Gerhana matahari hibrida akan terjadi pada 20 April 2023 mendatang. Sebelum dapat dijelaskan secara ilmiah seperti sekarang, gerhana matahari maupun bulan dipahami manusia dalam bentuk cerita rakyat dan mitos.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Gerhana matahari maupun gerhana bulan merupakan peristiwa alam yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Namun, penjelasan itu belum tersedia di zaman dulu. Cerita rakyat hingga mitos pun menjadi jembatan pemahaman manusia zaman dulu terhadap gerhana. Di sisi lain, cerita itu menambah khazanah budaya Indonesia.
Gerhana matahari terjadi saat konfigurasi bumi, bulan, dan matahari berada segaris bila diamati posisi-posisi tertentu di permukaan bumi. Pada 20 April 2023, sebagian penduduk bumi akan menyaksikan gerhana matahari hibrida (GMH).
Ada dua macam gerhana dalam satu waktu saat GMH terjadi, yaitu gerhana matahari total (GMT) dan gerhana matahari cincin (GMC). GMH dimulai dengan GMC, lalu berubah menjadi GMT, lalu berubah lagi menjadi GMC. Kejadian ini berlangsung singkat.
Namun, gerhana bagi sebagian masyarakat terjadi karena ulah raksasa bernama Rahu atau Rau. Sosok ini diyakini memakan matahari hingga langit gelap gulita. Rahu atau Rau dapat ditemukan antara lain di kisah masyarakat Bangka dan Bali.
Dalam cerita itu, Rau ingin meminang salah satu dewi, namun ditolak. Rau pun murka dan memaksa sang dewi menerima dirinya. Hal ini diketahui Dewa Matahari dan Dewi Bulan dan Rau pun diadukan ke Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu kemudian menghukum dan membunuh Rau. Kepala Rau terlepas, jatuh ke telaga air suci, dan tetap hidup. Sementara, tubuhnya jatuh ke tanah dan mati.
Rau yang kini hanya berwujud kepala sangat marah. Ia menyalahkan Dewa Matahari dan Dewi Bulan atas hal yang terjadi padanya. Rau pun mengejar dan berusaha memakan kedua dewa-dewi ini. Saat matahari dan bulan berhasil ditangkap, gerhana pun terjadi.
Kisah ini diceritakan dalam beragam versi. Ada yang menyebut Dewa Wisnu memanah leher Rau hingga putus, tetapi ada pula versi Dewa Wisnu memenggal Rau menggunakan senjata cakra.
Di salah satu versi, kepala Rau disebut jatuh ke telaga air suci untuk keabadian para dewa. Itu sebabnya kepala Rau tetap hidup walau badannya mati.
Namun, versi lain menceritakan bahwa Rau dibunuh saat minum air keabadian. Kepalanya terpenggal saat air baru melewati kerongkongannya.
Adapun Rau atau Rahu dikenal sebagai Batara Kala di Jawa. Sama seperti Rau atau Rahu, Batara Kala diadukan ke Dewa Wisnu oleh Matahari dan Bulan karena perbuatannya. Batara Kala disebut hendak meminum air di Telaga Amerta yang membuatnya abadi.
Dewa Wisnu pun memenggal kepala Batara Kala yang sedang minum air amerta. Kepala Batara Kala yang telah dialiri air itu tetap hidup, sementara badannya terhempas dan mati. Batara Kala yang marah lantas mengejar Matahari dan Bulan, serta berusaha memakan kedua “pengadu” itu.
“Para manusia akhirnya menghidupkan bunyi-bunyian setiap gerhana dengan (memukul-mukul) lesung atau apa pun agar Kala takut, lalu lari terbirit-birit karena kegaduhan itu,” kata budayawan sekaligus Guru Besar Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang Teguh Supriyanto, Minggu (16/4/2023).
Mengusir naga
Sementara itu, masyarakat Maluku Utara menyambut gerhana dengan memukul-mukul kentongan atau dolo-dolo keras-keras. Masyarakat meyakini bahwa gerhana terjadi karena naga menelan matahari. Suara gaduh dolo-dolo diharapkan membuat naga memuntahkan kembali matahari di langit (Kompas, 11/3/2016).
Cerita naga pemakan matahari juga ada di China. Di masa lampau, masyarakat percaya naga di langit memakan matahari saat gerhana matahari. Sementara saat gerhana bulan, sang naga diyakini menyerang bulan. Masyarakat akhirnya mengusir naga dengan membuat suara gaduh, antara lain dengan memukul drum dan benda lainnya.
Menurut Kepala Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marlon Ririmasse, cerita rakyat tentang benda-benda langit beredar di masyarakat Maluku melalui sosok Atuf. Atuf dikisahkan sebagai petarung yang mengalahkan matahari dengan tombak.
Ini terjadi pada zaman dulu, saat jarak bumi dan langit begitu dekat. Matahari pun terpecah. Pecahan besar menjadi bulan, sementara pecahan kecil menjadi bintang.
Cerita rakyat dinilai muncul sebagai cara manusia zaman dulu untuk memahami fenomena alam. Itu sebabnya banyak cerita rakyat yang berkaitan dengan laut, hutan, hingga gunung.
“Itu jalan tengah untuk menguak tabir kebuntuan agar tidak gaduh,” katanya. “Manusia selalu ingin menundukkan alam. Ketika manusia tidak mampu menguasai, memahami, dan menundukkan alam, mitos pun muncul,” tambah Teguh.
Adapun cerita rakyat bisa bervariasi karena pengaruh budaya tutur masyarakat. Satu cerita disampaikan secara lisan oleh orang yang berbeda-beda. Hal ini terjadi secara turun-temurun tanpa kita tahu siapa pengarang aslinya. Artinya, cerita tersebut akan terus dimodifikasi dan direproduksi.
Cerita rakyat bisa bervariasi karena pengaruh budaya tutur masyarakat.
Cerita rakyat umumnya dimodifikasi untuk menyesuaikan diri dengan audiens. Ada pula yang dimodifikasi sesuai konteks sosial dan budaya suatu daerah. Sementara saat ditulis, cerita rakyat dapat menjadi variatif karena tergantung pada babon atau sumber naskahnya.
“Orang akan selalu mengaitkan (cerita rakyat) dengan para penguasanya. Dulu, para pujangga dibayar para raja. Sangat mungkin tulisan pujangga menyanjung atau mengagungkan penguasanya,” tutur Teguh.