Kanker Usus Besar Kerap Tidak Disadari oleh Mayoritas Orang
Satu dari 21 pria dan satu dari 23 perempuan di dunia berisiko mengalami kanker usus besar. Meski pengobatan kanker usus besar terus berkembang, pencegahan dengan deteksi dini jauh lebih baik ketimbang mengobati.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 70 persen orang dengan kanker usus besar baru terdiagnosis setelah saat stadium 3 dan 4 karena gejala awal kanker usus besar mirip dengan gejala penyakit lain. Orang dengan kanker usus besar perlu mendapatkan perawatan nonmedis berupa dukungan psikologi, sosial, dan spiritual.
Global Cancer Observatory (Globocan) menyebut, terdapat sekitar 9.503.710 kasus kanker baru dan 5.809.431 kematian akibat kanker di Asia pada tahun 2020. Di Indonesia, kasus kanker usus besar merupakan kanker dengan angka kematian tertinggi ke-5. Selain itu, kanker usus besar adalah penyakit tertinggi kedua yang dialami pria setelah kanker paru-paru dengan jumlah kasus baru mencapai 34.189.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo menyampaikan, sering kali pasien baru datang berobat ketika sudah berada di stadium 3 atau stadium 4. Secara keseluruhan, angka harapan hidup orang dengan kanker usus besar diperkirakan 30 persen atau 3 dari 10 orang berpeluang melanjutkan hidupnya.
”Jika bicara angka harapan hidup 5 tahun ke depan setelah terdiagnosis kanker usus besar, angka harapan hidup pasien pada stadium 1 sebesar 95 persen. Pada stadium 2 sebesar 80 persen, lalu stadium 3 sebesar 70 persen, dan stadium 4 sekitar 20 persen. Namun, peluang tersebut bersifat dinamis karena pengobatan kanker terus berkembang,” kata Aru dalam webinar bertajuk ”Kenali, Pahami dan Berteman dengan Kanker Kolorektal” yang diadakan oleh PT Merck Sharp & Dohme (MSD) Indonesia dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Rabu (12/4/2023).
PT MSD merupakan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang manufaktur farmasi. Sementara YKI adalah organisasi nirlaba yang berkecimpung dalam penanggulangan kanker.
Kanker kolorektal atau kanker usus besar merupakan sel ganas yang menyerang jaringan usus besar (kolon) dan rektum, yakni bagian usus paling bawah sampai anus atau dubur. Sebagian besar kanker usus besar bermula dari munculnya polip pada lapisan dalam usus besar atau rektum.
Aru menambahkan, terdapat beberapa gejala awal kanker usus besar yang kerap kali kurang disadari lantaran mirip dengan gejala penyakit lain. Gejala-gejala awal kanker usus besar, antara lain, ialah turunnya berat badan, tubuh terasa lemah, perubahan pola buang air besar (BAB), pendarahan saat BAB, mual, muntah, dan perut terasa nyeri, kram, atau kembung.
”Seringkali, munculnya pendarahan saat BAB dianggap sebagai ambeien. Memang, 80 persen pendarahan di bawah itu terjadi karena ambeien. Tetapi, yang 20 persen ini bisa lolos kalau kita tidak mencari tahu penyebabnya lebih lanjut,” ujar Aru yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi onkologi medik di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, itu.
Oleh sebab itu, Aru menegaskan pentingnya deteksi dini dengan tes kesehatan secara berkala. Salah satunya, dengan pengecekan darah samar pada fases. Namun, masih banyak masyarakat yang enggan melakukannya lantaran merasa jijik dan geli. Padahal, pemeriksaan fases dapat memberikan indikasi awal kanker usus besar sehingga pengobatan dan pemulihan dapat dilakukan secara optimal.
Terdapat dua faktor penyebab kanker usus besar, yakni faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah ialah usia di atas 50 tahun, memiliki riwayat menderita polip, memiliki riwayat infeksi usus besar, memiliki riwayat polip ataupun kanker usus besar dalam keluarga, dan faktor genetik.
Sementara faktor yang dapat diubah adalah kebiasaan konsumsi daging merah dan daging olahan berlebih, diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, dan obesitas. Selain itu, konsumsi rokok atau terpapar asap rokok, konsumsi alkohol berlebih, gangguan pencernaan berulang, dan memiliki riwayat diabetes melitus tipe 2.
Makanan seperti tempe yang dibuat dengan cara fermentasi memiliki kandungan probiotik atau bakteri baik yang dapat melindungi saluran sistem pencernaan.
