Perubahan Iklim Pengaruhi Ekonomi Empat Provinsi
Hasil kajian menunjukkan, pusat-pusat ekonomi di provinsi di seluruh Asia menghadapi risiko kerusakan tertinggi akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Di Indonesia, empat provinsi juga tercatat menghadapi risiko ini.
Hasil kajian terbaru menunjukkan bahwa pusat-pusat ekonomi di provinsi di seluruh Asia menghadapi risiko kerusakan tertinggi akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Di Indonesia, empat provinsi juga tercatat menghadapi risiko ini.
Risiko kerusakan ekonomi akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim ini terangkum dalam laporan terbaru dari organisasi analis risiko iklim The Cross Dependency Initiative (XDI) yang diluncurkan pada Senin (20/2/2023). Laporan ini menghitung risiko iklim fisik terhadap lingkungan di lebih dari 2.600 wilayah di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Hasil laporan tersebut menunjukkan, empat provinsi di Indonesia, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta, masuk ke dalam peringkat 100 besar global wilayah dengan risiko kerusakan ekonomi tertinggi. Secara berurutan, Jatim menempati peringkat ke-23, kemudian Jabar (24), Jateng (31), dan DKI Jakarta (91).
Selain keempat provinsi tersebut, terdapat pula enam wilayah lainnya di Indonesia yang juga memiliki risiko kerusakan tertinggi secara global. Enam wilayah tersebut adalah Sumatera Utara (67), Sulawesi Selatan (80), Sumatera Selatan (84), Kalimantan Barat (110), Banten (119), dan Aceh (132).
Dalam penyusunan laporan ini, XDI mengumpulkan data Risiko Iklim Domestik Bruto dengan membandingkan lebih dari 2.600 provinsi dan negara bagian di seluruh dunia.
Data perbandingan mencakup proyeksi model kerusakan bangunan dan properti akibat cuaca ekstrem serta dampak dari perubahan iklim, yakni banjir, kebakaran hutan, dan kenaikan permukaan air laut. Pada 2050, setengah lebih dari 200 provinsi yang menempati daftar teratas kerusakan tersebut berada di Asia.
Peringkat Risiko Iklim Domestik Bruto XDI ini mencerminkan risiko fisik terhadap daerah yang merujuk pada delapan parameter dampak cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Delapan parameter tersebut, di antaranya, banjir sungai dan permukaan, genangan pesisir, panas ekstrem, kebakaran hutan, pergerakan tanah, angin ekstrem, dan pencairan es beku.
CEO XDI Rohan Hamden menyampaikan, XDI merilis analisis ini sebagai tanggapan atas permintaan investor tentang risiko di tingkat provinsi dan regional. Temuan dari peringkat Risiko Iklim Domestik Bruto XDI menggarisbawahi pentingnya penetapan harga risiko iklim fisik di pasar keuangan dan perlunya ketahanan iklim untuk investasi.
”Temuan dari XDI sangat penting guna melihat kerangka kerja investasi yang tahan iklim di Asia dan menilai risiko iklim fisik ke dalam rantai pasok,” ujar Hamden melalui siaran pers.
Baca Juga: Reorientasi Pendanaan Perubahan Iklim
Hamden menjelaskan, wilayah-wilayah di Asia memiliki kerugian terbesar dalam skala kerusakan dan eskalasi risiko. Risiko kerusakan ini semakin besar seiring meningkatnya dampak perubahan iklim di Asia. Namun, wilayah di Asia juga berpotensi mendapat keuntungan terbesar dari upaya pencegahan dan percepatan investasi ketahanan iklim.
Ia pun menekankan agar semua pihak, seperti perusahaan, pemerintah, dan investor, untuk memahami implikasi keuangan dan ekonomi dari risiko iklim ini. Semua pihak perlu mempertimbangkan risiko ini dalam setiap pengambilan keputusan mereka sebelum biaya yang dikeluarkan meningkat dan melampaui titik kritis keuangan.
Sampai sekarang, laporan dari XDI ini disebut Hamden sebagai analisis global paling canggih tentang risiko iklim fisik. Sebab, laporan ini menyajikan keluasan dan kedalaman serta perincian dalam skala yang belum pernah dituangkan di laporan sebelumnya.
”Sekarang, industri keuangan dapat secara langsung membandingkan (risiko iklim) di Mumbai, New York, dan Berlin menggunakan metodologi serupa,” katanya.
