”Slow Fashion” Dapat Kurangi Limbah Industri Tekstil
Tiga dari 10 orang Indonesia pernah membuang pakaian yang tidak diinginkan setelah memakainya sekali. Padahal, dari setiap ton serat yang diproses dalam industri tekstil dapat menghasilkan 9,6 ton emisi karbon.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Fashion menjadi penyumbang polusi ketiga terbesar di dunia setelah industri energi dan industri pertanian. Slowfashion atau mode lambat merupakan salah satu tawaran alternatif untuk mengurangi permintaan terhadap industri tekstil.
Hal itu disampaikan eco content creator, Annabella, dalam webinar bertajuk ”Breaking the Stigma of Thrifting, Upcycling and Slow Fashion” yang diadakan Antheia Project pada Minggu (16/4/2023). The Antheia Project merupakan gerakan yang bertujuan meningkatkan kesadaran lingkungan dan mendorong cara hidup yang ramah lingkungan.
Masa pakai baju, menurut Annabella, hanya sekitar tujuh kali pemakaian sebelum dibuang. Di sisi lain, tren fashion terus berkembang sehingga seseorang cenderung memiliki pakaian lebih banyak dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
”Kita cenderung membedakan pakaian khusus untuk tidur, pakaian saat berada di luar ruangan, dan pakaian di dalam rumah. Lalu, pakaian-pakaian yang sudah tidak laik pakai akan dijadikan lap dan akhirnya dibuang. Selama ini, kita membuang baju, tapi tidak merasa seperti membuangnya,” katanya.
Padahal, industri tekstil telah menghasilkan sedikitnya 7 persen dari keseluruhan limbah di dunia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam ”Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dari Ekonomi Sirkular” (2021) menyebut, meningkatnya jumlah konsumen turut meningkatkan permintaan barang tekstil sehingga volume limbah tekstil pun kian bertambah.
Pada tahun 2019 industri tekstil di Indonesia telah menghasilkan limbah sebanyak 2,3 juta ton dan diperkirakan meningkat 68 persen menjadi 3,5 juta ton pada tahun 2030. Perkiraan tersebut berasal dari asumsi adanya 90 juta orang Indonesia potensial menjadi konsumen.
Kemudian, dari total 2,3 juta ton limbah tekstil yang dihasilkan, hanya sekitar 300.000 ton dapat didaur ulang dan selebihnya dibuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar. Pada 2018, misalnya, hampir 280 ton limbah beracun dibuang ke Sungai Citarum setiap hari, termasuk air limbah dari pabrik-pabrik tekstil.
Secara global, industri tekstil menghasilkan emisi karbon sebesar 1,2 miliar ton per tahun. Dari setiap ton serat selama produksi benang, pencelupan, penenunan, dan perajutan dalam industri tekstil dapat menghasilkan sedikitnya 9,6 ton emisi karbon.
Pendiri sekaligus CEO of Topiku, Monty Hasan, mengatakan, fast fashion atau tren mode cepat berdampak besar terhadap lingkungan. Fast fashion merupakan model fashion yang dalam waktu yang singkat silih berganti dan tidak tahan lama lantaran buruknya kualitas bahan baku.
”Proses produksi dan proses pencucian pakaian berbahan poliester akan menghasilkan mikroplastik yang berdampak terhadap lingkungan. Selain itu, sekitar 80 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahunnya menimbulkan mentalitas penggunaan sekali pakai. Artinya, setelah itu pakaian dibuang begitu saja,” kata Monty.
Bappenas menyebut, tingkat konsumsi pakaian meningkat 60 persen dibandingkan dengan 15 tahun lalu. Dari tahun 1998 hingga 2005, rata-rata masa manfaat pakaian telah berkurang sedikitnya 35 persen secara global. Di Indonesia, tiga dari 10 orang pernah membuang pakaian yang tidak diinginkan setelah memakainya hanya sekali.
Gerakan alternatif
Mode lambat diyakini dapat menurunkan permintaan terhadap industri tekstil. Secara tidak langsung, turunnya permintaan atas kebutuhan fashion diharapkan turut menekan produksi limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil.
Selama lima tahun, Annabella telah menerapkan gaya hidup slow fashion, yakni dengan tidak mengikuti tren yang terus berkembang, hanya memakai pakaian yang ada di lemarinya, dan tidak menambah pakaian. Selain itu, slow fashion juga dapat diterapkan dengan menyewa pakaian di saat acara-acara tertentu dan membeli pakaian bekas atau thrifting.
”Sebaiknya, kalau membeli baju itu bukan atas dasar kebutuhan, melainkan berdasarkan rasa suka yang amat tinggi. Kalau kita butuh, bukan berarti akan kita pakai 50 kali lebih. Misalnya, kita akan datang ke pernikahan, kita akan beli pakaian untuk acara pernikahan dan hanya akan dipakai beberapa kali,” ujar Annabella.
Secara terpisah, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi, Idi Subandy Ibrahim menjelaskan, slow fashion merupakan gerakan alternatif yang terbentuk atas dasar kesadaran individu maupun kelompok. Kesadaran tersebut muncul setelah melihat adanya banyak perubahan, dan adanya dampak terhadap lingkungan.
”Ini adalah bentuk perlawanan terhadap gaya hidup konsumtif atau hasrat untuk membeli pakaian baru. Bagi sebagian kalangan, mereka merasa jika hasrat tersebut justru membuat mereka tidak bahagia dan juga merusak lingkungan,” kata Subandy saat dihubungi dari Jakarta.
Ini adalah bentuk perlawanan terhadap gaya hidup konsumtif atau hasrat untuk membeli pakaian baru. Bagi sebagian kalangan, mereka merasa jika hasrat tersebut justru membuat mereka tidak bahagia dan juga merusak lingkungan.
Gaya hidup konsumtif dalam dunia mode dipengaruhi oleh tiga hal, yakni ekonomi, lingkungan, dan simbolik. Dari segi ekonomi, naiknya strata ekonomi seseorang akan membuat kebutuhannya juga meningkat.
Subandy menambahkan, strata ekonomi juga berkaitan dengan faktor lingkungan sekitar. Lingkungan akan membentuk pola perilaku seseorang, termasuk pengakuan yang dapat dicapai dengan menunjukkan cara berpakaian.
”Secara simbolik, media dapat menciptakan kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Tanpa sadar, paparan iklan dan promosi secara masif serta terakumulasi dari berbagai media akan mengonstruksi bahwa pakaian bagus, tren pakaian, pakaian bermerek, menjadi syarat penerimaan kelompok di masyarakat,” kata Subandy.