Krisis Kesehatan Mental Melonjak di Kalangan Remaja
Sejumlah laporan menunjukkan, krisis kesehatan mental di antara anak-anak, remaja, dan dewasa muda semakin meningkat. Padahal, konsekuensi kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja berlanjut hingga dewasa.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru menunjukkan, kunjungan ruang gawat darurat untuk krisis kesehatan mental melonjak di antara anak-anak, remaja, dan dewasa muda di Amerika Serikat dari 2011 hingga 2020. Tak hanya di Amerika Serikat, tingginya masalah kesehatan mental di kalangan remaja juga terjadi secara global, termasuk di Indonesia.
Temuan ini dilaporkan peneliti dari UConn School of Medicine dan tim dalam Journal of American Medical Association (JAMA) edisi 2 Mei. Epidemiolog dan psikiater UConn School of Medicine, T Greg Rhee dan rekannya dari Mayo Clinic, Columbia University Irving Medical Center, Yale University School of Medicine dan VA Connecticut Healthcare System menganalisis data dari National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) 2011-2020. NHAMCS adalah survei tahunan rumah sakit di seluruh AS.
Data 10 tahun hasil survei yang dianalisis ini termasuk 49.519 kunjungan terkait kesehatan mental untuk remaja dari usia 6-24 tahun. Mereka melihat alasan kunjungan, lama tinggal, dan perawatan yang ditawarkan, serta jenis kelamin, etnis, dan lokasi geografis pasien.
Hasilnya menunjukkan tren yang sangat mirip di semua kelompok remaja dan wilayah negara bahwa kunjungan terkait kesehatan mental meningkat setiap tahun, naik dari 7,7 persen dari semua kunjungan darurat pediatrik pada tahun 2011 menjadi 13,1 persen dari semua kunjungan darurat pediatrik pada tahun 2020. Adapun proporsi kunjungan darurat kesehatan mental untuk penyebab terkait bunuh diri juga meningkat, dari kurang 1 persen menjadi lebih dari 4 persen kunjungan pediatrik.
”Kami tahu itu meningkat dari waktu ke waktu, tetapi ini adalah studi nasional pertama yang melihat ini sejak 2016,” kata Rhee, dalam keterangan tertulis.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak remaja memiliki kebutuhan kesehatan mental yang tidak terpenuhi di masyarakat. Namun, unit gawat darurat bukanlah tempat perawatan yang optimal untuk anak-anak dengan kebutuhan kesehatan mental.
Semakin banyak remaja memiliki kebutuhan kesehatan mental yang tidak terpenuhi di masyarakat. Namun, unit gawat darurat bukanlah tempat perawatan yang optimal untuk anak-anak dengan kebutuhan kesehatan mental.
Hasil studi menunjukkan sebagian besar tren serupa di semua wilayah negara dan semua ras dan etnis. Dan, peningkatan kunjungan kesehatan mental darurat dan penyebab bunuh diri telah menyentuh anak-anak yang semakin muda dari waktu ke waktu, serta meningkat di kalangan remaja usia 12-17 tahun dan dewasa muda berusia 18-24 tahun. Sementara itu, isu terkait bunuh diri pada anak usia sekolah dasar semakin langka saat ini.
”Kami tidak tahu mengapa generasi muda mulai lebih berisiko bunuh diri, tetapi upaya pencegahan bunuh diri berbasis bukti harus mencakup anak-anak dan remaja awal,” kata Rhee.
Studi telah menunjukkan, antara lain, bahwa program untuk membantu anak-anak prasekolah mengelola emosi mereka menyebabkan berkurangnya masalah kesehatan mental pada masa remaja.
Masalah kesehatan mental dewasa muda, remaja, dan anak meningkat setelah isolasi dan gangguan pandemi Covid-19. Namun, masalah kesehatan mental pemuda, khususnya di AS, dimulai lebih dari satu dekade sebelum pandemi.
Tren peningkatan masalah mental di kalangan remaja tidak hanya terjadi di AS. Sejumlah laporan Organisasi Kesehatan Dunia juga menunjukkan, secara global satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa, terhitung 13 persen dari beban global penyakit pada kelompok usia ini.
Depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku adalah salah satu penyebab utama penyakit dan kecacatan di kalangan remaja. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian keempat di antara usia 15-29 tahun.
Tingginya masalah kesehatan mental di kalangan remaja juga terjadi di Indonesia. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.
Survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10-17 tahun di Indonesia ini menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Selain itu, satu dari dua puluh remaja Indonesia juga memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Angka-angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental, sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
Dalam survei ini juga ditemukan, hanya 2,6 persen dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental tersebut menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir.
Padahal, konsekuensi dari kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja berlanjut hingga masa dewasa. Hal ini dapat merusak kesehatan fisik dan mental serta membatasi kesempatan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan sebagai orang dewasa.