Perlindungan Kekayaan Intelektual Dorong Pemanfaatan Hasil Riset dan Inovasi
Ekosistem kekayaan intelektual harus dipahami dan dimanfaatkan dengan optimal oleh para peneliti dan inovator. Pemahaman ini bertujuan agar hasil karya dapat dimanfaatkan secara luas tanpa kehilangan hak ekonomi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sampai saat ini, pemanfaatan kekayaan intelektual yang berasal dari riset dan inovasi para peneliti masih menjadi tantangan di Indonesia. Para peneliti didorong untuk memahami pengaturan perlindungan kekayaan intelektual agar hasil karyanya dapat dimanfaatkan secara luas tanpa kehilangan hak ekonomi.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar tentang ekosistem kekayaan intelektual dalam pemanfaatan hasil-hasil riset dan inovasi di Auditorium Gedung BJ Habibie, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, Kamis (13/4/2023).Kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman mulai dari pemanfaatan informasi dan perlindungan paten dalam aktivitas riset dan inovasi, hingga strategi dan komersialisasinya di perguruan tinggi.
Deputi Bidang Fasilitas Riset dan Inovasi BRIN Agus Haryono menyampaikan, ekosistem kekayaan intelektual harus dipahami dan dimanfaatkan dengan optimal. Oleh karena itu, BRIN berfokus membuat suatu ekosistem yang memungkinkan kekayaan intelektual bisa dimanfaatkan dengan cepat oleh industri maupun masyarakat.
“Beberapa negara terperangkap dalam middle income trap(perangkap pendapatan rendah). Namun, negara lain dengan pemahaman tinggi terhadap kekayaan intelektual bisa lebih mudah lepas dari middle income trapdan masuk ke golongan negara maju,” ujarnya.
Saat ini, kekayaan intelektual yang dimiliki BRIN sebanyak 2.389 paten, 352 pencatatan hak cipta, 122 desain industri, 17 perlindungan varietas tanaman, dan 46 merek. Pada 2022, BRIN juga telah mendaftarkan kembali lebih dari 400 permohonan paten. Tahun ini, ditargetkan sebanyak 600 paten dapat didaftarkan.
Meski demikian, sampai sekarang pemanfaatan kekayaan intelektual ini masih menjadi tantangan di Indonesia, khususnya di BRIN. Ada lebih dari 2.500 kekayaan intelektual yang dikelola BRIN tahun 2022. Namun, yang telah dimanfaatkan atau dikomersialisasikan baru di bawah 10 persen.
Menurut Agus, kekayaan intelektual dari hasil riset dan inovasi para peneliti di BRIN maupun perguruan tinggi perlu dilindungi, salah satunya dengan mengajukan paten. Para peneliti harus memahami secara komprehensif pengaturan perlindungan kekayaan intelektual agar hasil karyanya dapat dimanfaatkan secara luas tanpa kehilangan hak ekonomi.
Pelindungan hak paten yang dapat dilakukan ini bersifat teritorial. Artinya, hasil riset tersebut hanya dapat dilindungi di negara tempat pengajuan permohonan pendaftarannya. Jadi, pelindungan kekayaan intelektual hanya berlaku di dalam negeri bila suatu hasil penelitian diajukan permohonan hak patennya di Indonesia.
Ada lebih dari 2.500 kekayaan intelektual yang dikelola BRIN tahun 2022. Namun, yang telah dimanfaatkan atau dikomersialisasikan baru di bawah 10 persen.
Pada Maret 2023, BRIN juga telah melakukanperjanjian kerja sama antara Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi dengan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kerjasama ini diharapkan dapat mendorong pemanfaatan kekayaan intelektual domestik untuk peningkatan daya saing industri, peningkatan kapasitas iptek, dan menumbuhkan perekonomian negara.
“Kita perlu mengajak lembaga swasta untuk menghasilkan kekayaan intelektual. Hal ini agar kegiatan ekonomi dengan pemanfaatan kekayaan intelektual dapat cepat berimbas tidak hanya di lingkungan pemerintahan, tetapi juga lingkup swasta dan bisnis,” kata Agus.
Penelusuran paten
Koordinator Pemeriksaan Paten Kemenkumham Rani Nuradi mengatakan, penelusuran paten sangat penting bagi para peneliti atau inovator. Melalui penelusuran paten, setiap produk yang dihasilkan dapat ditonjolkan perbedaan maupun keunggulannya.
Selain itu, penelusuran paten juga dapat menghindari duplikasi riset dan mengembangkan teknologi yang telah ada. Di sisi lain, hal ini juga dapat menghindari pelanggaran paten dan mengetahui potensi pasar sekaligus peluang kerja sama investasi inovasi.
“Perlindungan paten memang teritorial, tetapi penilaian kebaruan patentabilitasnya itu universal. Jadi, ketika produk ini ada di Indonesia harus hati-hati karena mungkin harus memohon lisensi dan pencatatannya ada di direktorat paten,” katanya.
Kepala Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB University Erika Budiarti Laconi mengatakan, sentra kekayaan intelektual dan inkubasi bisnis di IPB University berada dalam satu lembaga yakni LKST. Jadi, LKST menjembatani para peneliti dalam melakukan registrasi sekaligus permohonan dan pemeliharaan kekayaan intelektual.
“Kami memiliki komite untuk komersialisasi inovasi yang juga akan melakukan penghitungan terhadap inovasi yang siap dihilirisasikan. Tentunya, kami lakukan pembagian royalti sesuai dengan surat keputusan rektor yakni 60 persen untuk tim dosen dan 40 persen lainnya untuk merawat hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki,” ucapnya.