Peradaban di Nusantara tidak bisa lepas dari dampak aktivitas gunung api. Letusan sejumlah gunung api di Indonesia ikut mengubah peradaban dunia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gunung api mempunyai berbagai sumber daya, seperti tanah subur dan air melimpah, yang menumbuhkan peradaban manusia di sekitarnya. Namun, letusan gunung api juga bisa melenyapkan peradaban itu dan membangun peradaban baru yang berdampak positif bagi kehidupan.
Peradaban di Nusantara pun tidak bisa lepas dari dampak aktivitas gunung api. Apalagi, Indonesia mempunyai 127 gunung api aktif sehingga menjadi yang terbanyak di dunia.
Sejumlah peristiwa letusan gunung api di masa lalu telah mengubah peradaban manusia. Dampaknya tidak hanya dirasakan di Tanah Air, tetapi di berbagai penjuru dunia.
Letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 1815, misalnya, menjadi yang terbesar dalam sejarah modern manusia. Letusan dengan volcanic explosivity index 7 tersebut (dalam skala 8) menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan lingkungan.
”Letusan Tambora telah memusnahkan peradaban di sekitar gunung tersebut. Menurut para ahli sejarah dan arkeolog, terdapat tiga kerajaan lokal yang hilang, yaitu Sanggar, Tambora, dan Pekat. Namun, juga memberikan dampak positif bagi peradaban manusia,” ujar ahli gunung api, Surono, dalam gelar wicara daring ”Gunung Api dan Peradaban” yang digelar Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS), Selasa (18/4/2023).
Letusan Tambora juga memengaruhi kondisi lingkungan, sosial, dan politik di berbagai belahan dunia. Di Eropa, misalnya, tentara Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis, kalah dalam perang akibat cuaca buruk. Mesin-mesin perang mereka tak bekerja optimal terkendala hujan, badai, dan medan berlumpur.
Menurunnya temperatur menyebabkan gagal panen. Eropa pun dilanda kelaparan. ”Dari sesuatu yang tidak nyaman akibat letusan Tambora ditemukan hal-hal positif seperti sepeda,” katanya.
Letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 1815 menjadi yang terbesar dalam sejarah modern manusia. Letusan dengan volcanic explosivity index 7 tersebut (dalam skala 8) menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan lingkungan.
Semburan material vulkanik akibat letusan Gunung Samalas atau Rinjani Purba pada 1257 juga menyebar ke Eropa. Kondisi ini menghambat intensitas sinar matahari sehingga memicu penurunan suhu global.
Di Perancis dan Inggris pada 1258 terjadi fenomena awan yang tak kunjung menghilang, mengindikasikan adanya kabut kering meliputi kawasan tersebut. Rusia mengalami suhu dingin yang membeku pada musim panas.
Suhu dingin dan cuaca buruk dilaporkan terjadi di Eropa dan Timur Tengah pada 1258-1259. Sementara kawasan Afrika Utara mengalami masalah pertanian.
Surono menuturkan, letusan Gunung Samalas menimbulkan efek kupu-kupu. Teori ini memercayai fenomena kecil di suatu tempat dapat berdampak sangat luas secara global.
”Efek kupu-kupu tersebut menyangkut kondisi sosial, politik, kesehatan, iklim, dan bentang alam,” ujarnya.
Adapun erupsi Gunung Galunggung di Jawa Barat pada 1982 turut berdampak terhadap upaya keselamatan penerbangan dunia. Pada 24 Juni 1982, pesawat Boeing 747 milik British Airways yang membawa 248 penumpang dan 15 awak pesawat mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Paparan abu vulkanik Galunggung membuat mesin pesawat itu mati.
Pasca-kejadian itu, Volcanic Ash Advisory Center (VAAC) didirikan pada 1990. Tugas utama VAAC adalah mengawasi lalu lintas penerbangan komersial dari bahaya ancaman abu vulkanik letusan gunung api di seluruh dunia.
Surono menambahkan, fenomena alam termasuk erupsi gunung api telah mengubah peradaban manusia ke arah lebih baik. Keberadaan gunung api aktif di Indonesia menjadi berkah karena menghadirkan kesuburan tanah, keindahan alam, dan sumber daya air melimpah.
”Gunung api tidak pernah ingkar janji, selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali,” katanya.
Geolog Universitas Islam Indonesia, Agus Tri Hascaryo, menyebutkan, Indonesia memiliki peradaban unik yang selalu berhubungan dengan kegunungapian. Aktivitas gunung api menyebabkan dinamika peradaban manusia di Nusantara.
”Paling tidak kita melihat ada agen peradaban di Nusantara berupa gunung api yang membuat kita harus melakukan penyesuaian-penyesuaian diri,” jelasnya.
Arkeolog senior yang juga Ketua CPAS Prof Harry Truman Simanjuntak mengatakan, Indonesia merupakan bagian dari ring of fire atau cincin api di lintasan pasifik. Jadi, tidak mengherankan juga peradaban manusianya selalu berhadapan dengan aktivitas gunung api.
”Kita sering membicarakan gunung api dari aspek negatifnya, yaitu bencana. Kita sering lupa kalau gunung api juga memberikan anugerah bagi kehidupan, salah satunya tanah yang subur,” ujarnya.