Bidan, Garda Terdepan Keselamatan Ibu dan Bayi
Bidan berperan penting mengawal kesehatan sejak janin dalam kandungan sampai bayi lahir agar menjadi sumber daya manusia berkualitas di masa depan. Namun, kesejahteraan bidan belum memadai.
Setelah menunggu pasien sejak pukul 08.00, salah satu bidan di Jakarta Selatan, Mely, akhirnya mendapatkan pasien pertamanya pada pukul 12.30. Seorang ibu bersama anaknya, balita berumur dua tahun, datang untuk memeriksa kesehatan si anak yang ternyata terkena flu.
Mely menyapa balita perempuan tersebut dengan senyuman. Sesekali, ia mengajaknya berbincang untuk mengalihkan ketakutan balita yang sedang berbaring di atas timbangan bayi itu. Menurut Mely, di tempatnya, pasien yang memeriksakan kesehatan lebih mendominasi daripada pasien melahirkan.
Bidan tidak hanya membantu proses persalinan calon ibu. Bidan lebih dari itu, mereka juga memiliki tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan melalui pendampingan, pendidikan kepada para calon ibu sejak masa reproduksi, kehamilan, 1.000 hari pertama kehidupan bayi, hingga anak berusia lima tahun.
Baca juga: Bidan Garda Depan Penurunan Tengkes di Jatim
”Bidan membantu serangkaian proses calon ibu, dari sebelum menjadi ibu hingga si anak berusia lima tahun. Jadi, bidan memiliki peran untuk menentukan generasi baru, juga berperan penting dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi,” tutur perempuan berusia 32 tahun tersebut, Kamis (4/5/2023).
Mulanya, menjadi bidan bukan cita-cita Mely. Namun, dorongan orangtua membuatnya menempuh pendidikan bidan di Akademi Kebidanan Al Fathonah Jakarta pada tahun 2009 hingga 2012. Asam pahit pun pernah ia lalui sepanjang kariernya, dari menolong bayi sungsang hingga ditipu pasien.
Dalam menjalankan profesinya, Mely dituntut menjaga profesionalitas dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam berpraktik, ia menjalani pendidikan tambahan untuk mengejar gelar profesi di Universitas Indonesia Maju pada tahun 2021-2023.
Tak kunjung mendapat panggilan dari rumah sakit, Mely akhirnya memilih membuka klinik persalinan di rumahnya sejak 2019 dengan bantuan satu asisten yang sesama bidan. Tak mudah baginya saat mengawali karier mandiri tersebut. Berminggu-minggu menanti, ia tak kunjung mendapatkan pasien saat itu. Apalagi, ia merupakan penduduk pendatang.
Bidan membantu serangkaian proses calon ibu, dari sebelum menjadi ibu hingga si anak berusia lima tahun. Jadi, bidan memiliki peran untuk menentukan generasi baru, juga berperan penting dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Surutnya pasien tidak hanya terjadi pada permulaan kariernya. Sejak tahun lalu, ia hanya mendapatkan 4-6 pasien dalam satu bulan. Pada perjalanan kariernya, kenaikan pasien hanya terjadi saat pandemi Covid-19. Masyarakat memilih untuk melahirkan di klinik persalinan karena susahnya mengurus administrasi rumah sakit.
Baca juga: Persalinan di Bidan Meningkat Selama Pandemi Covid-19
”Sekarang banyak warga memilih melahirkan di puskesmas dan rumah sakit karena adanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan). Pasien yang paling banyak ke sini itu karena ingin memasang alat KB (keluarga berencana). Bahkan, anak muda juga banyak,” tutur bidan asal Banten itu.
Hidup di era modern, tantangan mendirikan tempat persalinan mandiri juga berbeda. Bidan harus mampu meraih pasien melalui promosi di media sosial agar tidak tertinggal dari bidan yang lain.
”Zaman dulu, pasien akan tahu tempat kita melalui media ’dari mulut ke mulut’. Namun, saat ini bidan harus bisa mempromosikan tempatnya untuk menjangkau pasien," ujar Mely.
Sebagai garda depan dalam upaya pencegahan dan penurunan tengkes atau stunting pada generasi baru, sudah seharusnya bidan mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Ia berharap, pemerintah lebih memperhatikan penyediaan vaksin dan alat-alat medis lainnya, terutama bagi bidan mandiri.
