Menikmati Senja Tengah Hari di Biak
Saat berlangsung gerhana Matahari total, langit siang yang terang berubah menjadi gelap tetapi lebih terang di ufuknya. Meski berada di jalur totalitas, awan bisa menutupi keindahan dan ketampakan gerhana Matahari total.
Langit Biak, Papua, yang mendung tiba-tiba berubah menghitam bak langit malam. Namun, di atas ufuk, langit terlihat terang dan muncul semburat kemerahan. Meski suasana yang tercipta mirip dengan senja, tetap berbeda dengan senja biasanya. Saat itu, sedang berlangsung gerhana Matahari total yang membuat piringan Matahari tertutup penuh oleh piringan Bulan.
Ada rasa haru, kagum, takjub, takut hingga sedih yang bercampur menjadi satu menyaksikan perubahan alam yang mendadak itu. Walau mendung, langit sekitar pukul dua siang yang semula terang secara tiba-tiba berubah kecerlangannya hingga menampilkan suasana di akhir senja, saat malam mulai tiba. Peristiwa yang tidak biasa itu menjadi pengalaman pertama bagi banyak warga Biak.
”Rasanya sangat mengesankan saat melihat langit siang tiba-tiba berubah menjadi gelap,” ungkap Emma Korwa (17), siswi kelas XI SMA Negeri 3 Biak, saat menyaksikan gerhana Matahari total (GMT) di Pelabuhan BMJ, Biak, Kamis (20/4/2023). Menyambut datangnya fenomena alam langka itu, Pemerintah Kabupaten Biak Numfor menggelar Festival GMT 2023 sebagai bagian dari Teluk Cendrawasih Sail 2023.
Itu akan menjadi kesempatan sekali seumur hidupnya melihat GMT mengingat rata-rata GMT berulang di tempat yang sama, seperti disebut Time and Date, mencapai 375 tahun sekali.
Bukan hanya bagi yang pertama, bagi staf Planetarium dan Observatorium Jakarta Muhammad Rayhan yang pernah menyaksikan GMT 9 Maret 2016 di Sigi, Sulawesi Tengah, momen kegelapan dalam setiap GMT tetaplah istimewa. Meski fase totalitas GMT di Biak tertutup mendung tebal sehingga Matahari tidak bisa bebas diamati langsung dan hanya berlangsung singkat, tetapi kegelapan yang tercipta tetap mampu menggetarkan hati.
”Temaram yang terjadi tidak sama dengan temaram langit senja biasanya, terasa sangat mistis, seperti di batas antara alam mimpi dan dunia nyata. Benda-benda masih terlihat jelas, tetapi bayangannya sangat redup,” katanya.
Proses gerhana Matahari di Biak berlangsung sejak pukul 12.20.45 WIT saat sisi timur Bulan bersentuhan dengan pinggiran barat Matahari. Hingga satu jam sesudahnya, semua berlangsung baik-baik saja. Langit biru cerah walau ada sedikit awan tipis. Namun, sekitar 25 menit sebelum fase GMT berlangsung, tiba-tiba awan tebal bergerak cepat dari barat hingga akhirnya benar-benar menutup gerhana yang sebelumnya bisa diamati.
Bahkan, hujan deras sempat turun yang membuat masyarakat yang sedang mengamati gerhana berlarian dan berteduh di bawah tenda. Para pengamat gerhana pun buru-buru memindahkan perantinya atau menutupi teleskop dan peralatannya dengan plastik. Beruntung hujan deras hanya berlangsung sebentar sehingga masyarakat pun segera kembali ke tengah dermaga pelabuhan, menatap langit, dan berharap Matahari bisa kembali terlihat.
Baca Juga: Biak Siap Menyambut Gerhana Matahari Total 20 April 2023
Akhirnya, ketika jadwal GMT berlangsung atau piringan Matahari benar-benar tertutup Bulan, ternyata Matahari tetap tertutup awan. Meski demikian, perubahan langit dari terang ke gelap masih bisa dirasakan. Sebagian masyarakat pun bertepuk tangan dan berteriak menyaksikan keajaiban alam itu.
Tiba-tiba, di tengah-tengah fase totalitas gerhana yang hanya 1 menit 4 detik, lapisan awan tebal menipis hingga memunculkan lingkaran bulat putih. Walau fase GMT bisa diamati dengan mata telanjang, keberadaan awan seolah menjadi filter atau penapis tambahan sehingga korona Matahari yang seharusnya terlihat seperti juntaian cahaya mengelilingi Matahari tampak bak lingkaran putih. Beberapa pengamat pun bisa mengabadikan GMT di balik awan tersebut.
Temperatur turun
Selama perubahan mendadak dari siang menjadi seperti malam itu, peneliti dan dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung Endang Soegiartini mencatat turunnya temperatur dan peningkatan kelembaban udara dibanding saat awal terjadinya gerhana. Tak hanya itu, air laut di sekitar pelabuhan juga terlihat surut.
”Faktor yang dominan dalam menentukan besaran penurunan suhu dan kenaikan kelembaban udara itu perlu dianalisis lebih lanjut karena pada saat bersamaan juga ada tutupan awan dan beberapa saat sebelumnya ada hujan,” katanya. Demikian pula besaran surutnya air laut, seberapa besar penurunan muka air laut itu perlu dibandingkan dengan pola pasang surut harian di wilayah tersebut.