”Selama lima tahun terakhir, ada penelitian yang menyebut bahwa terdapat bakteri-bakteri tertentu di dalam usus yang cenderung menyebabkan kanker dan bahkan penyakit autoimun. Makanan seperti tempe yang dibuat dengan cara fermentasi memiliki kandungan probiotik atau bakteri baik yang dapat melindungi saluran sistem pencernaan,” lanjut Aru.
Kini, terdapat beragam pengobatan kanker usus besar, seperti pengobatan kemoterapi konvensional, terapi target, dan imunoterapi. Sebagai salah satu pengobatan terbaru, imunoterapi merupakan jenis pengobatan kanker yang memanfaatkan kekebalan tubuh untuk menyerang sel kanker sehingga dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik serta meningkatkan harapan hidup pasien.
Selain pendekatan medis, pasien yang terdiagnosis kanker juga membutuhkan pendekatan nonmedis berupa dukungan psikis, sosial, dan spiritual. Ini karena tidak mudah bagi seorang pasien untuk menerima kenyataan baru dalam hidupnya.
”Menerima diagnosis kanker usus besar bagi pasien itu bukanlah sesuatu yang mudah. Ini bukan penyakit yang biasa-biasa saja, tapi penyakit yang berat. Bukan hanya sekadar aspek fisik, tetapi juga aspek psikososial,” ujar dokter konsultan spesialis fisioterapi di RS Medistra Jakarta, Siti Annisa Nuhonni.
Berdasarkan catatan Asosiasi Psikolog di Amerika, ujar Siti, masalah terbesar mereka adalah problem emosi, kehilangan energi, gangguan seksual, masalah buang air besar, pandangan terhadap citra tubuhnya. Selain itu, ada juga faktor risiko yang dapat menurunkan kualitas hidup, seperti perasaan tidak optimis, dukungan sosial yang rendah, kondisi kanker rektum, berada di stadium akhir, dan memiliki trauma permanen.
Selain itu, perubahan perilaku pasein menjadi beban berat bagi keluarga lantaran keluarga turut merasakan penderitaan pasien, baik fisik maupun psikis. Oleh sebab itu, pendekatan psikososial juga harus diberikan kepada keluarga pasien sehingga keluarga dapat memberikan dukungan.
”Dengan adanya intervensi psikososial yang baik akan memberikan dampak positif terhadap pasien kanker kolorektal. Terutama untuk membuat pasien dapat menerima dan berdamai dengan keadaannya sehingga mereka tetap bisa menjalani hidup yang lebih baik. Dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk masyarakat, akan menentukan harapan hidup pasien,” ucap Siti.
Adanya dukungan psikososial, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar, membuat Dewi (62) dan Sri Yulia (56) dapat terus melanjutkan kehidupannya dengan lebih baik. Kedua perempuan tersebut merupakan penyintas kanker usus besar.
Dewi menceritakan, awalnya ia tidak merasakan gejala apa pun, seperti mual, kembung, ataupun terganggu pencernaannya. Namun, berat badan Dewi terus-menerus menurun sehingga membuat keluarganya khawatir.
Dewi pun melalui beberapa proses pemeriksaan dan akhirnya dokter menemukan adanya kanker di bagian kolon pada 2022 silam. Kemudian, Dewi menjalani pengobatan tanpa operasi hingga mengalami trauma hingga tidak ingin disentuh oleh dokter.
”Saya udah menjalani kemoterapi sebanyak 16 kali. Satu kali kemoterapi itu dapat memakan waktu 50 jam lebih. Kejadian ini terjadi setahun yang lalu, dan sekarang saya sudah menerima kondisi saya karena dukungan dari anak-anak dan keluarga,” kata Dewi.
Pengalaman berbeda dialami oleh Yulia. Gejala awal yang dialaminya telah dialaminya selama tiga tahun. Barulah pada tahun 2015, Yulia memberanikan diri untuk memeriksakan diri dan mendapati dirinya didiagnosis kanker usus besar.
Selama satu bulan, Yulia harus melalui tiga kali operasi untuk membuat lubang baru pengganti saluran anus. Selain itu, Yulia juga harus menjalani kemoterapi sebanyak 16 kali.
”Dukungan dari anak dan suami menjadikan saya semangat lagi untuk hidup. Pada awalnya, saya dibantu oleh keluarga untuk mengurus diri setelah operasi. Namun, karena motivasi dari keluarga, saya berusaha untuk mandiri,” ucap Yulia.