Bekerja di dua tempat
Berbeda dengan Mely, salah satu bidan di Jakarta Pusat, Maya (45), memulai karier menjadi bidan karena ketertarikan untuk menolong orang. Ia menempuh pendidikan di Akademi Kebidanan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Selain membuka klinik persalinan di rumah, Maya menjadi salah satu bidan di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat.
Baca juga: Bidan Berperan Penting Turunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi
Pilihan Maya untuk membuka praktik sendiri tak lain juga untuk menambah pundi-pundi penghasilan. Maya dibantu dua asisten sesama bidan untuk menjalankan praktik. Jadwal Maya yang padat di rumah sakit harus ia bagi dengan jadwal praktik di rumah. Maya pun memilih bekerja secara sif agar bisa mengatur ritme kerja.
Menjadi bidan selama 21 tahun, Maya memiliki segudang pengalaman persalinan. Salah satunya mengawal pasien yang mengalami demam berdarah saat hendak melahirkan. Awalnya, ia beberapa kali menolak dan berniat merujuk pasien tersebut ke rumah sakit. Namun, sang pasien tetap bersikeras untuk menjalani proses persalinan di tempatnya.
”Syukurlah, bayi tersebut bisa lahir dengan normal. Itu menjadi pengalaman kebidanan saya yang tidak akan terlupakan,” ujar bidan asal Brebes, Jawa Tengah, itu.
Menurut Maya, tidak ada masalah yang berarti selama dirinya menjadi bidan. Meski menghadapi banyak duka, ia tetap mensyukuri semua proses yang berlalu. Baginya, melihat bayi lahir secara normal adalah rasa syukur terbesarnya.
Tantangan
Sekretaris Jenderal PP Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Ade Jubaedah mengatakan, tantangan bidan saat ini masih banyak. Padahal, menurut data riset kesehatan dasar, 82,6 persen pelayanan kesehatan melalui bidan. Mulai dari pelayanan pemeriksaan ibu hamil, persalinan, nifas, bayi baru lahir, hingga pemasangan KB.
Baca juga: Jalan Bidan Pita Jelajahi Kampung Baduy
Menurut Ade, kesejahteraan bidan masih belum sesuai dan merata. Banyak bidan dipekerjakan di luar pulau, tetapi tidak menerima pendapatan yang sesuai. Kurangnya alat kesehatan dan akses transportasi yang buruk juga menjadi masalah yang kerap dialami bidan di daerah terpencil.
”Sebenarnya, pembiayaan bidan di puskesmas sesuai golongan masing-masing. Namun, di beberapa daerah, masih banyak bidan honorer di puskesmas mendapat upah Rp 300.000. Malah, ada yang sama sekali tidak mendapatkan honor. Mereka digaji dari hasil iuran teman-temannya sendiri. Tenaganya dibutuhkan, tetapi kesejahteraannya tidak diperhatikan,” ujar Ade.
Sementara itu, tantangan untuk bidan praktik mandiri ialah beralihnya masyarakat menggunakan BPJS Kesehatan sehingga mereka memilih periksa ke puskesmas atau rumah sakit. Selain itu, standar persalinan saat ini ialah dua orang atau empat tangan bidan. Jadi, bidan praktik mandiri harus mengeluarkan biaya dalam merekrut bidan untuk bekerja sama, sementara mereka juga mengeluarkan biaya sendiri untuk alat-alatnya.
Susahnya mendaftar sebagai bidan di rumah sakit membuat beberapa bidan memilih untuk membuka praktik sendiri. Meskipun begitu, para bidan juga harus tetap melanjutkan pendidikan profesi sebagai syarat menjalankan praktik. ”Harapan kami, pemerintah memperluas kesempatan bidan muda di rumah sakit. Lingkup asuhan bidan di rumah sakit sangat luas, tetapi mereka kurang mendapatkan kesempatan,” ucap Ade.
Tidak hanya membantu proses persalinan, bidan memiliki tugas penting dalam hal konseling dan pendidikan kesehatan. Cakupannya pun tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga keluarga dan pihak yang berkaitan. Untuk itu, sudah seharusnya bidan mendapatkan kesetaraan dalam hal kesejahteraan.