Dunia Tidak Siap dengan Letusan Dahsyat Gunung Api Super
Letusan dahsyat gunung api yang berdampak global bisa kembali berulang di masa depan. Dunia diminta bersiap menghadapi risiko letusan gunung api yang bisa mengubah iklim global secara tiba-tiba.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia dinilai tidak siap menghadapi letusan dahsyat gunung api yang bisa berdampak global karena bisa memengaruhi rantai pasokan global, iklim, dan makanan, sebagaimana pernah terjadi saat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus pada 1815. Data terbaru menunjukkan, risiko letusan dahsyat gunung api bisa kembali terjadi ke depan.
Paper yang diterbitkan di jurnal Nature pada Rabu (17/8/2022) oleh para peneliti dari University of Cambridge’s Center for the Study of Existential Risk (CSER) dan University of Birmingham menyebutkan, ada ”kesalahpahaman luas” bahwa risiko letusan gunung api raksasa sangat rendah. Hal ini menyebabkan kurangnya investasi pemerintah saat ini dalam memantau dan menanggapi potensi risiko gunung berapi.
Para peneliti berpendapat bahwa langkah-langkah dapat diambil untuk melindungi umat manusia dari kehancuran gunung berapi, mulai dari peningkatan pengawasan hingga peningkatan pendidikan publik dan manipulasi magma. Meski demikian, sumber daya yang diperlukan untuk melakukannya sudah lama tertunda.
”Data yang dikumpulkan dari inti es pada frekuensi letusan dalam waktu yang lama menunjukkan ada satu dari enam kemungkinan ledakan berkekuatan skala tujuh dalam 100 tahun ke depan,” kata pakar risiko bencana dari CSER, Lara Mani, yang terlibat dalam kajian ini.
Menurut Mani, letusan gunung api raksasa telah menyebabkan perubahan iklim yang tiba-tiba dan runtuhnya peradaban di masa lalu. Dia membandingkan risiko letusan gunung api raksasa dengan asteroid selebar 1 kilometer yang menabrak Bumi. Peristiwa semacam itu akan memiliki konsekuensi iklim serupa, tetapi kemungkinan terjadinya bencana vulkanik ratusan kali lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan gabungan tabrakan asteroid atau komet.
”Ratusan juta dollar dana diberikan untuk mengurangi ancaman asteroid setiap tahun, tetapi ada kekurangan pendanaan global dan koordinasi untuk kesiapsiagaan terhadap bencana gunung berapi. Ini sangat perlu diubah. Kita benar-benar meremehkan risiko yang ditimbulkan oleh gunung berapi bagi masyarakat,” kata Mani.
Data yang dikumpulkan dari inti es pada frekuensi letusan dalam waktu yang lama menunjukkan ada satu dari enam kemungkinan ledakan berkekuatan skala tujuh dalam 100 tahun ke depan.
Letusan gunung api di Tonga pada Januari 2022 sejauh ini merupakan yang terbesar pernah tercatat secara instrumental. Para peneliti berpendapat, jika itu berlangsung lebih lama, melepaskan lebih banyak abu dan gas, atau terjadi di daerah yang penuh dengan infrastruktur penting, seperti di Mediterania, maka gelombang kejut global bisa menghancurkan. ”Letusan Tonga perlu diperlakukan sebagai alarm,” kata Mani.
Cincin Api Pasifik
Perulangan letusan besar
Dalam kajian terbaru ini, para ahli CSER menemukan adanya keberulangan letusan gunung api raksasa dengan menganalisis jejak lonjakan belerang dalam sampel es purba. Letusan yang 10 hingga 100 kali lebih besar daripada ledakan Tonga terjadi setiap 625 tahun sekali, dua kali lebih sering dari yang diperkirakan sebelumnya.
”Letusan terakhir berkekuatan tujuh skala Richter terjadi pada tahun 1815 di Indonesia (Gunung Tambora),” kata anggota peneliti, Mike Cassidy, seorang ahli gunung berapi dan peneliti CSER yang berbasis di University of Birmingham.
Ekspedisi Cincin Api Kompas pada 2011 telah mencatat, erupsi Tambora ini mengubur tiga kerajaan di Semenanjung Sanggar. Jumlah korban tewas akibat letusannya mencapai 71.000 jiwa. Sebagian ahli lainnya menyebut 91.000 jiwa.
