Adaptasi yang Menjaga Asa Masyarakat Pesisir Utara Jawa
Penurunan muka tanah sekaligus adanya dampak perubahan iklim mempercepat proses tenggelamnya desa-desa di pesisir utara Jawa. Berbagai upaya adaptasi dilakukan masyarakat agar lepas dari ancaman ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Embusan angin dari arah Pantai Utara Jawa terasa sampai gubuk Slamet (68) di ujung Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, Selasa (9/5/2023). Gubuk yang dibangun di atas air tersebut menjadi tempat berjualan makanan kecil sekaligus peristirahatan Slamet setelah seharian beraktivitas.
Slamet mengingat dengan jelas ketika daerah yang jadi tempat dibangunnya gubuk tersebut masih berupa daratan pada tahun 1990-an. Saat itu, daerah di sekitar gubuk merupakan pematang sawah untuk menampung air saat musim kemarau. Daerah itu juga dapat ditanami jagung dan ketela dengan produktivitas tinggi.
”Tahun 1990-an, daerah ini juga masih berfungsi untuk budidaya ikan bandeng. Abrasi parah di Timbulsloko terjadi mulai tahun 2007 dan terus berlanjut sampai sekarang,” ujar Slamet yang juga pernah menjadi perangkat Desa Timbulsloko tahun 1990-an ini.
Timbulsloko merupakan salah satu desa yang mengalami abrasi dan banjir rob terparah di pesisir Demak sejak beberapa tahun terakhir. Desa ini memiliki empat pedukuhan, yakni Bogorame, Timbulsloko, Wonorejo, dan Karanggeneng. Air laut dari abrasi telah menenggelamakan mayoritas rumah warga di desa ini.
Berdasarkan catatan selama ini, desa pertama yang tenggelam di Demak adalah Tambaksari pada 1997. Kemudian desa kedua yang tenggelam adalah Dukuh Rejosari Senik pada 2000 dan Bedono tahun 2005. Tenggelamnya desa tersebut membuat mayoritas keluarga mengungsi.
Slamet dan masyarakat di pesisir Demak lain tidak mengetahui dengan pasti penyebab abrasi dan air laut mulai menyapu rumah mereka. Masyarakat baru mengetahui pemicu abrasi karena aktivitas reklamasi di pesisir Kota Semarangdan dampak perubahan iklim dari akademisi yang datang ke Timbulsloko untuk melakukan riset.
Slamet bercerita seorang akademisi dan peneliti dari perguruan tinggi pernah memperkirakan desa-desa di pesisir Demak tak bisa diselamatkan dari abrasi. Bahkan, desa pesisir di Demak akan tenggelam belasan tahun ke depan.
Intervensi teknis seperti pembuatan teknologi pemecah gelombang hanya memperlambat tenggelamnya desa itu dan bukan solusi permanen.
Pernyataan dari peneliti tersebut tidak membuat Slamet berencana meninggalkan tanah kelahirannya dalam waktu dekat. Slamet tetap percaya bahwa sebagian masyarakat masih bisa beradaptasi dengan kondisi Timbulsloko meski rumah mereka terendam air.
Sejak beberapa tahun terakhir, beberapa warga yang masih bertahan menggunakan perahu untuk berpindah lokasi. Masyarakat di pesisir Demak lainnya juga mulai meninggikan rumah mereka untuk mencegah air rob masuk ke dalam rumah. Namun, saat musim hujan atau ketika rob besar datang, upaya ini tetap sia-sia menghalau air masuk ke dalam rumah.
Terlepas dari kondisi yang terjadi saat ini, Slamet dan mayoritas warga pesisir Demak lainnya mulai menyadari pentingnya menjaga lingkungan mereka. Salah satu upaya itu dilakukan dengan terus menanam mangrove di kawasan pesisir melalui dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah (NGO).
