Mudik, Cara Memenuhi Kebutuhan Spiritual dan Emosional
Mudik Lebaran menjadi momentum untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat di kampung halaman. Mudik pun dapat menjadi cara untuk memuaskan kebutuhan spiritiual dan psikologis seseorang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Mudik atau pulang ke kampung halaman telah menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat. Tradisi tersebut tidak hanya dijalankan oleh masyarakat di Indonesia, tetapi juga dunia.
Jika di Indonesia mudik biasa dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri, tradisi mudik di Korea Selatan biasanya terjadi saat perayaan Chuseok atau perayaan panen. Lain halnya di Amerika Serikat, mudik biasanya dilakukan saat perayaan Thanksgiving. Selain itu, tradisi mudik juga dilakukan oleh sebagian besar warga China saat Tahun Baru Imlek.
Di Indonesia, mudik umumnya dilakukan oleh masyarakat pendatang yang tinggal di kota besar untuk pulang ke kampung halaman. Mudik dilakukan sebagai momen untuk bersilaturahmi sekaligus merayakan Lebaran bersama keluarga. Alasan lainnya bisa karena rindu kampung halaman ataupun sekalian berlibur.
Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Ngatawi Al Zastrouw menuturkan, masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota akan sulit melepas budaya desa yang guyub. Rasa rindu akan kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan membuat masyarakat ingin pulang. Di sisi lain, mereka juga rindu dengan sanak keluarga di kampung halaman.
”Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Idul Fitri. Urbanisasi besar-besaran inilah yang menjadi pemicu lahirnya budaya mudik pada saat hari raya Idul Fitri dengan adanya dimensi afeksi atau rasa,” katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (17/4/2023).
Menurut dia, mudik tidak hanya terkait dengan masalah komunikasi yang bisa digantikan dengan teknologi. Dalam mudik, terdapat dimensi afeksi yang amat kuat yang didapatkan oleh seseorang. Dimensi itulah yang tidak bisa didapatkan dengan perantara teknologi.
Tradisi mudik menjadi momentum katarsis (kelegaan) atas berbagai problem psikologis yang dirasakan oleh masyarakat modern urban.
Dimensi afeksi itu pula yang hilang ketika larangan mudik disampaikan pemerintah saat kasus penularan Covid-19 tengah melonjak. Saat itu, komunikasi hanya bisa disampaikan melalui teknologi di ponsel pintar.
”Teknologi hanya dapat memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun,” kata Zastrouw.
Spiritual
Zastrouw berpendapat, tradisi mudik pun bisa bertahan karena kepuasan terhadap kebutuhan spiritual dan emosional bisa didapatkan. Kesibukan yang dilewati atas pekerjaan serta beban harian, seperti kemacetan, polusi, dan kesenjangan sosial, yang dirasakan membuat mudik menjadi pilihan sebagai terapi psikologis.
Mudik dapat menjadi wadah untuk menyalurkan emosi sekaligus melegakan diri atas kejenuhan yang dirasakan. ”Tradisi mudik menjadi momentum katarsis (kelegaan) atas berbagai problem psikologis yang dirasakan oleh masyarakat modern urban,” katanya.
Ia menambahkan, mudik pun bisa dimanfaatkan sebagai sarana berlibur. Itu sebabnya mudik Lebaran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang merayakan Idul Fitri. ”Dengan kata lain, tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Ini yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi,” tutur Zastrouw.
Memperkuat hal tersebut, dalam jurnal ”Mudik dan Keretakan Budaya” yang ditulis oleh Agus Maladi Irianto dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro disebutkan, setidaknya ada tiga dimensi yang ditemukan dalam tradisi mudik, yakni dimensi spiritual, psikologis, dan sosial.
Pada dimensi spiritual, mudik dianggap sebagai tradisi warisan. Mengutip catatan Umar Kayam (2002), tradisi mudik terkait dengan kebiasaan petani Jawa yang mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam leluhur. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi ziarah kemudian berbaur dengan kebiasaan masyarakat yang akhirnya melahirkan tradisi mudik.
Sementara terkait dimensi psikologis, konsep yang dijelaskan oleh Agus Maladi sama dengan yang disampaikan oleh Zastrouw. Mudik tidak hanya sekadar merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga menghilangkan kepenatan beban kerja.
Suasana kampung yang tenang serta keluarga dan kerabat yang ramah menjadi alasan untuk tidak bisa menolak mudik. Nostalgia dengan kampung halaman bagi sebagian orang juga bisa menjadi obat untuk menghilangkan stres.
Agus menyebutkan, mudik juga memuat dimensi sosial. Keberhasilan yang telah dicapai saat bekerja di kota menjadi kisah yang membanggakan tersendiri bagi seseorang. Mudik pun menjadi salah satu media untuk mengomunikasikan kisah keberhasilan tersebut.
Pada momen tersebut sekaligus menjadi kesempatan untuk menaikkan strata sosial seseorang di lingkungannya. ”Tak pelak, pada kondisi ini, mudik menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis,” tulis Agus dalam jurnal yang ditulisnya.
Namun, sayangnya, dimensi spiritual kini semakin memudar dari tradisi mudik. Disebutkan Agus, niat mudik lebih banyak untuk sekadar kesenangan, menghamburkan uang, serta menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis. Hal itu justru menjadikan mudik sebagai persoalan, terutama terkait dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan, percaloan, dan kenyamanan transportasi.
Mudik dalam arti spiritual jarang dilakukan karena ia tidak banyak memberi kepuasan bagi para pemudik. Tradisi mudik yang selama ini terjadi pun jauh dari spirit tradisi Lebaran, yaitu untuk menanamkan semangat spiritual-vertikal. Merayakan Lebaran seharusnya diartikan sebagai momentum untuk kembali ke fitrah atau kesucian jati diri kemanusiaan sebagai hamba Tuhan.
Menurut Said Aqil Siroj yang dikutip dari buku Kembali ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban, spiritual vertikal manusia bisa didapatkan dengan ibadah dan akan sempurna apabila berlanjut pada spiritual sosial horizontal. Silaturahmi pun menjadi wujud konkret untuk mewujudkannya. Mudik seharusnya dimaknai sebagai upaya merawat hubungan spiritual dengan leluhur serta menyambung silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.