Puisi-puisi Chairil Anwar masih terus melintasi zaman. Karya penyair legendaris itu diinterpretasikan oleh para seniman kontemporer dalam wujud seni video.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyair legendaris Chairil Anwar telah berpulang 74 tahun lalu. Namun, karya-karyanya masih terus dibicarakan dan melintasi zaman. Interpretasi lewat seni video diharapkan memudahkan generasi muda dalam ”mengunyah” puisi karya ”Si Binatang Jalang” tersebut.
Bertepatan dengan peringatan Hari Puisi Nasional, rumah produksi Miles Films meluncurkan serial antologi seni video ”Aku, Chairil!”, Jumat (28/4/2023). Serial antologi yang diproduksi Mira Lesmana dan Riri Riza itu diharapkan dapat mengingatkan orang kepada sosok Chairil Anwar dan karyanya, terutama generasi muda.
Riri mengatakan, Chairil merupakan pendobrak sastra di Tanah Air dengan membawa gaya baru dalam berpuisi. Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922, tersebut juga dikenal sebagai pelopor sastrawan Angkatan ’45.
”Anak-anak muda sangat berani mengungkapkan sesuatu melalui media-media yang baru, termasuk video. Ketika kita mempercayai itu, mudah-mudahan mereka akan mau mengunyahnya,” ujarnya dalam konferensi pers peluncuran serial antologi seni video tersebut di pameran artina #2: matrajiva, di Gedung Sarinah, Jakarta.
Antologi seni video itu terdiri dari tujuh episode dan mulai tayang di Indonesiana.TV, Jumat. Tayangan ini dikelola oleh Balai Media Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Menurut Riri, puisi-puisi Chairil merupakan inspirasi yang tidak ada habisnya. Membaca puisi Chairil menjadi kesempatan untuk mengembangkan bentuknya dalam karya yang lebih dekat dengan generasi sekarang, seperti film dan audio visual.
Pembuatan video tersebut diawali dengan mengurasi puluhan puisi Chairil. Kemudian dipilih dan direspons ulang bersama tujuh perupa seni kontemporer, tujuh aktor sebagai pembaca puisi, dan seorang musisi.
Tujuh puisi yang dipilih adalah Derai-derai Cemara, Kepada Kawan, Senja di Pelabuhan Kecil, Sajak Putih, Pemberian Tahu, Kesabaran, dan 1943. Kompilasi karya itu merupakan interpretasi seniman terhadap puisi-puisi tersebut.
Puisi-puisi Chairil merupakan inspirasi yang tidak ada habisnya. Membaca puisi Chairil menjadi kesempatan untuk mengembangkan bentuknya dalam karya yang lebih dekat dengan generasi sekarang, seperti film dan audio visual.
Ketujuh perupa yang terlibat adalah Ruth Marbun, Rachmat Hidayat Mustamin, Nani Puspasari, Angki Purbandono, Ria Papermoon, Iwan Effendi, dan Tromarama. Sementara tujuh aktor pembaca puisi adalah Lukman Sardi, Ine Febrianti, Jerome Kurnia, Reza Rahadian, Christine Hakim, Nicholas Saputra, dan Happy Salma.
Mira Lesmana mengatakan, meskipun ditulis puluhan tahun lalu, puisi-puisi Chairil masih bisa dihubungkan dengan kondisi saat ini. Dia berharap generasi muda menikmati video itu dari sudut pandang baru. Apalagi, semua video dibalut musik dari musisi muda, Baskara Putra.
”Ini jadi paket lengkap yang sangat kontemporer. Kami ingin anak-anak muda bisa menikmati kata-kata Chairil dalam puisinya,” ucapnya.
Menurut Mira, puisi Chairil penuh dengan keberanian dan pemberontakan. Sang penyair juga dianggap membawa perubahan dalam bahasa Indonesia.
Dalam bukunya Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45, HB Jassin menyebutkan, Chairil membuat 85 sajak, 72 di antaranya sajak asli (satu berbahasa Belanda), ditambah 2 saduran dan 11 terjemahan. Sajak-sajak itu dibuat dalam 6,5 tahun pada 1942-1949 (Kompas.id, 30/10/2022).
Pada April 1949, Chairil mengalami sakit keras dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggal pada 28 April 1949 setelah tujuh hari dirawat. Tanggal wafatnya dijadikan peringatan Hari Puisi Nasional.
Literasi sastra
Seni video yang menginterpretasikan puisi-puisi Chairil juga diharapkan meningkatkan literasi sastra di kalangan anak muda. Dengan begitu, mereka tertarik mempelajari karya Chairil dan penyair atau sastrawan lainnya.
”Ruang literasi sastra itu harus dibangun. Produksi konten tentu bagus karena kekinian dan dekat dengan cara berpikir anak-anak zaman sekarang yang sudah terbiasa melihat film,” ujar Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra.
Mahendra menyebutkan, kanal Indonesiana.TV yang menayangkan serial antologi seni video tersebut merupakan pustaka budaya audio visual. Konten-kontennya juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran.
”Mari kenali identitas bangsa, termasuk dalam kesusastraan. Bisa dengan cara masing-masing yang terus diperbarui sehingga menjadi kekuatan kita melalui ekosistem berkelanjutan,” tuturnya.
Lukman Sardi menuturkan, membaca puisi Chairil menjadi pengalaman menarik buatnya. Dalam menayangkan serial antologi itu, ia membacakan puisi Derai-derai Cemara.
”Mungkin selama ini banyak anak muda menganggap puisi itu berat. Sekarang, melalui pendekatan baru, mereka bisa menikmatinya,” ujarnya.
Peluncuran serial antologi seni video ”Aku, Chairil!” juga dihadiri putri Chairil, Evawani Alissa. Ia berterima kasih atas pembuatan seni video yang merespons puisi karya ayahnya tersebut.
Koordinator Program dan Penyiaran Indonesiana.TV Reza Yusuf mengatakan, kanal tersebut merupakan salah satu episode Merdeka Belajar yang diluncurkan Kemendikbudristek. ”Ini merupakan media yang sangat penting dalam mendorong pemajuan kebudayaan,” katanya.
Pihaknya bertugas mendiseminasikan konten-konten kebudayaan di Tanah Air. Konten tersebut akan menjadi pustaka kebudayaan yang dapat diakses oleh banyak orang.
Selain melalui situs web, Indonesiana.TV juga dapat diakses melalui jaringan Indihome. Kanal tersebut bekerja sama dengan puluhan jaringan televisi lokal.
”Kami akan terus dorong untuk mengembangkan dan menyosialisasikan berbagai konten kebudayaan. Harapannya, suatu saat dapat meningkatkan indeks kebudayaan di negeri ini,” ucapnya.