Bumi menyerap lebih banyak energi dari matahari daripada yang dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Hal ini menyebabkan panas terakumulasi terus-menerus selama beberapa dekade terakhir.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim telah menyebabkan sistem iklim bumi kehilangan keseimbangan energi. Bumi menyerap lebih banyak energi dari matahari daripada yang dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Hal ini menyebabkan panas terakumulasi terus-menerus selama beberapa dekade terakhir sehingga menghangatkan lautan, daratan, kriosfer, dan atmosfer.
Goyahnya keseimbangan energi di Bumi ini dilaporkan dalam studi terbaru yang dilaporkan di Earth System Science Data, jurnal akses terbuka bagian dari Copernicus Publications pada Senin (17/4/2023). Studi dipimpin oleh Karina von Schuckmann dari Mercator Ocean International, Perancis, dan melibatkan 70 dari lusinan institut di 15 negara.
Studi ini berupaya mengukur ketidakseimbangan energi bumi (earth energy imbalance/ EEI), yaitu perbedaan antara jumlah energi dari matahari yang tiba di bumi dan jumlah yang kembali ke luar angkasa. Pengukuran ini berfungsi sebagai metrik mendasar untuk membangun Sistem Pengamatan Iklim Global (GCOS).
Dalam studi ini, para peneliti menemukan bahwa ketidakseimbangan energi Bumi telah meningkat hampir 50 persen selama 14 tahun terakhir, dibandingkan dengan jumlah yang terkumpul selama setengah dekade terakhir. ”Bumi telah mengumpulkan hampir 0,5 watt (0,48 + 0,1) di setiap meter persegi permukaan bumi selama 50 tahun terakhir (sejak 1971),” tulis Schuckmann dan tim.
Dampak langsung dari pemanasan yang didorong oleh karbon dioksida (CO2) antropogenik yang memerangkap panas di atmosfer ini termasuk kenaikan permukaan laut, hilangnya es, dan pemanasan laut, daratan, serta atmosfer.
Pemanasan semakin intens dengan tren baru-baru ini, yaitu dari 2006 hingga 2020 terjadi peningkatan pemanasan menjadi lebih dari 0,75 watt (0,76 + 0,2) per meter persegi. Sebagian besar panas masuk ke lautan (89 persen) dan sisanya masuk ke daratan (6 persen), es (4 persen), dan atmosfer (1 persen).
”Persediaan panas bumi dalam penelitian ini didukung oleh kolaborasi multidisiplin di seluruh dunia dan menunjukkan pentingnya upaya internasional bersama untuk pemantauan perubahan iklim dan rekomendasi berbasis masyarakat,” demikian Schuckmann dan tim.
Para peneliti juga juga menyerukan tindakan yang sangat dibutuhkan untuk memungkinkan kesinambungan, pengarsipan, penyelamatan, dan kalibrasi upaya untuk memastikan peningkatan dan kapasitas pemantauan jangka panjang dari sistem pengamatan iklim global.
Penelitian ini dikeluarkan menjelang laporan Keadaan Iklim Global 2022 Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang akan dirilis 21 April 2023. Laporan WMO ini akan menyoroti indikator iklim utama, termasuk suhu, panas dan pengasaman laut, kenaikan permukaan laut, dan es laut.
Menurut WMO, dampak langsung dari pemanasan yang didorong oleh karbon dioksida (CO2) antropogenik yang memerangkap panas di atmosfer ini, termasuk kenaikan permukaan laut, hilangnya es, dan pemanasan laut, daratan, serta atmosfer. Misalnya, masuknya energi dalam jumlah besar ke lautan akan berkontribusi pada mengembangnya volume air dan berkontribusi pada kenaikan muka laut. Dari aspek biologi, pemanasan air laut juga menyebabkan pemutihan karang dan menghancurkan kehidupan di laut.
Untuk mencegah dampak merusak perubahan iklim, para peneliti merekomendasikan perlu adanya upaya menyeimbangkan kembali keseimbangan energi di bumi. Studi ini memperhitungkan bahwa jumlah CO2 di atmosfer harus dikurangi dari konsentrasi saat ini yang hampir 410 ppm menjadi sekitar 350 ppm untuk membawa bumi kembali ke keseimbangan energi.