Kontribusi “Slow Fashion” Selamatkan Lingkungan
Untuk mendukung keberlanjutan lingkungan, industri fashion beradaptasi dengan mode lambat atau slow fashion.
Mode lambat atau slow fashion menawarkan solusi bagi keberlanjutan lingkungan di industri mode. Mengurangi kecepatan produksi, mengutamakan kualitas, keunikan dan eksklusivitas produk serta memberdayakan pengrajin tradisional menjadi ciri khas mode lambat. Ini menjadi strategi untuk melawan tren mode cepat yang dikritik karena dampak lingkungannya.
Kritik atas fast fashion, tren mode cepat yang menawarkan produksi pakaian masal dengan beragam mode, semakin meluas. Salah satu hal yang paling dikritik adalah risiko keberlanjutan lingkungan yang terancam.
Dengan teknologi yang canggih, perusahaan-perusahaan pakaian jadi bersaing mengeluarkan koleksi mode dengan jumlah besar dalam waktu singkat. Setiap bulan bahkan setiap minggu ada saja koleksi mode baru.
Masalahnya, tren mode yang berubah-ubah dalam waktu singkat berarti pakaian sesuai tren mode terus diproduksi meskipun pada akhirnya tidak semua terjual. Sisanya berakhir di tempat pembuangan atau dibakar.
Padahal dalam produksi pakaian jadi, dibutuhkan banyak air. Setiap kemeja membutuhkan 2.700 liter air selama produksi. Diperkirakan dalam setahun, air yang digunakan untuk produksi mendapai 93 miliar kubik.
Lembaga PBB untuk Perdagangan dan Pengembangan (UNCTD) menyebut industri fashion adalah industri paling berpolusi di dunia setelah perminyakan. Emisi gas rumah kacanya mencapai 1,2 miliar ton per tahun, melebihi emisi yang dihasilkan industri kelautan dan penerbangan internasional.
Dari sisi konsumen, tren mode cepat dengan tawaran harga lebih terjangkau memicu peningkatan konsumsi pakaian. Keinginan untuk membeli pakaian terus meningkat seiring dengan bergantinya tren mode. Akibatnya, banyak pakaian yang pada akhirnya menumpuk tidak terpakai. Bahkan, ada pakaian yang hanya dikenakan sekali.
Hasil Penelitian YouGov pada 2017 menyebutkan 29 persen dari 7.349 responden di Indonesia menyingkirkan sepotong pakaian yang hanya digunakan sekali pada tahun sebelumnya. Sebanyak 15 persen menyingkirkan minimal tiga potong pakaian yang hanya dikenakan sekali.
Keresahan akan dampak lingkungan dan konsumerisme tinggi di industri mode memantik sejumlah kelompok untuk menyuarakan kampanye sustainable fashion atau mode berkelanjutan. Termasuk konsep slow fashion.
Kate Fletcher, Professor Mode dan Desain Keberlanjutan London College Fashion dan salah satu inisator slow fashion, menyebutkan konsep tersebut bukan semata-mata perlawanan atas fast fashion. Terinsipirasi dari gerakan slow food yang diinisasi Carlo Petrini pada 1986, slow fashion menampilkan aktivitas mode untuk mempromosikan keberagaman dan budaya dengan kesadaran akan keterbatasan biofisik. Makna lambat (slow) di sini adalah pendekatan berbeda oleh desainer, pembeli, riteler untuk lebih sadar akan dampak produk pakaian terhadap pekerja, komunitas dan ekosistem.
Dalam bukunya berjudul “Fashion & Sustainability: Design for Change (2012)”, Kate menggambarkan bahwa slow fashion bukan hanya merancang bisnis baru tetapi mengubah infrastruktur dan output barang. Konsep ini mematahkan konsep mode yang mengeluarkan koleksi-koleksi baru secara massal demi mengejar tren pakaian mendunia. Sebaliknya, slow fashion menawarkan model pakaian yang lebih divergen, unik, dan diproduksi secara terbatas.
Model bisnis
Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan menawarkan kualitas tinggi dibanding keterbaruan atau tren mode. Ini termasuk upaya untuk menawarkan pola pikir baru pada konsumen untuk fokus pada kualitas dan pertanggungjawaban akan barang yang dibeli.
Salah satu targetnya adalah mengajak konsumen untuk mengurangi berbelanja pakaian. Dengan kualitas tinggi, konsumen diharapkan mengenakan pakaian tersebut lebih lama.
Dari sisi produsen, fokus pada kualitas dibanding dengan keterbaruan atau tren mode mendorong proses produksi lebih terarah dan ramah lingkungan. Produsen tidak lagi mengejar banyaknya pakaian yang harus diproduksi tetapi tingginya kualitas barang yang diproduksi seturut dengan kaidah lingkungan.
Mengurangi kecepatan produksi berarti memberikan kesempatan bahan produksi dari alam untuk tumbuh. Pakaian diproduksi dalam kelompok kecil sehingga konsumsi sumber daya dan limbah yang dihasilkan berkurang.