Senja siang hari di Biak itu memang berlangsung sangat singkat. Meski demikian, masih banyak gerhana yang jauh lebih singkat. GMT tersingkat menurut Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat atau NASA terjadi pada 3 Februari 919 selama 9 detik yang terjadi di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Baca juga: Memahami Pusat Tata Surya Melalui Gerhana Matahari
Sebagai perbandingan, secara teoretis GMT paling lama bisa berlangsung 7 menit 32 detik. Namun, hingga kini, GMT terlama yang pernah tercatat terjadi pada 20 Juni 1955 yang bisa diamati di kawasan Indochina dan Filipina selama 7 menit 8 detik. GMT yang lebih lama lagi, yaitu 7 menit 29 detik, diprediksi baru akan terjadi pada 16 Juli 2186 yang bisa disaksikan di utara Amerika Selatan.
Tak menyesal
Walau GMT di Biak tertutup awan hingga tidak tampak seindah gerhana yang terjadi di tempat lain yang tidak menghadapi masalah tutupan awan, seperti di Kisar, Maluku Barat Daya atau Timor Leste, siswi kelas XI SMA Negeri 3 Biak Theresya Mandosir (16) tetap kagum dengan gerhana yang terjadi di kota mereka. Bisa jadi, itu akan menjadi kesempatan sekali seumur hidupnya melihat GMT mengingat rata-rata GMT berulang di tempat yang sama, seperti disebut Time and Date, mencapai 375 tahun sekali.
Terlebih, gerhana yang berlangsung pada 20 April 2023 kemarin sejatinya adalah gerhana Matahari hibrida, yaitu perpaduan antara gerhana Matahari cincin (GMC), GMT dan berakhir kembali sebagai GMC. Satu tempat di muka Bumi hanya bisa menyaksikan satu jenis gerhana. Tipe gerhana Matahari hibrida ini adalah jenis gerhana yang paling jarang terjadi, hanya 4,78 persen dari 11.898 gerhana Matahari semua tipe yang berlangsung antara tahun 2000 sebelum Masehi hingga 3000 Masehi.
GMT 20 April 2023 memang bisa disaksikan di tiga negara, yaitu Australia, Timor Leste, dan Indonesia. Namun, di semua negara itu, jalur totalitas gerhana hanya melintasi daerah-daerah terpencil. Di Indonesia, Biak menjadi satu-satunya kota yang dilintasi jalur totalitas gerhana serta memiliki akomodasi memadai dan penerbangan rutin tiap hari yang menghubungkannya dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Karena alasan inilah banyak astronom amatir dan profesional serta turis mancanegara memilih Biak sebagai lokasi pengamatan gerhana.
Meski demikian, Biak memiliki kekurangan terbesar dibanding daerah-daerah lain yang dilintasi jalur gerhana, yaitu tingginya tutupan awan di daerah tersebut. Data Eumetsat antara 1995-2015 yang diolah Jay Anderson menunjukkan tutupan awan di Biak sepanjang April selama 20 tahun mencapai 80 persen atau yang tertinggi dibanding daerah-daerah lain yang dilintasi jalur gerhana. Dengan kondisi itu, potensi melihat GMT tanpa gangguan awan di Biak paling kecil dibanding wilayah lain.
Baca juga: Menyelami Gerhana Matahari Total
Berdasar data itu, Rayhan mengaku tidak berharap terlalu besar untuk bisa menyaksikan GMT kali ini seindah pengalaman sebelumnya. Pemilihan Biak sebagai lokasi pengamatan memang tidak murni pertimbangan astronomis, tetapi juga kemudahan transportasi hingga terbukanya kesempatan untuk kembali ke Jakarta keesokan harinya demi bisa merayakan Idul Fitri di rumah bersama keluarga pada Sabtu (22/4/2023).
”Jika pertimbangannya murni astronomis, lokasi terbaik melihat GMT kali ini ada di wilayah Selatan, seperti Pulau Kisar di Maluku Barat Daya, Timor Leste, atau bahkan Australia,” katanya.
Sementara komunikator astronomi dari langitselatan Avivah Yamani mengaku tidak menyesal tidak bisa menyaksikan GMT kali ini dengan sempurna. Padahal, kondisi serupa dia alami bersama timnya saat mengamati GMT 9 Maret 2016 di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Saat itu, Maba dipilih karena memiliki waktu totalitas gerhana terlama dibanding daerah lain serta juga ada tim peneliti NASA yang mengamati gerhana disana. Meski tutupan awan di Maba sama tingginya dengan daerah lain yang dilintasi GMT, terkadang kondisi cuaca tetap sulit ditebak.
Biak dipilih agar fungsi edukasi langitselatan bisa tetap berjalan. Kisar tidak dipilih selain karena perjalanannya sangat menantang, sudah ada Observatorium Bosscha yang menjalankan fungsi tersebut disana. Karena itu, pendidikan dan sosialisasi tentang gerhana perlu disebar ke daerah-daerah lain sehingga semua orang Indonesia memiliki akses yang sama terhadap fenomena langit.
Namun, itulah ‘seni’ dalam pengamatan astronomi, termasuk pengamatan benda-benda langit lain seperti observasi hilal. Kondisi alam sering kali sulit diprediksikan, terlebih sejak terjadinya perubahan iklim yang membuat kondisi cuaca berubah makin cepat dan melanggar keteraturan siklusnya. Meski demikian, apa pun tantangan yang dihadapi, mengamati langit tidak hanya bisa memperkaya jiwa dan pengetahuan, tetapi juga bisa membangun kesadaran sebagai makhluk Bumi dan mengasah kemampuan berpikir rasional manusia.