Bahkan, Pemerintah Desa Timbulsloko membuat aturan melarang penebangan mangrove untuk menjaga kawasan pesisir. Warga yang terbukti menebang mangrove akan dikenai sanksi berupa pembayaran denda sekaligus menanam kembali 100 bibit mangrove.
”Saya tidak memahami ilmu dari orang-orang yang meneliti di sini. Namun, saya selalu siap jika diminta membantu untuk mencegah daerah kami tenggelam, seperti menanam mangrove atau memasang teknologi pemecah ombak,” ucap Slamet.
Agenda prioritas
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan, Walhi melihat selama ini masyarakat lokal memiliki banyak inisiatif dalam menyelamatkan dan memulihkan desa yang tenggelam. Hal ini ditunjukkan masyarakat pesisir di Demak dan Semarang dengan menanam mangrove.
Meski demikian, masyarakat seolah berjuang sendiri mengatasi abrasi dan dampak krisis iklim lainnya apabila inisiatif itu tak didukung pemerintah. Oleh karena itu, upaya adaptasi perubahan iklim ini juga harus menjadi agenda prioritas pemerintah.
”Pemerintah harus menjadi aktor penting dalam upaya adaptasi. Bahkan, bila perlu, ada pendanaan yang dialokasikan di pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten untuk upaya adaptasi,” ujarnya.
Parid pun menekankan bahwa pihak yang perlu didorong untuk meningkatkan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bukanlah masyarakat, melainkan pemerintah. Di tingkat nasional, pemerintah harus memiliki kebijakan perlindungan daerah pesisir dan pulau kecil yang dituangkan dalam dokumen rencana pembangunan jangka panjang.
Meski Indonesia merupakan negara kepulauan, perlindungan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil ini tidak pernah dituangkan dalam kebijakan tata ruang di tingkat pusat hingga daerah. Sebaliknya, kebijakan yang ada selama ini justru lebih memfasilitasi dan memprioritaskan kepentingan industri seperti reklamasi.
Pemerintah harus menjadi aktor penting dalam upaya adaptasi. Bahkan, bila perlu ada pendanaan yang dialokasikan di pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, untuk upaya adaptasi.
”Apabila berbicara mitigasi, ke depan pemerintah seharusnya mulai mengevaluasi dan mencabut beban industri berat di kawasan pesisir utara jawa karena akan mempercepat wilayah itu tenggelam. Jadi, ruang tersebut harus dialokasikan untuk kawasan hijau seperti ekosistem mangrove, termasuk untuk akses masyarakat,” ungkapnya.
Dampak pembangunan
Pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Hotmauli Sidabalok dalam diskusi tentang keadilan iklim pertengahan April lalu menyebut kerusakan daerah pesisir Jawa, khususnya Demak, tidak terlepas dari dampak pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan.
Salah satu contoh pembangunan ini ditunjukkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Tol Tanggul Laut Semarang-Demak dan proyek lainnya, yakni kampung nelayan Tambak Lorok. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, dua proyek pembangunan tersebut justru dinilai berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan merusak ekosistem pesisir.
Menurut Hotmauli, proyek pembangunan tersebut tidak mengedepankan perspektif keadilan lingkungan lantaran lebih banyak beban yang ditimbulkan dibandingkan keuntungan. Beberapa beban lingkungan itu, terjadinya perubahan lahan pertanian dan tambak, amblesan tanah, penutupan sungai di hilir, dan hilangnya aktivitas menjaga mangrove.
Contoh tersebut membuat Hotmauli menyimpulkan bahwa aspek keadilan lingkungan dan iklim tidak semata-mata muncul dari kondisi alam, tetapi juga pembangunan yang dilakukan selama ini. Sebab, mayoritas masyarakat di sekitar lokasi tidak mengetahui dampak buruk yang ditimbulkan dari proyek pembangunan tersebut.
Hotmauli menekankan, semua pihak harus mencermati pembangunan secara kritis, termasuk yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Advokasi juga harus dikedepankan kepada pemerintah agar pembangunan yang dicanangkan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun lingkungan.