Sebagian besar wilayah Indonesia berada di pinggir jalur gerhana matahari cincin pada 21 Juni 2020. Hal itu membuat warga hanya bisa mengamatinya sebagai gerhana matahari sebagian.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
Berada di pinggir jalur gerhana matahari cincin 21 Juni 2020 membuat sebagian besar wilayah Indonesia hanya mengamatinya sebagai gerhana matahari sebagian. Selama gerhana, persentase maksimum permukaan matahari yang tertutup bulan di Indonesia hanya 52 persen yang terjadi di Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Citra gerhana di sebagian wilayah yang ada di perbatasan antara daerah yang dilalui dan tidak dilintasi jalur gerhana memberikan potret gerhana yang unik. Permukaan matahari yang tertutup kurang dari 1 persen hingga piringan matahari seolah hanya bersentuhan dengan piringan bulan.
Saiful Arifin, Ketua Surabaya Astronomy Club, Minggu (21/6/2020), mengamati gerhana dari lantai tiga rumahnya, tempat tandon air, di Surabaya, Jawa Timur. Pandemi Covid-19 membuat pengamatan hanya bisa dilakukan di rumah, tidak di taman-taman kota seperti pada gerhana sebelumnya.
Pengamatan juga hanya bisa dilakukan sendiri sehingga Saiful harus mengelola dua teleskop yang dia gunakan untuk mengamati dan memotret gerhana secara bergantian. Belum lagi, ia harus bertahan dari terik sinar matahari sore.
Di Surabaya, gerhana hanya berlangsung 39 menit, dari pukul 15.02-15.41. Puncak gerhana terjadi pada 15.22 dengan besar piringan matahari yang tertutup bulan hanya 2,7 persen. Akibatnya, citra gerhana yang diperoleh Saiful hanya terlhat seperti piringan matahari yang gempil.
”Waktu yang sangat singkat dan kecilmya permukaan matahari yang tertutup bulan membuat fokus pengamatan dan disiplin waktu pengamatan harus dijaga,” katanya.
Citra gerhana matahari secuil juga diperoleh tim Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera Lampung (OAIL), Lampung Selatan. Tim memotret gerhana di Kotabumi, Lampung Utara, sekitar dua jam berkendara ke arah utara dari Bandar Lampung.
Waktu yang sangat singkat dan kecilmya permukaan matahari yang tertutup bulan membuat fokus pengamatan dan disiplin waktu pengamatan harus dijaga.
Untuk menghindari kerumunan massa, teropong dikeluarkan ke halaman rumah salah satu penduduk setengah jam sebelum gerhana dimulai. Pagar rumah pun ditutup hingga tidak memancing masyarakat untuk berdatangan.
Di Kotabumi, gerhana hanya berlangsung 18 menit, yaitu pukul 14.58-15.16 Permukaan matahari yang tertutup bulan hanya 0,4 persen hingga citra yang diperoleh seperti piringan matahari yang bersenggolan dengan piringan bulan.
”Awan dan hujan jadi kendala pengamatan,” kata laboran OAIL Aditya Abdilah Yusuf. Terlebih, tim juga ingin memotret kromosfer, satu lapisan atmosfer matahari, dan bintik matahari yang saat ini muncul di permukaan matahari.
Namun, tak semua pengamatan yang digelar berhasil. Pengamatan yang dilakukan tim Stasiun Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Malang di Bendungan Ir Sutami, Karangkates, terhalang mendung.
Awan juga menutupi seluruh proses gerhana di Padang, Sumatera Barat, dan setelah puncak gerhana hingga gerhana selesai di Padang Panjang. Di Padang, pengamatan dilakukan di halaman Masjid Raya Sumatera Barat oleh tim dari Kementerian Agama Wilayah Sumbar. Sementara di Padang Panjang dilakukan oleh BMKG Padang Panjang.
Di kedua kota itu, gerhana berlangsung lebih dari satu jam dengan besaran piringan matahari yang tertutup bulan kurang dari 10 persen. ”Tidak lama setelah puncak gerhana, matahari langsung tertutup awan,” kata Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Padang Panjang Mamuri.
Sementara itu, di Papua dan Papua Barat, gerhana matahari sebagian bisa diamati dengan baik. Lama gerhana di kedua provinsi itu selama 1-1,5 jam dengan piringan matahari yang tertutup bulan berkisar 40-50 persen.
Menariknya, gerhana di Papua dan Papua Barat berlangsung saat matahari tenggelam. Akibatnya, matahari akan terlihat seperti sabit yang terbenam.
Namun, karena gerhana terjadi bersamaan dengan tenggelamnya matahari, di kedua provinsi itu tak bisa menyaksikan akhir gerhana. Bahkan, di sejumlah daerah di Papua, seperti Jayapura, Merauku dan Pegunungan Bintang, puncak gerhana tak bisa diamati.
”Matahari terbenam lebih dulu sebelum puncak gerhana terjadi,” kata Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jayapura, Papua, Petrus Demon Sili. (DEFRI WERDIONO/YOLA SASTRA/FABIO MARIA LOPES COSTA)