Kolaborasi antara pemerintah, komunitas masyarakat sipil, dan para periset dibutuhkan untuk memperkuat layanan pengurangan dampak buruk narkoba. Hal ini perlu disertai dukungan pendanaan.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
MELBOURNE, KOMPAS — Kolaborasi untuk mengurangi dampak buruk penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau napza diperkuat. Selain lembaga internasional dan masyarakat sipil, para peneliti lintas negara turut berkontribusi dalam riset terkait efektivitas program pengurangan dampak buruk narkoba.
Hal itu terungkap dalam rangkaian sesi diskusi pada Harm Reduction International Conference, Selasa (18/4/20233), di Melbourne, Australia. Berbagai lembaga internasional, peneliti, dan masyarakat sipil dari banyak negara saling berbagi pengalaman menangani pengurangan dampak buruk karena akses terhadap layanan narkoba amat minim.
Direktur Eksekutif Womxn’s Voice Rosma Karlina di sela-sela konferensi mengutarakan, pihaknya bermitra dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam memberi bantuan hukum dan kesehatan bagi perempuan pengguna narkoba di Indonesia. Kaum perempuan pengguna narkoba paling rentan mengalami kriminalisasi dan kekerasan fisik dan seksual.
Menurut Rosma, para perempuan pecandu napza menjadi populasi tersembunyi lantaran kuatnya stigma dan diskriminasi. Dampak kebijakan narkoba tidak hanya terkait terapi pengganti narkotika, tetapi juga menyangkut aspek sosial dan ekonomi. ”Perempuan pengguna napza rentan mengalami kekerasan fisik dan pelecehan saat menjalani proses hukum,” ungkapnya.
Orang yang menyuntikkan narkoba di dalam ruang injeksi yang diawasi secara medis atau DCR jauh lebih kecil kemungkinannya mengalami overdosis, berbagi jarum suntik, mengalami abses, menyuntik di depan umum, atau melakukan kejahatan dibandingkan dengan mereka yang tak memanfaatkan layanan ini.
Perempuan pengguna napza rentan mengalami kekerasan fisik dan pelecehan saat menjalani proses hukum.
Studi baru ini dilaporkan tim peneliti di Perancis, Selasa (18/4/2023), dalam konferensi pers pada Harm Reduction International Conference. Studi kontrol DCR pertama di kota Paris dan Strasbourg, ini membandingkan perilaku kelompok pengguna narkoba suntik, yang memakai dan tak menggunakan layanan DCR.
Hasil studi kontrol lain di DCR di New York City, Amerika Serikat, diharapkan memasuki paruh pertama tahun 2023. Ruang penyuntikan yang disupervisi secara medis atau DCR resmi beroperasi di 16 negara di dunia, termasuk Swiss, Belanda, Jerman, Denmark, Kanada, dan Australia.
Dalam studi terpisah, para peneliti di Amerika Serikat mempresentasikan data toksikologi menunjukkan pengguna narkoba suntik makin banyak memakai fentanil sehingga mendapat toleransi obat tersebut. Hal ini menjadi langkah penting memahami sifat pola konsumsi obat di balik krisis overdosis di Amerika Utara dan rekor jumlah overdosis meningkat dua kali lipat sejak 2015.
”Tidak seorang pun boleh mati karena overdosis,” kata Naomi Burke-Shyne, Direktur Eksekutif Harm Reduction International (HRI). Ironi dari kegagalan perang melawan narkoba mendorong produksi ilegal zat-zat yang makin banyak dan menyebabkan pasokan obat lebih beracun.
Untuk menyelamatkan nyawa, kita harus menawarkan pencegahan overdosis dan ruang yang diawasi secara medis bagi pengguna narkoba suntik; bersama dengan pengujian pil untuk memahami potensi, pemalsuan, atau toksisitas. Ruang injeksi itu yang diawasi secara medis, obat mencegah overdosis, dan pemeriksaan obat.
Dua DCR dibuka di Paris dan Strasbourg pada tahun 2016. Studi kohort prospektif selama 12 bulan terhadap 665 pengguna narkoba suntik di Perancis mempelajari efektivitas DCR pada kesehatan pengguna dan ketertiban umum dari wawancara tatap muka saat pendaftaran, dan pada tindak lanjut 6 dan 12 bulan.
Pengguna narkoba suntik direkrut di dua kota dengan DCR (Paris dan Strasbourg) dan dua lainnya tanpa DCR (Bordeaux dan Marseille). Studi ini merupakan pertama kalinya di Eropa dan di seluruh dunia bahwa efektivitas DCR dievaluasi dengan menggunakan kelompok kontrol.
Marie Jauffret-Roustide dari INSERM, lembaga nasional riset kesehatan dan medis Perancis, melaporkan bahwa peserta yang terpajan DCR lebih kecil kemungkinannya melaporkan overdosis. Peserta yang terpapar DCR juga melaporkan secara signifikan kurang menyuntik di ruang publik dan kemungkinan kecil melakukan kejahatan pada bulan lalu.
Pendanaan
Untuk mendorong upaya pengurangan dampak buruk narkoba, Unitaid, lembaga kesehatan global, berkomitmen menggelontorkan dana 31 juta dollar AS. Hal ini sekaligus untuk mencegah penularan hepatitis C dan penyakit lain yang ditularkan melalui darah di antara pengguna narkoba suntik dan populasi lain berisiko tinggi.
Terobosan dalam beberapa tahun ini membuat terapi hepatitis C memiliki tingkat efektivitas tinggi dan terjangkau di sebagian besar negara berpendapatan menengah. Namun, perhatian dan akses terhadap layanan untuk eliminasi penyakit itu di antara komunitas dengan tingkat penularan tertinggi, termasuk yang berisiko tinggi, masih terbatas.
Meski angka pengguna narkoba suntik 10 persen dari 58 juta kasus hepatitis C, itu berkontribusi 43 persen dari jumlah total kasus baru. ”Jadi, pendanaan Unitaid mendukung integrasi pemeriksaan dan perawatan hepatitis C lewat pengurangan dampak buruk,” kata Manajer Teknik Senior di Unitaid Karin Timmermans.