Kewaspadaan Daerah terhadap Ancaman Malaria Cenderung Turun
Tersisa tujuh tahun lagi waktu bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan menuju rencana eliminasi malaria yang ditargetkan pada 2030. Upaya percepatan diperlukan mengingat sempat terkendala pademi Covid-19.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan malaria memerlukan komitmen dari setiap daerah agar target eliminasi pada 2030 tercapai. Salah satu upaya percepatan penanganan kasus malaria yang dinilai efektif di antaranya dengan melakukan profilaksis atau pencegahan infeksi dengan obat bagi ibu hamil.
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah kasus malaria terbaru selama tahun 2023 per 27 April sebanyak 55.525 kasus. Pada tahun sebelumnya, terdapat 443.530 kasus dengan yang tertinggi di Provinsi Papua, disusul Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat.
Dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Risalia Reni Arisanti menyampaikan, wilayah yang sudah rendah atau dinyatakan eliminasi kewaspadaannya cenderung menurun. Selain itu, pembiayaan dari pemerintah daerah turut berkurang.
Komitmen dalam pembiayaan program malaria belum merata di seluruh daerah, kabupaten/kota stagnan mencapai eliminasi malaria, dan terbatasnya peran lintas sektor/lintas program dalam penanggulangan malaria termasuk swasta.
”Justru di wilayah yang tereliminasi ini harus tetap mempertahankan surveilansnya supaya kejadian tidak terulang. Wilayah yang sudah bebas seharusnya tetap dijaga tetap terbebas,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (28/4/2023).
Tantangan selanjutnya adalah ketersediaan logistik, seperti obat dan alat skrining atau penapisan malaria, yang sebagian besar masih diimpor dari luar negeri. Menurut Risalia, kapasitas produksi obat dan alat penapisan buatan dalam negeri perlu ditingkatkan sehingga dapat terdistribusi kepada masyarakat lebih cepat.
Secara terpisah, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu memaparkan, upaya eliminasi malaria menjadi salah satu program yang diprioritaskan pemerintah. Selain itu, eliminasi malaria juga menjadi salah satu indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Strategis Kemenkes, dan tertulis pada Indikator Janji Presiden.
”Komitmen untuk mencapai eliminasi malaria dipastikan dapat menjadi hal yang penting dicapai bagi kepala daerah kabupaten/kota ataupun provinsi. Komitmen untuk mencapai eliminasi merupakan komitmen global dan nasional yang pada 2030 Indonesia diharapkan dapat mencapai eliminasi malaria tingkat nasional,” tutur Maxi saat dihubungi dari Jakarta.
Sampai tahun 2022, tercatat 372 dari 514 atau sekitar 72 persen kabupaten/kota dinyatakan mencapai eliminasi malaria. Sementara pada tahun ini Kabupaten Sorong termasuk dalam satu dari 28 kabupaten/kota yang akan menerima sertifikat eliminasi malaria.
Beberapa upaya untuk mencapai target eliminasi tersebut adalah sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk penyelidikan epidemiologi, baik dana dekonsentrasi, dana alokasi khusus nonfisik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, hibah global, dana desa, serta dana kapitasi. Lalu, pendampingan terhadap dinas kesehatan pada wilayah endemis tinggi dengan menempatkan tenaga pendamping juga dilakukan, khususnya di wilayah Indonesia timur.
Maxi menambahkan, pemerintah mengalami kendala dalam mengeliminasi malaria, yakni komitmen dalam pembiayaan program malaria belum merata di seluruh daerah, kabupaten/kota stagnan mencapai eliminasi malaria, dan terbatasnya peran lintas sektor/lintas program dalam penanggulangan malaria termasuk swasta.
”Penanganan malaria di wilayah timur Indonesia terkendala secara geografis. Lalu, kegiatan program eliminasi 1-2-5 dan surveilans migrasi yang belum optimal. Kemudian, penanggulangan vektor terpadu yang juga belum optimal,” kata Maxi melanjutkan.
Diketahui, program eliminasi 1-2-5 merupakan hari pertama kasus malaria diperiksa dan diinformasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Lalu, investigasi epidemiologi yang diluncurkan pada hari kedua sebagai dasar intervensi epidemiologi yang akan dilakukan pada hari kelima.
Ibu hamil
Hari Malaria Sedunia yang diperingati setiap 25 April pada tahun ini mengusung tema ”Waktunya mewujudkan bebas malaria: investasi, inovasi, implementasi”. Risalia menjelaskan, investasi berkaitan dengan peran perusahaan swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam penanganan malaria.
”Harapannya, antara investasi dan inovasi dalam pengobatan malaria dapat diimplementasikan sehingga dapat menekan angka kasus malaria,” ujarnya.
Salah satu inovasi yang tengah dilakukan adalah pencegahan sejak dari ibu hamil dengan melibatkan peneliti pediatrik dari Universitas Gadjah Mada, Jeanne Rini Poespoprodjo, bekerja sama dengan Liverpool School of Tropical Medicine. Studi kolaborasi didukung oleh Kementerian Kesehatan berbasis di Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Dalam penelitian tersebut, ibu yang berada dalam fase kehamilan trimester kedua dan ketiga menerima pengobatan pencegahan intermiten bulanan (IPTp) dengan kombinasi dihydroartemisinin-piperaquine (DP) berbasis artemisinin. Selain itu, tempat tidur ibu hamil tersebut turut dilengkapi dengan kelambu dan diberi insektisida.
”Itu dilakukan sampai ibu itu melahirkan. Setiap empat minggu, ibu meminum obat selama tiga hari sembari diawasi apakah ada efek sampingnya atau tidak. Dari hasil penelitian sebelumnya, 77 persen kasusnya turun pada ibu hamil, anemia juga berkurang, dan berat bayi lahir rendah pun berkurang,” ucap Risalia.
Risalia menambahkan, penyelenggaraan program tersebut membutuhkan biaya yang besar. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran swasta dalam bentuk CSR sehingga program tersebut dapat diterapkan.