Meski Wajib Ilmiah dan Teruji, Arkeologi Bisa Disajikan secara Menarik
Arkeologi semu dihargai sebagai suara lain sebagaimana arkeologi feminisme, arkeologi pribumi, dan arkeologi alternatif lainnya. Sebagai ilmu interpretasi, subyektivitasnya tidak terhindarkan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk pengetahuan dari pseudoarkeologi atau dikenal juga sebagai ilmu arkeologi alternatif memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Ini karena produk yang ditawarkan oleh pseudoarkeologi cenderung berlawanan dengan pengetahuan dari ilmu arkeologi, dramatis, dan sensasional.
Hal itu disampaikan oleh dosen Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, dalam webinar bertajuk ”Pseudo Arkeologi: Prinsip Arkeolog terhadap Proses Interpretasi Data dalam Menyikapi Kepercayaan Masyarakat”, Sabtu (29/4/2023). Forum diskusi yang dilaksanakan secara daring tersebut dilakukan Himpunan Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
”Konsep pseudo itu terletak pada proses mendapatkan pengetahuannya. Pseudo menjadi menarik karena memberikan nuansa yang berbeda,” ujarnya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pseudo berarti semu, palsu; bukan sebenarnya. Dengan kata lain, pseudo arkeologi dapat diartikan sebagai ilmu purbakala yang semu, palsu, atau bukan yang sebenarnya.
Daud mencontohkan, salah satu literatur pseudoarkeologi mengungkapkan bahwa Atlantis yang hilang berada di Indonesia. Literatur tersebut, kata Daud, tidak terbuka terhadap diskusi dengan ahli geologi dan arkeologi untuk membuktikan keabsahannya.
”Pernyataan-pernyataan itu karena ada agenda untuk mengangkat identitas kelompok tertentu. Mereka juga tidak mau berdiskusi secara terbuka karena mereka punya keyakinan tersendiri,” ucapnya.
Daud menjelaskan, pseudoarkeologi adalah pengetahuan arkeologi yang dibangun dengan cara-cara pseudosains. Pseudosains keyakinan akan kebenaran pengetahuan yang seolah-olah diperoleh dengan cara-cara saintifik berdasarkan fakta/data, tetapi tidak dapat diuji atau dikonfirmasikan kebenarannya.
Arkeolog harus berani memancing publik dengan tulisan yang sifatnya dramatis dan sensasional. Tapi, dengan catatan harus bisa dipertanggungjawabkan, seperti data tidak dipelintir dan menggunakan metode yang benar.
Dengan demikian, pseudoarkeologi seolah-olah menerapkan metodologi arkeologi yang sudah baku dan seakan berdasarkan data arkeologi yang valid. Padahal, yang sebenarnya, pseudoarkeologi memanipulasi data/fakta dan dibangun dengan tujuan tertentu dan keyakinan tertentu.
Terdapat beberapa ciri-ciri pseudoarkeologi, antara lain, mengaku sebagai kajian yang sangat akademis, dan menganggap temuannya mengubah secara radikal pengetahuan dan cara berpikir ”kolonial”. Selanjutnya, penyajian datanya parsial, tidak terbuka terhadap diskusi dan pembuktian akademis, dan ada agenda ideologis tersembunyi.
”Arkeologi semu dihargai sebagai suara lain atau tawaran sudut pandang lain sebagaimana arkeologi feminisme, arkeologi pribumi, dan arkeologi alternatif lainnya. Sebagai ilmu interpretasi, subyektivitasnya tidak terhindarkan. Oleh sebab itu, mereka harus menjalankan juga proses keilmuan, yakni hermeneutika,” ucap Daud.
Imajinasi
Menurut Daud, imajinasi dapat termasuk dalam pseudosains ketika dijadikan dasar penjelasan fenomena tanpa ada upaya-upaya untuk membuktikannya. Sebaliknya, imajinasi justru dapat menjadi premis awal untuk menuju langkah-langkah dalam pembuktian secara ilmiah.
Hal itu juga yang dilakukan oleh Jajang Agus Sonjaya ketika menyelesaikan fiksi ilmiahnya dalam bentuk yang berjudul Manusia Langit. Novel mengenai seluk-beluk budaya Nias itu ditulis Jajang berdasarkan hasil penelitiannya di Desa Boronadu, Nias, dengan pendekatan interpretasi dan imajinasi.
”Arkeolog harus berani memancing publik dengan tulisan yang sifatnya dramatis dan sensasional. Tapi, dengan catatan harus bisa dipertanggungjawabkan, seperti data tidak dipelintir dan menggunakan metode yang benar. Jadi, tidak semua yang ada di pseudo itu jelek, ada beberapa hal yang menginspirasi bisa diambil,” ujar Jajang yang juga anggota Ikatan Alumni Arkeologi Indonesia.
Jajang menjelaskan, tulisan fiksi ilmiahnya mengenai kebudayaan Nias tersebut justru terinspirasi dari bacaan mengenai pseudoarkeologi. Bagi Jajang, imajinasi dapat menggugah orang untuk dapat berpikir kritis dan bertindak melakukan sesuatu.
Dalam novelnya, Jajang menceritakan asal-usul orang Nias yang dalam cerita setempat diyakini berasal dari langit. Meski dianggap tidak rasional, cerita tersebut justru menjadi daya pikat tersendiri ketimbang rumusan-rumusan masalah yang dijawab secara ilmiah sekaligus menghormati kearifan lokal.
”Imajinasi adalah bagian dari mental-state purba dari individu atau kelompok yang memiliki kekhasannya masing-masing. Imajinasi memiliki konten yang dirujuk dan secara mendasar tidak dibuat-buat serta dibentuk oleh kenyataan,” lanjutnya.