latih penanggulangan bencana dalam upaya meningkatkan kapasitas desa dan mewujudkan ketangguhan masyarakat sekitar dalam menghadapi risiko bencana.
”Tantangan yang masih muncul saat ini adalah partisipasi masyarakat yang masih rendah. Hal ini bisa berpengaruh pada keberlanjutan program,” ujar Barton.