Menjelang Lebaran, BPOM Sita Ribuan Produk Pangan Tak Sesuai Ketentuan
BPOM mendapati 3.674 produk senilai Rp 1,04 miliar dari 723 sarana yang menjual produk pangan tak sesuai ketentuan. Produk itu. antara lain, adalah produk pangan tanpa izin edar, produk kedaluwarsa, dan produk rusak.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Idul Fitri 1444 Hijriah/Tahun 2023, Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM menyita ribuan produk pangan tanpa izin edar, kedaluwarsa, dan produk pangan rusak. Meski temuan ini menurun dibandingkan dengan tahun lalu, masyarakat tetap diminta waspada, terutama saat membeli produk pangan secara daring.
Per 6 April 2023, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memeriksa sedikitnya 2.555 sarana peredaran pangan olahan di seluruh Indonesia. Sarana tersebut terdiri atas 2.195 sarana ritel, 337 gudang distributor, dan 12 gudang importir, termasuk 11 gudang lokapasar daring.
”Dilihat dari persentasenya yang menurun dan perluasan cakupan lingkup pengawasan, hasil temuan kami tahun ini lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Kami juga memberikan perhatian lebih pada pengawasan pangan online karena semenjak pandemi, peredaran dan pembelian pangan secara online lebih intensif,” ujar Ketua BPOM Penny K Lukito dalam konferensi pers, di Kantor BPOM, pada Senin (17/4/2023).
Dengan memperluas cakupan pengawasan sebesar 34,33 persen, hasil temuan BPOM terhadap sarana peredaran pangan olahan yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) menurun 21,16 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Secara keseluruhan, BPOM mendapati 3.674 produk senilai Rp 1,04 miliar dari 723 sarana yang menjual produk pangan TMK berupa produk pangan tanpa izin edar, produk kedaluwarsa, dan produk rusak.
Produk-produk tersebut paling banyak ditemukan di sarana ritel dan lebih dari separuhnya merupakan produk pangan tanpa izin edar. Produk tersebut kebanyakan ditemukan di Bandung, Aceh Selatan, Tarakan, Banggai, dan DKI Jakarta.
Kemudian, ditemukan pula produk pangan kedaluwarsa sebanyak 23,34 persen di Kabupaten Ende, Manokwari, Sofifi, Baubau, dan Sangihe. Produk-produk tersebut berupa bumbu dan kondimen, bahan tambahan pangan, minuman serbuk berperisa, minuman berperisa berkarbonasi, serta mi instan.
Sementara jenis pangan rusak banyak ditemukan di wilayah Manokwari, Makassar, Mamuju, Manggarai Barat, dan Gorontalo. Produk pangan rusak itu berupa susu kental manis, susu ultra high temperature (UHT) atau susu steril, ikan dalam kaleng atau ikan makarel, minuman mengandung susu, dan cokelat.
Obat tradisional
BPOM juga menemukan obat tradisional atau jamu yang mengandung bahan kimia obat. Obat tersebut masih diproduksi di sarana ilegal atau tidak dalam pengawasan BPOM.
Obat tradisional tersebut berupa minuman serbuk kopi dan produk-produk herbal yang umumnya untuk vitalitas pria atau disfungsi ereksi. Menurut Penny, obat tradisional berbahan kimia tersebut muncul karena permintaan dari masyarakat.
”Kalau tidak ada permintaan, mereka tidak berani lakukan upaya-upaya ilegal. Oleh sebab itu, mohon masyarakat berhati-hati membeli dan mengonsumsi produk-produk jamu. Sebaiknya, obat tersebut dibeli hanya di tempat-tempat formal," ujar Penny.
Kemudian, BPOM turut mengawasi jajanan berbuka puasa dengan mengambil sampel dan mengujinya secara cepat. Hal itu dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya kandungan bahan yang dilarang digunakan pada pangan, seperti formalin, boraks, rhodamin B, dan methanyl yellow.
Masyarakat sebaiknya memilih produk dengan label yang mencantumkan Informasi Nilai Gizi (ING), serta Logo Pilihan Lebih Sehat, sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 26/2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.
Dari 8.599 sampel yang diperiksa, sebanyak 101 sampel mengandung bahan yang dilarang digunakan pada makanan. Masing-masing kandungan yang ditemukan antara lain, formalin sebanuak 0,57 persen, rhodamin B 0,33 persen, dan boraks 0,29 persen.
Selanjutnya, produk-produk pangan yang disita akan dimusnahkan, terutama produk kedaluwarsa dan produk rusak. Bagi distributor dari importir-importir tanpa izin edar, kata Penny, BPOM meminta agar mereka melakukam return atau pengembalian terhadap para pemasok.
Penny menambahkan, masyarakat diminta berhati-hati dalam membeli produk pangan, baik secara daring maupun secara luring. Selain memperhatikan kemasan, label, izin edar, dan masa kadaluwarsa, masyarakat diimbau untuk memperhatikan kandungan gizi dari produk pangan.
”Masyarakat sebaiknya memilih produk dengan label yang mencantumkan Informasi Nilai Gizi (ING), serta Logo Pilihan Lebih Sehat, sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 26/2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan,” kata Penny.
Patroli siber
Selain melakukan pengawasan secara langsung di lapangan, BPOM juga melakulan pengawasan di berbagai platform media daring. Dari patroli siber, BPOM menemukan 16.679 tautan yang menjual produk pangan tanpa izin edar senilai Rp 47,9 miliar pada platform lokapasar daring dan media sosial.
Lebih lanjut, BPOM bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dam Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) akan menindak tautan-tautan yang teridentifikasi menjual produk tanpa izin edar dengan melakukan takedown atau penurunan konten.
Deputi Bidang Pendindakan BPOM Agus Nugroho menjelaskan, temuan-temuan dari patroli siber tersebut ditindaklanjuti dengan penelusuran langsung di lapangan serta penindakan. Selain dilakukan takedown terhadap tautan-tautan produk pangan, para pelaku usaha dan calon pelaku usaha juga mendapatkan pembinaan terkait penjualan produk yang sesuai dengan ketentuan BPOM.
”Kami juga akan membina dan membimbing para pelaku usaha terkait. Ini supaya fasilitas produksi mereka sesuai ketentuan dan proses distribusi dilakukan dengan baik sehingga produk mereka aman dan berkualitas,” imbuh Penny.
Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyampaikan, pengawasan daring sangat diperlukan seiring. Di era digital ini, pengawasan daring harus diperkuat karena pangsa pasar di daring juga sangat besar.
”Dalam hal ini, BPOM harus bersinergi dengan Kemenkominfo, pengelola platform digital, dan influencer ternama untuk melakukan sosialisasi,” kata Tulus.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM Togi Junice Hutadjulu mengatakan, sistem pengawasan obat dan makanan masih lemah lantaran kurangnya regulasi, penataan kelembagaan, dan sumber daya. Oleh sebab itu, perlu payung hukum berbentuk undang-undang untuk menjawab tantangan pengawasan obat dan makanan dari hulu ke hilir yang semakin kompleks (Kompas.id, 5/4/2033).