Kurangnya bahan bacaan menjadi salah satu penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia. Para penulis di daerah perlu didorong untuk terus berkarya menuangkan karyanya dalam buku.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi masyarakat Indonesia yang rendah, antara lain, disebabkan oleh kurangnya bahan bacaan. Rasio buku bacaan di Indonesia yakni satu buku untuk 90 orang. Padahal, sesuai standar UNESCO, tiap orang membaca tiga buku tiap tahun.
Kurangnya bahan bacaan di Indonesia diungkapkan Kepala Perpustakaan Nasional M Syarif Bando di acara Peluncuran dan Diskusi Buku Inkubator Literasi Pustaka Nasional 2021 Rabu (3/11/2012). Rasio ketersediaan buku bacaan yang dihitung dari perbandingan jumlah penduduk dan jumlah buku berdasarkan sensus perpustakaan pada 2019 terlihat ada kesenjangan di berbagai pulau.
Di Pulau Jawa dan Bali dengan penduduk sekitar 154 juta jiwa, ada lebih kurang 11,1 juta buku sehingga rasionya 0,58. Di Sulawesi dan Nusa Tenggara, rasionya 0,63, Kalimantan 0,60, Maluku dan Papua 0,38, serta Sumatera 0,10. Padahal, di Asia Timur, Eropa, ataupun Amerika Serikat, tiap orang rata-rata membaca 15-30 buku setahun.
Secara terpisah, Pengurus Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi) Afrizal Sinaro, Kamis (5/11/2021), mengatakan, minat membaca masyarakat sebenarnya ada dan bisa ditumbuhkan jika bahan bacaan yang tersedia relevan dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat di desa sulit mengakses buku dan harga buku dirasa masih mahal sehingga mereka tidak membaca buku. Namun, dari uji coba Yagemi dengan program Pustaka Begilir Buku Masuk Rumah di desa-desa di berbagai daerah di Indonesia, tiap anggota keluarga bisa membaca 24 judul buku per tahun.
”Buku-buku yang sesuai kebutuhan ayah, ibu, dan tiga anak disediakan dengan dikirimkan secara bergiliran untuk tiap rumah. Hasilnya baik, minat membaca meningkat dan mendorong produktivitas ekonomi karena buku yang mendukung pertanian dan kewirausahaan, misalnya, bermanfaat untuk memberi wawasan untuk meningkatkan perekonimian saat ini,” tutur Afrizal.
Guna mengatasi kurangnya bahan bacaan, Perpustakaan Nasional melalui penerbitan Perpusnas Press menggagas program Inkubator Literasi Pustaka Nasional (IPLN) sejak tahun 2020. Program ini bertujuan untuk mendorong tradisi dan iklim menulis serta memperbanyak hadirnya buku-buku yang diperlukan masyarakat untuk memperkuat konten literasi.
Pada tahun keduanya ini, kegiatan IPLN dipusatkan di Jakarta dan direplikasi di sejumlah daerah, yakni Kota Tebing Tinggi, Kota Depok, Kota Banjar, Kabupaten Jember, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Sumenep, dan Kabupaten Enrekang. Hasilnya, ada lima buku, yakni Kearifan Lokal untuk Memperkuat Literasi karya para penulis IPLN Perpusnas, Literasi dalam Pemberdayaan Kearifan Lokal karya para penulis IPLN Kota Tebing Tinggi, Representasi Kearifan Lokal di Tengah Modernitas karya para penulis IPLN Kota Depok. Kemudian Kancah Juang Kawula Muda karya penulis IPLN Kota Banjar dan Menelisik Potensi dan Produk Unggulan Wisata Sekarkijang karya penulis IPLN Kabupaten Jember.
”Perpusnas tidak cukup hanya dikenal sebagai institusi penjaga dan melestarikan peradaban, tetapi harus dapat menciptakan peradaban baru dengan menerbitkan ribuan buku yang diperlukan masyarakat," ujar Syarif.
Guna memenuhi kebutuhan bahan bacaan, lanjut Syarif, perlu adanya sinergi dengan semua komponen bangsa. “Tantangan kita meningkatkan budaya baca adalah memastikan rasio buku di masyarakat sesuai dengan standar UNESCO yakni minimal tiga buku baru tiap orang tiap tahunnya. Dan saya mengajak para pimpinan daerah untuk bergabung, mari kita menulis buku," kata Syarif.
Saat ini sudah ada sekitar 600 lebih judul buku yang telah diterbitkan. Perpustakaan Nasional menyediakan angggaran meski tidak banyak, minimal bisa untuk ongkos cetak.
Minat membaca meningkat dan mendorong produktivitas ekonomi karena buku yang mendukung pertanian dan kewirausahaan, misalnya, bermanfaat untuk memberi wawasan untuk meningkatkan perekonimian saat ini.
Sementara itu, dalam diskusi Buku Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Bupati Magetan Suprawoto mengatakan, dirinya sering mengajak warganya untuk menulis buku dimulai dari menulis hal yang sederhana. Seperti menulis sejarah desa, sejarah sekolah hingga kisah para veteran yang ada di Magetan.
”Kalau itu dilakukan, mengangkat kisah-kisah lokal itu, kan, menarik. Tiap desa saya minta menuliskan sejarahnya, begitu juga tiap sekolah saya minta untuk membuat sejarahnya dan kemudian dibukukan,” ujar Suprawoto yang sudah menulis sejak tahun 1984.
Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana atau lebih dikenal Gol A Gong menyambut baik program IPLN dalam mendorong iklim menulis di kalangan masyarakat ataupun pegiat literasi. ”Hadirnya Perpustakaan Nasional melalui program inkubasi literasi ini berhasil mendorong iklim menulis. Saya yakin ke depan program ini akan menggema dan menumbuhkan penulis-penulis baru,” ujar Gol A Gong.
Sementara itu, Presiden Rumah Produktif Indonesia Yanuardi Syukur mengungkapkan, keterbatasan akses dan kurangnya percaya diri menjadi kendala yang dihadapi penulis di daerah. ”Dengan adanya inkubasi literasi ini, kita akan meningkatkan akses bagi para penulis yang ada di daerah. Dengan buku yang diterbitkan di Perpusnas, tentu saja ini dapat menambah kepercayaan diri penulis,” kata Yanuardi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jember Hestu Wibowo mengatakan, melalui buku Menelisik Potensi dan Produk Unggulan Wisata Sekarkijang pihaknya ingin memperkenalkan kepada masyarakat potensi pariwisata yang ada di Sekarkijang.
Sekarkijang merupakan wilayah Karesidenan Besuki dan Lumajang yang meliputi Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi dan Lumajang. Daerah tersebut merupakan wilayah kerja Kantor Perwakilan BI Kabupaten Jember.
”Melalui tulisan-tulisan ini, potensi pariwisata di wilayah Sekarkijang diharapkan dapat lebih dikenal masyarakat luas sehingga mampu membantu perekonomian masyarakat setempat,” kata Hestu.