Narasi Berita Media Masih Sarat Stigma dan Tak Berimbang
Kode Etik Jurnalistik merupakan landasan moral atau etika profesi yang menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Namun, kadang kala media justru sering melanggarnya.
Pemberitaan tentang anak sering menjadi topik atau isu yang diangkat dalam di media. Kendati ada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan sejumlah aturan tentang pemberitaan terkait anak, dalam praktik di lapangan masih banyak pemberitaan media yang tidak sensitif terhadap perlindungan dan kepentingan anak.
Media bahkan kerap melakukan eksploitasi dan penghakiman terhadap anak-anak yang terkait sejumlah kasus kekerasan atau berkonflik dengan hukum. Dalam kasus tertentu (terutama yang viral di media sosial), media bahkan ikut ”terseret” dengan arus informasi di media sosial publik sehingga mengabaikan kepentingan anak.
Padahal, sesuai amanat UU Pers, pers nasional seharusnya dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terutama untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Karena itu, jurnalis atau pun media seharusnya mempertimbangkan secara matang dalam memberitakan sebuah peristiwa di mana ada anak-anak yang terlibat di dalamnya sehingga tidak tergiring dengan media sosial.
Salah satu yang menjadi contoh adalah pemberitaan tentang perkara penganiayaan berat yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (20) terhadap Cristalino David Ozora (17). Selain David yang menjadi korban penganiayaan, kasus tersebut juga melibatkan anak lain, AG (15), anak perempuan yang menjadi salah satu terdakwa dalam kasus tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara, Senin (10/4/2023), menyatakan AG bersalah dan divonis pidana 3 tahun 6 bulan.
Baca juga: AG Dipidana 3 Tahun 6 Bulan atas Perkara Penganiayaan David
Kasus penganiayaan yang terjadi pada 20 Februari 2023 menarik perhatian publik dan menjadi perhatian media. Semenjak kasus tersebut bergulir, hampir dua bulan terakhir media memberikan perhatian khusus melalui pemberitaan yang masif.
Namun, pemberitaan media mendapat kecaman dari kalangan pemerhati perlindungan anak. Media terutama media-media daring dinilai ”kebablasan” dan terseret dengan ”pandangan publik” sehingga melanggar prinsip perlindungan anak, terutama anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.
Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA), sebuah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang terdiri dari 28 organisasi yang aktif memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia, menyayangkan pemberitaan media terkait kasus tersebut.
Pasca-putusan PN Jakarta Selatan terhadap AG, Kamis (13/4/2023), PKTA mengirim surat pengaduan dan keberatan kepada Dewan Pers terkait pemberitaan sejumlah media yang dinilai melanggar UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan mengabaikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang dikeluarkan Dewan Pers.
Dalam surat pengaduan tersebut, Ketua Presidium Aliansi PKTA Erasmus Napitupulu menyatakan, bahkan dalam beberapa pemberitaan media terdapat pelanggaran atas jaminan terhadap kerahasiaan identitas anak. Aliansi PKTA pun melampirkan nama-nama media itu.
Beberapa pemberitaan di media juga dinilai menghakimi terkait informasi riwayat seksual korban, bahkan dengan narasi yang menstigma dan tanpa menyamarkan identitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 jo Pasal 61 Ayat (2) UU SPPA.
Terhadap pelanggaran pelanggaran kerahasiaan identitas anak tersebut, Pasal 97 UU SPPA mengatur ancaman pidana yakni 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Media juga melanggar Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak,yang mengatur kewajiban wartawan merahasiakan identitas anak, khususnya anak yang ada di dalam sistem peradilan pidana, termasuk ketika dirinya dijatuhi pidana.
Dalam konteks KEJ, sejumlah media melanggar Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 5 dalam KEJ terkait berita akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk, serta publikasi yang tidak menampilkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak).
Langgar prinsip perlindungan anak
Dari pantauan PKTA, selama kasus tersebut tersebut bergulir, pemberitaan beberapa media luput dalam menyamarkan identitas anak yang berkonflik dengan. Bahkan, beberapa media menarasikan stigma yang akhirnya menimbulkan narasi publik yang sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan anak.
”Media harusnya berperan penting untuk menghadirkan rasionalisasi kepada kemarahan publik atas kasus tersebut. Bahwa dengan adanya anak terlibat, sekalipun sebagai pelaku tindak pidana, harus tetap dijamin hak atas perlindungannya, bukan malah media menjadi sumber munculnya stigma terhadap anak,”ujar Genoveva Alicia, peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dalam pernyataan pers, Kamis pekan lalu.
