Kasus kanker yang terus meningkat di Indonesia perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas pelayanan kanker, termasuk kapasitas SDM kesehatan yang menangani. Edukasi untuk mencegah kanker pun diperlukan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
DEONISIA ARLINTA UNTUK KOMPAS
Seorang anak pasien kanker didampingi kedua orangtuanya melintasi lorong ruang rawat inap perawatan anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat, Rabu (14/2).
JAKARTA, KOMPAS — Kanker merupakan penyakit yang memberikan beban kesehatan tertinggi di Indonesia. Kasusnya meningkat secara signifikan. Untuk itu, upaya pengendalian dan pelayanan kanker harus terus ditingkatkan, termasuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia tenaga kesehatan yang menangani.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kanker menjadi salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Kasusnya meningkat signifikan dan biaya kesehatan yang ditimbulkan juga tinggi.
”Kanker menjadi pembunuh nomor tiga dan kasusnya meningkat sangat cepat. Itu sebabnya, kualitas pelayanan kanker di Indonesia harus bisa ditingkatkan dengan cepat,” ujarnya seusai acara penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Kesehatan dan University of Texas MD Anderson Cancer Center di RS Kanker Dharmais, Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Kanker menjadi pembunuh nomor tiga dan kasusnya meningkat sangat cepat. Itu sebabnya, kualitas pelayanan kanker di Indonesia harus bisa ditingkatkan dengan cepat (Budi G Sadikin).
Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar, prevalensi kanker di Indonesia meningkat dari 1,4 per 1.000 penduduk pada 2013 menjadi 1,79 per 1.000 penduduk pada 2018. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pun menunjukkan, kanker merupakan penyakit katastropik dengan biaya pelayanan kesehatan tertinggi kedua setelah jantung yang mencapai Rp 4,5 triliun pada 2022.
Budi menuturkan, pelayanan kanker di Indonesia akan terus ditingkatkan. Hal tersebut perlu dilakukan secara komprehensif, mulai dari edukasi, pencegahan, deteksi dini, hingga terapi. Pelayanan kanker diharapkan bisa merata di seluruh wilayah Indonesia. Ia pun menargetkan fasilitas radioterapi bisa tersedia di 34 provinsi. Selain itu, layanan kemoterapi juga bisa tersedia di 514 kabupaten/kota.
”Untuk memastikan pelayanan yang merata, diperlukan juga dokter spesialis yang terkait. Itu sebabnya reformasi dalam sistem layanan kesehatan kita salah satunya berfokus pada peningkatan sumber daya manusia kesehatan,” ucapnya.
Budi menyampaikan, kerja sama yang dilakukan antara Kementerian Kesehatan dan University of Texas MD Anderson Cancer Center diharapkan turut meningkatkan kualitas sumber daya manusia kesehatan di Indonesia. Dalam kerja sama tersebut setidaknya akan dilakukan pertukaran ilmu dan teknologi terkait pelayanan kanker.
”Salah satu yang akan dilakukan adalah Proyek Echo. Dalam proyek ini para ahli kanker di Indonesia bisa berkonsultasi langsung ke pakar yang lebih ahli dari MD Anderson. Karena seperti yang kita tahu, ahli di MD Anderson merupakan salah satu yang terbaik di dunia,” tuturnya.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Tetty (kiri), kader penyuluh kesehatan Kelurahan Srengseng Sawah, melakukan simulasi penyuluhan pencegahan kanker serviks saat peluncuran program Bulan Cegah Kanker Seviks di Puskesmas Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (22/12).
Selain itu, kerja sama lain yang akan dilakukan antara Kementerian Kesehatan dan MD Anderson adalah terkait perencanaan dan pelaksanaan pengendalian kanker, pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan kapasitas SDM kesehatan terkait kanker, serta pelibatan dalam organisasi konferensi bersama dan pertemuan ilmiah. Sistem rujukan pasien dari Indonesia ke MD Anderson pun dapat dilakukan.
Direktur Utama RS Kanker Dharmais Soeko W Nindito menyampaikan, setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kapasitas di rumah sakit, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, penelitian, serta pengolahan data. Sistem kontrol yang komprehensif dalam pengendalian kanker juga perlu diperhatikan.
”Hal lain yang tidak kalah penting adalah mengedukasi masyarakat untuk melakukan deteksi dini. Itu yang mungkin juga membedakan antara pelayanan di Indonesia dan negara maju. Di Indonesia, dokter akan lebih banyak menangani kasus dengan stadium lanjut, sementara di negara maju lebih banyak pasien dengan stadium awal,” katanya.
Direktur Eksekutif untuk Onkologi Global MD Anderson, Kathleen Schmeler, menyampaikan, kolaborasi sangat diperlukan untuk mendukung upaya penanganan kanker di dunia. Kanker tidak hanya menjadi persoalan di Indonesia, tetapi juga global. Tantangan yang dihadapi di setiap negara berbeda-beda.
”Saya kira tantangan terbesar yang dihadapi oleh Indonesia adalah kondisi geografis yang terdiri dari banyak pulau dan jumlah penduduk yang sangat besar. Kami harap lewat kerja sama ini bisa membantu Indonesia dalam meningkatkan pelayanan kanker bagi masyarakat,” ucapnya.