Memahami Pusat Tata Surya Melalui Gerhana Matahari
Sebagai pusat Tata Surya, pengetahuan manusia tentang Matahari masih terbatas. Pengamatan langsung sulit akibat tingginya suhu Matahari. Karena itu, gerhana Matahari jadi momentum ilmuwan untuk menguak misteri Matahari.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Setiap tahun, sejatinya ada 2-5 gerhana Matahari di seluruh dunia. Namun, untuk menunggu terjadinya kembali gerhana Matahari di tempat sama, butuh waktu ratusan tahun. Karena itu, sebagian orang rela mengejar gerhana hingga ke berbagai belahan dunia. Bukan saja untuk membangkitkan kekaguman pada semesta, tetapi juga mempelajari Matahari, pusat Tata Surya.
Meski Matahari adalah bintang terdekat dari Bumi, pengetahuan manusia tentangnya masih cukup terbatas. Walau aktivitas Matahari berdampak nyata bagi kehidupan dan teknologi di Bumi, perilaku Matahari masih sulit diprediksi. Kerumitan itu berpangkal dari tingginya suhu di Matahari sehingga ilmuwan membutuhkan teknik khusus untuk bisa mempelajari Matahari.
Salah satu metode yang dipilih astronom untuk mempelajari sang bintang kuning itu adalah dengan mengamatinya saat sedang terjadi gerhana Matahari total (GMT), seperti yang akan terjadi Kamis, 20 April 2023 mendatang. Jalur totalitas GMT kali ini akan melintasi wilayah timur Indonesia, sehingga ilmuwan dan peminat astronomi akan terkumpul di Pulau Kisar, Maluku dan Biak, Papua.
Saat GMT, seperti disampaikan peneliti Matahari dan dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung Dhani Herdiwijaya dalam Kolokium Astronomi Ekspedisi Gerhana Matahari 20 April 2023, Jumat (14/4/2023), korona Matahari atau lapisan atmosfer Matahari paling atas bisa diamati. “Korona itu aneh. Meski berada di lapisan paling atas, temperaturnya justru paling tinggi,” katanya.
Korona hanya bisa disaksikan dari Bumi saat terjadi GMT. Dalam kondisi tidak terjadi gerhana, intensitas cahayanya yang redup membuat ketampakan korona akan kalah dengan hamburan cahaya dari permukaan Matahari atau fotosfer yang sangat kuat. Namun saat gerhana, ketika permukaan Matahari dihalangi oleh piringan Bulan, korona akan terlihat seperti mahkota cahaya yang indah menjuntai.
Redupnya korona terjadi karena lapisan atas atmosfer Matahari itu memiliki kerapatan yang sangat rendah, sekitar satu per 10 juta dibandingkan kerapatan permukaan Matahari. Meski demikian, suhu korona bisa mencapai 2 juta derajat celsius. Padahal, suhu di fotosfer yang berjarak 2.000 kilometer di bawahnya, hanya 5.500 derajat celsius.
Inilah yang menjadi keanehan korona. Berkaca pada api unggun, semakin jauh dari sumber api maka suhunya akan terasa lebih dingin. Namun, itu tidak berlaku bagi korona Matahari.
Upaya memahami korona itu sudah berlangsung panjang. Foto korona dari gerhana pertama kali diperoleh Johann Julius Friedrich Berkowski dari Observatorium Royal Prussian dari GMT 28 Juli 1851. Seiring perkembangan teknologi plat fotografi, citra korona dari gerhana yang diperoleh pun makin bagus hingga membantu menganalisis lebih dalam korona Matahari.
Mempelajari antariksa dilakukan bukan semata untuk memenuhi kebutuhan riset, tetapi banyak hasil riset keantariksaan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Pada GMT 7 Agutus 1869, Charles Augustus Young dan William Harkness yang mengambil spektrum korona menemukan garis emisi hijau. Garis ini tidak sesuai dengan tabel periodik kimia ehingga mereka mengusulkan unsur baru yang dinamai coronium. Namun pada 1930-an atau 60 tahun sesudahnya, Walter Grotrian dan Bengt Edlén menemukan garis emisi hijau itu berasal dari ion besi yang tereksitasi sangat tinggi akibat besarnya temperatur korona. Unsur coronium pun akhirnya dihapus dari tabel periodik kimia.
Meski banyak upaya untuk memahami suhu korona yang sangat tinggi, Dhani mengatakan masalah temperatur korona itu masih menjadi persoalan fundamental dalam astrofisika hingga kini.
Studi terbaru seperti diungkapkan Jim Klimchuk dari Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard di situs Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), 28 April 2015, menyebut lonjakan suhu korona yang letaknya jauh dari permukaan Matahari itu dipicu oleh nanoflare atau ledakan kecil yang memiliki energi satu per satu miliar dari energi flare (suar) Matahari biasa.
