Perkaya Bahan Bacaan di Daerah dengan Penulis Lokal
Kehadiran penulis lokal diharapkan mampu menambah jumlah penulis dan bahan bacaan. Kini Indonesia masih kekurangan bahan bacaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Anak membaca buku di perpustakaan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu yang berada di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (8/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat, komunitas, serta pegiat literasi didorong untuk mengangkat potensi daerahnya masing-masing menjadi tulisan. Upaya ini akan dapat menambah bahan bacaan lokal sehingga meningkatkan literasi di Indonesia. Salah satu faktor rendahnya tingkat literasi di Indonesia berhubungan dengan kurangnya bahan bacaan.
Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), idealnya satu orang mampu mengakses tiga buku dalam setahun. Namun, satu buku di Indonesia ditunggu oleh setidaknya 90 orang karena keterbatasan bahan bacaan.
Sensus perpustakaan pada 2019 pun menunjukkan kesenjangan antara jumlah penduduk dan jumlah buku di berbagai pulau. Dengan sekitar 154 juta penduduk, Pulau Jawa dan Bali memiliki lebih kurang 11,1 juta buku sehingga rasionya 0,58. Sementara itu, rasio di Sulawesi dan Nusa Tenggara 0,63, Kalimantan 0,6, Maluku dan Papua 0,38, dan Sumatera 0,1 (Kompas.id, 4/11/2021).
Program ini memotivasi mereka untuk mengulik potensi daerah yang ada di sekitar lokasi masing-masing.
Gairah menulis di masyarakat pun ditumbuhkan, antara lain melalui program Inkubator Literasi Pustaka Nasional. Program Perpustakaan Nasional ini diinisiasi Perpusnas Press sejak 2021 dan diharapkan mampu melahirkan penulis-penulis baru.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung dapat membaca sambil duduk di sofa, lesehan, hingga bersandar di atas bean bag di perpustakaan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu yang berada di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (8/10/2022).
Program ini terbuka bagi publik. Mereka dapat mengirimkan naskah tulisannya ke penyelenggara, kemudian diseleksi oleh tim kurator. Naskah terpilih akan dimuat dalam buku antologi keluaran Perpusnas Press. Adapun salah satu buku yang dipublikasi berjudul Jalan Tengah Kopi Pengaron. Buku ini karya 15 penulis di Kalimantan Selatan.
”Kami berencana mengembangkan program ini di Kalimantan Selatan. Kami sudah membuat roadmap (peta jalan) agar kegiatan ini tidak jadi peristiwa saja di 2023. Akan kami coba perluas lagi kegiatannya di level kabupaten/kota sehingga indikator capaian literasi diperoleh, salah satunya hadirnya local content,” kata Pemimpin Redaksi Perpusnas Press Edi Wiyono pada ”Bicara Buku Jalan Tengah Kopi Pengaron” secara daring, Senin (10/4/2023).
Pendiri Rumah Pustaka Tabaling di Kalsel, Bahrul Ilmi, mengatakan, program ini memotivasi mereka untuk mengulik potensi daerah yang ada di sekitar lokasi masing-masing. Mereka berencana melihat kembali potensi makanan khas di sana serta sejarah tempat-tempat yang potensial sebagai destinasi wisata.
Potensi daerah
Salah satu penulis di buku itu, Derri Ris Riana, mengangkat soal wayang kulit Banjar. Menurut dia, keberadaan seni tradisi kian tergerus karena modernisasi dan masuknya budaya luar negeri ke Indonesia. Di sisi lain, pelestarian seni tradisi, seperti wayang kulit, terkendala regenerasi dan kurangnya minat masyarakat.
Pudarnya kepedulian masyarakat untuk melestarikan wayang kulit Banjar tampak sejak beberapa dekade lalu. Pada 1996, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kalsel menyebut bahwa masyarakat lebih suka musik dangdut dan film sebagai hiburan rakyat daripada pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang pun semakin jarang dimanfaatkan sebagai hiburan menjelang akhir tahun 1980-an (Kompas, 21/5/1996).
”Wayang Banjar masih eksis hingga sekarang dan ini berpeluang dikembangkan di (sektor) ekonomi kreatif dengan memanfaatkan literasi digital,” kata Derri yang juga peneliti ahli muda Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
ERWIN EDHI PRASETYA
Mahasiswa Darmasiswa, Misaki Kishi, asal Jepang mendalang dengan mementaskan adegan perang Cakil di Teater Besar Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/6/2019) malam.
Hal ini sesuai dengan riset soal dinamika wayang kulit Banjar dan potensi ekonomi kreatifnya yang ia lakukan pada 2022 di tiga desa di Kalsel. Hasilnya, wayang kulit Banjar berpotensi besar dikembangkan. Hal ini didukung sikap pegiat kesenian yang tidak menutup diri dengan perkembangan zaman. Mereka justru memanfaatkan teknologi untuk menanggap wayang atau membuat produk ekonomi kreatif berbasis wayang.
”Para dalang dan sanggar seni juga memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk promosi. Ada yang memiliki Facebook dan website untuk promosi seni-seni tanggapan wayang kulit dan produk-produk kesenian, seperti gamelan, gong, dan kenong,” ucap Derri.
Menurut penulis lainnya, Rahmadi El-Rantawie, literasi digital dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor ekonomi kreatif berbasis kebudayaan. Kabupaten Tanah Laut di Kalsel, misalnya, mengembangkan aplikasi Sosialitas untuk menampung kreasi usaha kecil menengah (UKM) serta usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) lokal. Salah satu produk yang dipromosikan di aplikasi itu adalah lawung, topi khas masyarakat Banjar yang lantas disebut kopiah tuntung pandang.
”Kopiah ini wajib dipakai antara lain di kegiatan resmi pemerintah,” kata Rahmadi yang juga Ketua Ikatan Penulis Tanah Laut. ”Ada Peraturan Bupati Kabupaten Tanah Laut Nomor 32 Tahun 2022 yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan produk ini, termasuk harga yang tidak boleh lebih dari Rp 150.000 per buah,” tuturnya.