Pesona Berlian Kosmik meski Hanya 75 Detik
Penampakan lebih menakjubkan terjadi pada saat sepersekian detik sebelum Bulan menutupi Matahari. Tiba-tiba saja berkilauan cincin berlian di salah satu sudut dan kemudian Matahari dikelilingi cincin tipis.
”Dalam waktu 5 tahun terakhir, saya adalah seorang pensiunan tua bangka yang menjelma menjadi pemburu gerhana setengah profesional yang tak mau kehilangan kesempatan untuk mengamati GMT.”
(Bart J Bok, astronom asal Belanda, Kompas, 12 Juni 1983)
Saat meninggalkan Timor Leste, penulis ingin berbangga hati sebagai jurnalis yang pernah menyaksikan gerhana matahari total sebanyak lima kali sejak gerhana Jawa yang termasyhur ”kemolekannya” pada Juni 1983 dan berpikir untuk mendaku rekor Muri. Namun, saat berbincang dengan teman seperjalanan yang duduk di sebelah dari Amerika, Chris, ia bilang sudah nonton GMT sebanyak 20 kali. Wah, bikin minder ini.
Terpikir kembali, mengapa untuk peristiwa yang berlangsung hanya 1 menit 15 detik orang rela pergi ke tempat jauh. Ada yang sampai ke Alaska. Ada pula yang sampai ke Siberia? Ini pasti ada satu ”virus” atau pesona sedemikian unik yang dihadirkan gerhana matahari total (GMT).
GMT diawali dengan tertutupnya piringan Matahari oleh Bulan, yang hampir 2 jam sebelum totalitas terjadi. Seiring dengan meredupnya sinar Matahari, hadirlah suasana tak biasa, semacam rembang petang yang lain dari biasanya.
Di tepi laut, pemandangan horizon berubah menggelap. Udara terasa lebih sejuk. Sejumlah orang mengamati, satwa, seperti burung, seolah kebingungan karena merasa hari terlalu pendek.
Penampakan lebih menakjubkan terjadi ketika Bulan tinggal sepersekian detik sebelum menutupi Matahari. Tiba-tiba saja berkilauan cincin berlian di salah satu sudut dan kemudian Matahari dikelilingi cincin tipis, dengan pinggirnya berhiaskan bintik-bintik (merjan) yang kini diberi nama merjan Baily.
Pengamat pun bersorak dengan apa yang mereka saksikan di langit pada pukul 13.18 waktu Timor Leste, 20 April 2023. Hal serupa dialami para pengamat dari Com dan tim Observatorium Bosscha yang berada di Pulau Kisar, sebelah utara Timor Leste dan bisa dijangkau dari Kupang.
Momen sekitar 75 detik itu terlampau ringkas untuk keindahan yang demikian langka, tetapi terabadikan oleh fotografer dan tim pengamat yang membawa alat pemotret canggih lain. Di samping kiri tampak planet Merkurius yang dalam keadaan biasa sulit diamati karena sinar Matahari terlalu terang. Sejumlah bintang ikut menampakkan diri pada saat yang mestinya tengah hari bolong.
Peristiwa kebetulan
GMT sesungguhnya peristiwa kebetulan karena garis tengah piringan dua benda langit yang utama bagi warga Bumi ini sama, yakni 30 detik busur (setengah derajat). Padahal, sejatinya garis tengah Matahari 400 kali garis tengah Bulan, tetapi jaraknya 400 kali jarak Bumi-Bulan.
Namun, kosmos menghadirkan keindahan ini bagi manusia di Bumi untuk menikmati peristiwa kebetulan yang rata-rata terjadi 1,5 kali tiap tahunnya. Karena lintasan bayangan totalitas (umbra) sempit, ia kadang hanya melintas di tempat-tempat terbatas yang sulit dijangkau.
Seperti halnya penulis yang memutuskan memilih mengamati GMT dari satu kecamatan kecil, Beaco, di kota timur Timor Leste, Viqueque, tantangan tak mudah. Tiba di Dili tengah hari, lalu sejenak makan siang dan melanjutkan ke Viqueque. Penulis tak jadi menginap di Dili karena tidak tahu jalan ke Viqueque akan seberapa macet, apalagi ada info kondisi jalan kurang baik.