Kualitas terletak pada bahan, proses pembuatan hingga desain. Desain pakaian dirancang unik, diproduksi dalam jumlah kecil dan tidak mengikuti tren mode terkini. Dengan desain timeless dan bahan berkualitas tinggi maka masa pakai produk akan lebih lama.
Mengikuti tren slow fashion ini, sejumlah produsen pakaian menerapkan proses handmade atau buatan tangan atau dengan menggunakan teknik tradisional. Hal ini untuk menjaga keunikan serta kualitas produksi.
Sebagai contoh, merek mode Sejauh Mata Memandang yang didirikan Chitra Subyakto pada 2014 bekerja sama dengan pengrajin di berbagai daerah di Indonesia. Mengutamakan keberlanjutan lingkungan, produk pakaian yang dihasilkan berasal dari bahan-bahan ramah lingkungan seperti pewarna alami, kapas, linen, tencel, dan bahan daur ulang tekstil. Merek mode ini bahkan ikut mengkampanyekan dan menggalang donasi untuk pemulihan lingkungan dan kelompok tertentu.
Tak hanya mengutamakan produk keluaran, slow fashion juga dimaknai sebagai pendekatan baru yang menguatkan hubungan antara produsen dan konsumen di mana seringkali terbentuk dalam lingkup usaha kecil. Dalam hubungan yang terbentuk ini diharapkan terjadi transparansi dan rasa tanggung jawab bersama akan proses produksi dan segala dampaknya.
Hubungan yang terbentuk mendorong demokrasi mode di mana konsumen tidak lagi ditawarkan mode-mode pakaian yang diproduksi massal dan murah. Sebaliknya, konsumen diberikan kontrol lebih atas produksi dan teknologi pakaian yang berdampak pada kehidupan mereka.
Betabrand, salah satu merek mode di San Fransisco, menerapkan model bisnis yang melibatkan konsumennya untuk menetapkan mode pakaian yang akan diproduksi selanjutnya. Ini melibatkan emosi dan pendapat konsumen sehingga produk menjadi bernilai lebih.
Betabrand mengeluarkan produk baru setiap minggunya. Tetapi berbeda dengan industri mode cepat, Betabrand hanya mengeluarkan satu produk baru bukan berbentuk koleksi. Mereka hanya memenuhi pesanan minimum 100 pakaian. Jika 100 pakaian itu terjual maka model pakaian itu tidak diproduksi lagi.
Tantangan
Slow fashion memang menjadi solusi bagi dunia mode dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Akan tetapi, sistem ini masih sulit dijalankan lantaran harga produk slow fashion tergolong cukup tinggi. Tidak hanya produk dari slow fashion saja tetapi juga produk mode ramah lingkungan.
Hal itu disebabkan oleh biaya produksi yang tinggi lantaran kuantitas produksi barang lebih sedikit, proses lebih rumit, dan kualitas tinggi. Tantangannya adalah bagaimana menarik konsumen untuk mau dan secara konsisten membeli produk-produk slow fashion.
setiap kemeja membutuhkan 2.700 liter air selama produksi
Dalam hal ini, Sojin Jung dan Byoungho Jin melalui penelitiannya berjudul “Sustainable Development of Slow Fashion Businesses : Customer Value Approach” menyarankan strategi bisnis yang cocok. Bisnis slow fashion harus mengutamakan keeksklusifan produk. Karenanya, perusahaan slow fashion perlu berinvestasi pada pengembangan desain yang unik dan ekslusif termasuk mengeluarkan produk dengan jumlah terbatas.
Ini didapatkan dari orientasi konsumen terhadap lima dimensi slow fashion yang berkontribusi untuk menciptakan nilai tertentu sehingga meningkatkan intensi dan keinginan konsumen untuk mau membayar harga premium. Kelima dimensi tersebut adalah keadilan, keaslian, fungsi, lokalitas dan keeksklusifan.
Sistem slow fashion juga tidak hanya mengandalkan upaya dari produsen saja. Konsumenpun turut ambil andil. Meskipun harga produk mode berkelanjutan cukup tinggi bukan berarti konsumen tidak dapat berkontribusi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
Baca juga: Tren Menukar Pakaian di Singapura
Menjalankan konsep slow fashion dari sisi konsumen dapat dilakukan dengan membatasi diri untuk berbelanja pakaian baru. Koleksi pakaian yang dimiliki dapat digunakan untuk lebih lama. Jika bosan, koleksi pakaian bisa dipadupadankan satu dengan lainnya.
Koleksi pakaian juga bisa dijahit ulang membentuk model baru. Selain itu, koleksi pakaian yang sudah tidak dipakai lagi bisa disumbangkan atau dijual kembali. Ini bisa dilakukan melalui penjualan pakaian bekas atau thrifting secara offline maupun melalui daring yang akhir-akhir ini sedang meningkat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Hemat Baju demi Lingkungan Sehat