Walau energinya kecil, menurut standar Matahari, namun nanoflare itu memiliki energi setara 10 megaton bom hidrogen. Karena itu, ledakan jutaan nanoflare yang bisa terjadi setiap saat itu akan secara bersama-sama memanaskan korona hingga korona memiliki temperatur sangat tinggi.
Keunikan korona itu membuat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) masih akan menjadikannya sebagai salah satu riset dalam GMT 20 April 2023. Menurut Kepala Pusat Riset Antariksa BRIN Emanuel Sungging Mumpuni di Gelar Wicara Pengamatan Gerhana Matahari Hibrida, Kamis (6/4/2023), tim BRIN akan melakukan pengamatan dan pemodelan numerik hingga diperoleh struktur korona.
Tak hanya itu, tim BRIN juga akan mengukur perubahan kecerlangan langit saat fase totalitas gerhana berlangsung. Perubahan mendadak dan singkat kecerlangan langit itu bisa menjadi studi multidisiplin karena luasnya obyek riset dan dampak yang ditimbulkan, baik terkait perubahan perilaku makhluk hidup maupun dinamika alam, mulai dari penurunan suhu hingga perubahan tekanan udara dan arah angin.
Perubahan itu tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga laut. Karena itu, tim Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) yang sedang menggelar Ekspedisi Jala Citra 3-2023 “Flores” akan ikut bergabung dalam riset untuk mengamati perubahan perilaku binatang laut saat gerhana berlangsung. Mereka akan mengamati gerhana di jalur totalitas yang ada di Laut Banda, di sebelah timurlaut Pulau Kisar.
Selain itu, tim Pushidrosal dan BRIN pada lokasi yang berbeda juga akan melakukan studi ionosfer atau lapisan atas atmosfer Bumi yang terdampak langsung dari radiasi Matahari saat berlangsung GMT. Dinamika ionosfer ini sangat memengaruhi teknologi manusia, mulai dari keakuratan sistem satelit navigasi global (GNSS) maupun komunikasi dalam panjang gelombang tertentu.
Riset lain yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan GMT adalah pembuktian atas teori relativitas umum Albert Einstein yang disampaikan pada 1915. Dalam relativitas umum, kuatnya gravitasi sebuah benda mempu membelokkan ruang dan waktu di sekitarnya sehingga cahaya yang lewat di dekatnya pun akan berbelok mengikuti kelengkungan ruang dan waktu.
Saat fase totalitas GMT, ketika langit terang tiba-tiba berubah jadi gelap, maka bintang-bintang dan benda langit yang biasanya terlihat saat malam pun menjadi tampak. Jika teori relativitas umum itu benar, maka bintang yang terlihat di dekat piringan Matahari sejatinya memiliki posisi asli yang agak sedikit jauh dari piringan Matahari. Gravitasi Matahari membuat cahaya bintang didekatnya akan melengkung atau sedikit bergeser.
Pembelokan cahaya bintang oleh Matahari itu berhasil dibuktikan Arthur Eddington dari Masyarakat Astronomi Kerajaan Inggris (RAS) dan tim dalam pengamatan GMT 29 Mei 1919 di Pulau Principe, sebelah barat benua Afrika dan di barat Afrika dan di Sobral, Brazil. Saat GMT itu berlangsung, posisi Matahari sedang berada di depan gugus bintang Hyades sehingga cahaya bintang-bintang inilah yang digunakan untuk pengukuran pembelokan cahaya bintang oleh Matahari.
Hasilnya, Matahari memang membelokkan cahaya bintang. Meski hasil pengukuran nilai pergeseran bintang tidak sama, namun cahaya bintang yang ada di dekat Matahari memang bergeser dalam orde detik busur. Teori relativitas umum Einstein pun dinyatakan terbukti dan melambungkan nama Einstein sebagai ilmuwan paling cemerlang masa itu yang pemikirannya tetap dikagumi hingga sekarang.
“Pengamatan GMT oleh Eddington tidak hanya membuktikan teori relativitas umum Einstein benar, tetapi pengamatan itu menjadi sejarah penting bagi perkembangan teori relativitas umum hingga manusia bisa memahami alam semesta lebih baik,” tambah komunikator astronomi langitselatan Avivah Yamani.
Masih banyak bidang riset lain yang bisa dilakukan selama GMT karena nyatanya, pengetahuan manusia tentang Matahari masih cukup terbatas. Pengulangan studi lama untuk membuktikan teori yang sudah juga tetap relevan dilakukan untuk menambah basis data atau memperkaya pengetahuan.
“Mempelajari antariksa dilakukan bukan semata untuk memenuhi kebutuhan riset, tetapi banyak hasil riset keantariksaan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Sungging.