Sekitar 10.000 orang langsung tewas, sedangkan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit. Jumlah ini belum termasuk kematian di negara lain, termasuk Eropa dan Amerika, yang didera kelaparan. Asam sulfat yang dilepas Tambora menutup angkasa, menyebabkan tahun tanpa musim panas di dunia Barat.
Cassidy menyebutkan, erupsi Tambora menyebabkan suhu global turun rata-rata 1 derajat celsius, menyebabkan kegagalan panen massal yang menyebabkan kelaparan, pemberontakan, dan epidemi yang dikenal sebagai ”tahun tanpa musim panas” di Eropa.
”Kita sekarang hidup di dunia dengan populasi delapan kali lipat dan tingkat perdagangan lebih dari 40 kali lipat. Jaringan global kita yang kompleks dapat membuat kita lebih rentan terhadap guncangan letusan besar,” katanya.
Kerugian finansial dari letusan gunung api berkekuatan besar akan mencapai multitriliun dan dalam skala yang sebanding dengan pandemi.
Mitigasi risiko
Dalam kajian ini, Mani dan Cassidy menguraikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk membantu meramalkan serta mengelola kemungkinan letusan yang mengubah planet dan membantu mengurangi kerusakan dari letusan lebih kecil dan lebih sering.
Hal ini termasuk penentuan risiko yang lebih akurat. Sejauh ini, ilmu pengetahuan baru mencatat sekitar 97 gunung api yang menjadi sumber letusan besar pada Indeks Ledakan Gunung Berapi (Volcanic Explosivity Index/VEI)" sekitar 70.000 tahun terakhir.
Letusan tertua yang terekam juga di Indonesia, yaitu erupsi Gunung Toba sekitar 74.000 tahun lalu. Letusan Toba sejauh ini memilik VEI tertinggi dan berdampak paling menghancurkan dalam sejarah keberadaan manusia modern (Homo sapiens).
Selain Tambora dan Toba, sejumlah ilmuwan memublikasikan temuan di jurnal PNAS edisi akhir September 2013 tentang letusan Gunung Samlas di kompleks Gunung Rinjani di Pulau Lombok pada 1257 yang juga berdampak global. Letusan itu disebut terbesar di Bumi dalam 7.000 tahun terakhir.
Menurut para peneliti, ada kemungkinan lusinan gunung berapi berbahaya yang tersebar di seluruh dunia dengan potensi kehancuran ekstrem, yang hingga saat ini belum diketahui.
”Kita mungkin tidak tahu tentang letusan yang relatif baru karena kurangnya penelitian tentang inti laut dan danau, terutama di daerah yang terabaikan, seperti Asia Tenggara,” kata Cassidy. Gunung berapi bisa tertidur untuk waktu yang lama, tetapi masih mampu menghancurkan secara tiba-tiba dan luar biasa.
Oleh karena itu, pengawasan harus ditingkatkan. Menurut dia, hanya 27 persen dari letusan sejak 1950 yang memiliki seismometer di dekat sumbernya dan hanya sepertiga dari data itu yang dimasukkan ke dalam database global untuk ”bencana vulkanik”.
”Para ahli vulkanologi telah meminta satelit pemantau gunung berapi khusus selama lebih dari 20 tahun," kata Mani. ”Kadang-kadang kita harus mengandalkan kemurahan hati perusahaan satelit swasta untuk mendapatkan datanya,” ucapnya.
Para ahli juga menyerukan peningkatan penelitian gunung berapi ”geoengineering”. Ini termasuk kebutuhan untuk mempelajari cara melawan aerosol yang dilepaskan oleh letusan besar, yang dapat menyebabkan ”musim dingin vulkanik”. Mereka juga mengatakan bahwa pekerjaan untuk menyelidiki manipulasi kantong magma di bawah gunung berapi aktif harus dilakukan.
Mani menambahkan, ”Memengaruhi langsung perilaku vulkanik mungkin tampak tak terbayangkan, tetapi begitu juga defleksi asteroid hingga pembentukan NASA Planetary Defense Coordination Office pada tahun 2016. Risiko letusan besar yang menghancurkan masyarakat global signifikan. Kurangnya investasi saat ini dalam menanggapi risiko ini benar-benar sembrono,” tuturnya.