Tidak hanya terkait dengan sidang pembacaan putusan, sejak awal munculnya kasus penganiayaan Mario terhadap David, stigma terhadap anak dilakukan media secara masif yang dimulai dari pengungkapan identitas anak sehingga diketahui publik. Bukannya menjadi evaluasi, hal tersebut justru semakin diamplifikasi oleh media di dalam prosesnya.
Identitas anak disebut dalam beberapa bentuk kata ganti ”mantan pacar” yang membuat tak ada upaya yang berarti untuk secara serius menyamarkan identitas anak. Bahkan, di antara narasinya tersebut, juga ada yang melecehkan berbasis jender anak.
Media harusnya berperan penting untuk menghadirkan rasionalisasi kepada kemarahan publik atas kasus tersebut. Bahwa dengan adanya anak terlibat, sekalipun sebagai pelaku tindak pidana, harus tetap dijamin hak atas perlindungannya.
Aliansi PKTA menyatakan berempati terhadap peristiwa yang terjadi kepada korban dan keluarganya serta secara tegas menolak dan tidak membenarkan adanya tindakan kekerasan sebagaimana yang terjadi di dalam kasus ini.
Namun, PKTA juga mengajak kepada publik untuk bersama-sama kembali melihat prinsip perlindungan anak. Apalagi anak perempuan dengan dimensi kerentanan berlapis. ”Kita patut prihatin dengan kekerasan yang terjadi, tetapi meneruskan stigma pada anak hanya menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan lainnya,” ujar Reny Haning, Staf Khusus Perlindungan Anak dan Advokasi, ChildFund Indonesia.
Dewan Pers ingatkan media
Menanggapi pengaduan dan keberatan dari Aliansi PKTA, Dewan Pers menyerukan kepada semua media agar dalam melakukan pemberitaan kasus tersebut tetap berpegang pada Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dan KEJ.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu meminta wartawan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan atau anak berkonflik dengan hukum. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, dan didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Seharusnya, wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan tidak membuat dekripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
Dewan Pers juga mengingatkan agar wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya, seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya/keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik, dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
”Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, tetapi tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi anak,” tegas Ninik. Ia mempertanyakan beredarnya rekaman suara yang diduga dari sidang pembacaan putusan hakim terhadap AG.
Selain itu, berdasarkan Pasal 3 KEJ, dalam pemberitaan terkait tindak pidana, wartawan agar menerapkan asas praduga tidak bersalah, yaitu prinsip tidak menghakimi seseorang sebagai bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam kasus AG, Ninik menilai media tidak memberikan penjelasan yang berimbang dalam pemberitaannya terkait pandangan publik terhadap sosok AG.
”Media tidak boleh menarasikan tanpa dukungan informasi yang berimbang, yang mengakurasi pandangan itu. Media harus menghormati kode etik, memperbaiki pemberitaan dengan menulis kembali secara berimbang. Jangan membuat korban baru melalui pemberitaan,” tegas Ninik.
Baca juga: Kementerian PPPA Hormati Putusan Hakim atas AG
Karena itu, Junito Drias, Manager Advokasi Wahana Visi Indonesia, berharap ke depan media peka atas isu anak, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, dalam peradilan pidana anak, anak berhadapan dengan hukum itu adalah anak sebagai korban, anak yang berkonflik dengan hukum atau yang kita kenal sebagai pelaku anak, dan anak sebagai saksi.
”Apa pun posisi mereka, hukum mengamanatkan agar mereka tetap mendapatkan hak mereka sebagai anak. Media seharusnya menjadi terdepan dalam mengomunikasikan itu. Bukan malah melanggar hak anak. Kita bisa marah, tetapi bukan berarti boleh melanggar hak anak dan mengabaikan perlindungan yang mereka harus terima,” ujar Junito.
Publikasi media (terutama daring) belakangan ini dinilai sering latah mengambil informasi atau berita dari medsos, di media sosial berlaku hukum rimba, di mana pengguna seenaknya mengumbar data termasuk anak yang harusnya dilindungi.
Contohnya, pekan lalu, ada seorang perempuan remaja di Magelang, Jawa Tengah, yang dimuat di media sosial disebut sebagai pencuri sepeda motor, identitasnya disebut, dan fotonya disebar ke mana-mana. Ternyata, menurut kepolisian, yang bersangkutan tidak mencuri sepeda motor.
Belajar dari berbagai kasus seperti itu, seharusnya media semakin awas dan berhati-hati dan memublikasikan berita yang terkait anak, apalagi anak perempuan.