Mempertegas ancaman
Laporan tentang risiko kerusakan ekonomi ini kian mempertegas ancaman perubahan iklim bagi wilayah di Indonesia ataupun dunia. Sebelumnya, pada 2021, laporan firma riset Verisk Maplecroft memasukkan Jakarta sebagai kota yang memiliki risiko bahaya lingkungan terbesar di dunia. Hal ini tidak terlepas dari polusi udara yang parah dan kian diperburuk oleh adanya ancaman abadi, seperti aktivitas seismik dan banjir.
Laporan Verisk Maplecroft juga menyebutkan, kota besar di Indonesia yang memiliki risiko bahaya lingkungan tidak hanya Jakarta, tetapi juga Surabaya dan Bandung. Dari total 100 kota paling berisiko, secara rinci Jakarta berada di urutan pertama, Surabaya posisi keempat, dan Bandung peringkat kedelapan.
Para peneliti yang menyusun laporan tersebut menilai 576 kota terbesar di dunia berdasarkan kualitas udara dan air, tekanan panas atau suhu, kelangkaan air, dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Selain itu, risiko bahaya lingkungan setiap kota juga dinilai dari keterpaparan lanskap, populasi, ekonomi, dan infrastrukturnya terhadap bahaya alam, seperti gempa bumi, tsunami, serta tanah longsor.
Wilayah-wilayah di Asia memiliki kerugian terbesar dalam skala kerusakan dan eskalasi risiko. Risiko kerusakan ini semakin besar seiring meningkatnya dampak perubahan iklim di Asia.
Sejumlah kajian menunjukkan, Jakarta terus mengalami kenaikan permukaan air laut sekaligus penurunan tanah. Hal ini disebabkan menipisnya akuifer karena penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 10 juta penduduk Jakarta.
Baca Juga: Jakarta Disebut sebagai Kota dengan Risiko Bahaya Lingkungan Terbesar
Berdasarkan analisis tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada 2021, sebanyak 199 kota pesisir di Indonesia berpotensi terkena banjir rob tahunan pada 2050. Sekitar 118.000 hektar wilayah juga akan terendam air laut dan ada 8,6 juta warga terdampak dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 1.576 triliun.
Kendati demikian, ancaman ini belum sepenuhnya ditanggapai dengan serius oleh pemerintah daerah (pemda). Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada 2021 menunjukkan, empat dari tujuh daerah studi belum memilikimemiliki peraturan daerah (perda) atau regulasi khusus untuk program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Komitmen pemda
Melihat perkembangan sejauh ini, baru terdapat 10 kota di Indonesia yang menegaskan komitmennya dalam mengatasi perubahan iklimmelalui penandatanganan Proyek Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC). Kota tersebut adalah Cirebon, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Pekanbaru, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang, Gorontalo, dan Ternate.
Proyek CRIC merupakan sebuah proyek kemitraan Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Eropa yang didanai oleh Uni Eropa. Implementasinya di Indonesia dikelola oleh Asosiasi Pemerintah Kota/Daerah se-Asia Pasifik (UCLG ASPAC). CRIC membantu pemerintah kota untuk meningkatkan kapasitasnya dan memperbaiki tata kelola, mewujudkan pembangunan yang inklusif, serta menerapkan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC Bernadia Irawati Tjandradewimenyebut bahwa peran pemerintah daerah sangat penting. Sebab, hampir 65 persen dari tujuan pembangunan berkelanjutan harus dilaksanakan di tingkat lokal.
Selain itu, peran seluruh sektor di pemda juga sangat penting dalam mencapai ketahanan iklim dan tidak bisa diserahkan kepada satu dinas saja. Seluruh lembaga kedinasan yang dikoordinasikan oleh wali kota dapat menyusun kebijakan sesuai dengan daya tampung dan kemampuannya masing-masing.
Wali Kota Ternate Tauhid Soleman menuturkan, saat ini Pemkot Ternate telah mengeluarkan sejumlah regulasi guna mengatasi persoalan lingkungan dan perubahan iklim. Regulasi itu, antara lain, mengatur pembuatan sumur resapan, pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH) dan air limbah domestik, serta pengendalian pencemaran air.
Baca Juga: Regenerasi Kota Atasi Perubahan Iklim
Untuk mengatasi persoalan sampah, Pemkot Ternate juga terus meningkatkan edukasi masyarakat. Camat atau lurah setiap hari diinstruksikan untuk mengedukasi masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai agar tidak membuang sampah ke sungai (Kompas.id, 31/5/2021).
Berbagai hasil laporan tentang dampak perubahan iklim sepatutnya menjadi alarm peringatan bagi pemerintah di tingkat pusat hingga daerah. Peran pemerintah kota dan provinsi juga sangat penting karena capaian aksi ketahanan iklim yang inklusif ditentukan oleh aspek politik dan komitmen dari kepala daerah.