Sampai di Viqueque sekitar pukul 22.00 waktu setempat, penulis bermalam di Susteran FCJM (Franciscanae Cordis Jesu et Mariae). Jadilah kami, saya bersama sejumlah teman baik Pak Raul Lemos, seperti Marcelino Magno, segera merebahkan diri di kamar sederhana, yang malam esoknya dikabarkan akan digunakan tokoh senior Timor Leste, Xanana Gusmao, dalam rangkaian kampanye pileg dengan partainya, CNRT.
Meski pegal dan terasa ringsek, perjalanan ini masih kalah dibandingkan dengan pengamatan GMT lain yang harus menempuh jarak panjang. Ada yang harus menempuh jarak 500 km untuk sampai ke kota, lalu melanjutkan dengan kapal. Semuanya itu diawali dengan berhemat, menyisihkan penghasilan untuk membiayai ekspedisi GMT.
Mengapa ada semacam kecanduan? Hal ini terjadi karena selain suasana magis yang memancar menjelang dan saat GMT, juga ada cincin berlian dan merjan Baily, setiap GMT menampilkan penampakan (feature) berbeda-beda, di lingkungan alam yang berbeda.
Ilmiah dan antropik
Ada banyak penelitian yang dilakukan saat GMT. Penelitian itu, antara lain, tentang garis tengah, tentang lontaran gas, dan aktivitas surya lain yang disebut memengaruhi aktivitas telekomunikasi di Bumi.
Namun, penelitian paling fenomenal tetap ekspedisi astronom Inggris, Arthur Eddington, pada 29 Mei 1919. Saat itu, ia pergi ke Pulau Principe di Afrika Barat yang terpencil.
Obyek yang diamati memang GMT. Namun, dengan foto yang diperolehnya, ia membuktikan kebenaran Teori Relativitas Einstein bahwa gravitasi membelokkan cahaya. Dengan kesederhanaan alat ukur dan fotografi, ekspedisi Eddington mengukuhkan teori besar dan mengokohkan abad gravitasi.
Di Indonesia, umumnya penelitian diarahkan untuk mengetahui aktivitas Matahari, baik itu dilakukan tim dari Bosscha maupun dari BRIN (dulu Lapan).
Bagi Indonesia, lebih dari sekadar aspek saintifik, memahami GMT diharapkan ikut mempersempit kesenjangan di berbagai sektor kehidupan. ”Kegagalan memahami obyek dan fenomena alam mengakibatkan keputusan irasional yang memperdalam masalah kehidupan modern (Premana W Permadi, Kompas, 19/4/2023).”
GMT yang fenomenal dan ”sensasional” (dalam pengertian menggerakkan suasana kalbu) akan terus menjadi peristiwa alam yang diburu manusia. Namun, dalam skala kosmik, GMT akan berakhir.
Baca juga: "75 Detik yang Mengesankan"
Kita tahu bahwa laut di Bumi menyebabkan pasang. Gaya pasang ini akan melambatkan rotasi Bumi. Hal ini akan menyebabkan Bulan menjauh. Meminjam teori ilmu fisika, momentum sudut rotasi Bumi ditransfer ke orbit Bulan.
Setelah menjauh, penampang garis tengah Bulan akan mengecil, tidak 30 detik busur lagi, tetapi terus mengecil dari garis tengah Matahari.
Dari pengukuran presisi, Bulan menjauh dari Bumi dengan kecepatan 3,8 sentimeter setiap tahun (Book of Space, 2015). Jadi, jika Anda sekarang berusia 50 tahun, Bulan sudah lebih jauh sekitar 2 meter dari bumi dibandingkan dengan saat Anda lahir.
Baca juga: Ribuan Pengunjung Taman Ismail Marzuki Antusias Saksikan Gerhana Matahari Hibrida
Dengan ukuran garis tengah Bulan mengecil, GMT mustahil terjadi. Keturunan jauh manusia kelak kehilangan pemandangan alam yang paling indah. Ini akan terjadi sekitar 1,4 miliar tahun lagi. Masih ada rincian wacana lain, tetapi satu hal penting dari sisi antropik (manusia) adalah GMT tercipta saat manusia ada. Dia lenyap ketika manusia juga sudah punah.
GMT yang terjadi di Jawa (1983), GMT Sumatera (1988), GMT Sangir-Talaud (1995), GMT Sulawesi (2016), dan GMT Indonesia timur (2023) kiranya dapat menginspirasi bangsa Indonesia untuk mengagumi keindahan alam serta memetik hikmah ilmiah dan religiositas.