Masyarakat Beradaptasi melalui Pengobatan Tradisional
Pengobatan tradisional dimanfaatkan masyarakat sebagai bentuk adaptasi terhadap berbagai tantangan zaman modern. Walau demikian, publik tidak tertutup dengan pengobatan modern.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi obat tradisional kini dipahami sebagai cara masyarakat beradaptasi dengan tantangan zaman modern, seperti kerusakan lingkungan dan keterbatasan akses kesehatan. Adaptasi ini diharapkan membuat masyarakat resilien dan mampu bertahan dari berbagai tantangan di masa depan.
Hal ini sesuai dengan penelitian lintas disiplin ilmu yang dilakukan Universitas Indonesia pada 2019-2020. Penelitian membahas dinamika area rural dengan urban. Adapun penelitian dilakukan di empat lokasi, yakni Kampung Cikini (Jakarta Pusat), kawasan Gedung Pompa (Jakarta Utara), Kampung Markisa (Tangerang), dan Cimone (Tangerang).
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Manneke Budiman, Kamis (27/4/2023), mengatakan, tantangan yang dihadapi masyarakat di era modern semakin kompleks dan abstrak. Tantangan itu bisa berupa perubahan iklim, kerusakan lingkungan, tercemarnya air bersih, bencana hidrometeorologi, hingga masalah kesehatan dan ancaman pandemi.
Masyarakat di empat lokasi studi tersebut mengalami hal serupa. Kualitas air di tempat mereka buruk karena tercemar unsur besi, mangan, klorida, dan bakteri koliform. Ini memengaruhi kondisi kesehatan warga yang sebagian di antaranya mengalami infeksi usus.
Di sisi lain, tantangan itu memicu tumbuhnya resiliensi masyarakat. Mereka mengobati diri dengan sumber daya terdekat yang ada di lingkungan mereka, yakni obat tradisional dari tanaman herbal, seperti kunyit, serai, daun sirih, daun manggis, kumis kucing, sambiloto, dan jahe. Manneke menambahkan, resiliensi tidak dimaknai sebagai perlawanan, tetapi cara masyarakat beradaptasi dengan tantangan.
”Adanya masalah membuat komunitas terus berpikir, bekerja, bergiat untuk menggali potensi-potensinya sendiri, mengembangkan kreativitas sehingga dalam prosesnya, mereka jadi lebih kuat, tangguh, dan lebih baik,” ucap Manneke pada sesi kuliah umum daring berjudul Pengobatan Tradisional dan Modernitas Urban. Sesi ini diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Tantangan yang dihadapi masyarakat di era modern semakin kompleks dan abstrak.
Berdasarkan survei terhadap 236 responden di empat lokasi studi, lebih dari 50 persen responden mengonsumsi obat tradisional atau herbal secara reguler. Lebih dari 50 persen responden juga mengaku mengonsumsi ini lebih dari tiga kali dalam setahun.
Selain itu, responden menyertakan berbagai alasan dalam mengonsumsi obat tradisional. Selain untuk mengobati penyakit ringan seperti flu dan pusing, mereka mengonsumsinya karena obat tradisional terjangkau dan praktis, penasaran dengan efektivitas obat tradisional, serta terbatasnya akses ke fasilitas kesehatan. Di sisi lain, responden pun masih menaruh kepercayaan terhadap obat modern.
”Menyeimbangkan konsumsi obat modern dan tradisional merupakan cara untuk melestarikan tradisi sekaligus menerima modernitas. Jadi, keduanya tidak berbenturan,” tambah Manneke.
Potensial
Adapun pengobatan tradisional berpotensi dikembangkan karena Indonesia kaya akan tanaman obat dan warisan budaya. Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) 2017 yang dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan mencatat, Indonesia memiliki 11.218 tanaman obat. Dari angka itu, 9.516 tanaman telah teridentifikasi.
Ristoja 2017 juga mencatat 6.193 ramuan tanaman obat di Indonesia. Tanaman yang paling banyak digunakan dalam ramuan ialah kunyit (371 ramuan), jahe (261 ramuan), jambu biji (183 ramuan), sirih (177 ramuan), dan mengkudu (145 ramuan).
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional. Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut ada 48 persen penduduk Indonesia yang mengonsumsi ramuan jadi dan 31,8 persen penduduk memanfaatkan ramuan buatan sendiri.
Adapun jamu termasuk salah satu pengobatan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Sejarah pengobatan tradisional muncul di relief Candi Borobudur, Prambanan, dan Penataran. Hal itu juga tertulis di sejumlah manuskrip kuno, antara lain Serat Munasihati Jati dan Serat Centhini.
”Jamu merupakan warisan budaya yang usianya sudah sangat tua. Jamu dan pengobatan tradisional ini (ditemukan) ketika orang dulu mengalami masalah kesehatan, lalu mereka belajar dan berkreasi agar bisa mengatasi masalah,” kata Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Sri Hartati Widyastuti (Kompas, 17/7/2021).
Adapun Presiden Joko Widodo pada pembukaan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2021 mendorong agar ilmu pengetahuan dan kearifan masa lalu dipelajari kemudian dijadikan rujukan untuk mencari solusi masalah masa kini.
Presiden mengingatkan bahwa kearifan masa lalu tidak selalu hadir dalam bentuk buku atau literatur dengan standar ilmiah masa kini. Kearifan itu kerap diwariskan dalam berbagai bentuk kebudayaan, seperti narasi lisan, teater, hingga kebiasaan hidup. Meneliti kearifan masa lalu secara ilmiah pun jadi penting.