Kemudahan Akses dan Budaya Membaca Mengungkit Literasi
Laporan Kinerja Perpusnas 2016 menunjukkan, ketersediaan perpustakaan secara nasional hanya memenuhi 20 persen dari kebutuhan. Jumlah perpustakaan hanya ada 154.359 unit dari jumlah kebutuhan sebanyak 767.951 unit.
Oleh
Agustina Purwanti (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Indeks literasi baca masyarakat Indonesia terus naik selama lima tahun terakhir. Meski demikian, nilainya masih harus ditingkatkan dengan membangun berbagai akses membaca sebagai indikator penting dan mendorong budaya baca sejak dini.
Perbaikan literasi ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kegemaran membaca masyarakat selama lima tahun terakhir. Survei Indeks Perpustakaan Nasional RI di 102 kabupaten/kota pada 34 provinsi tersebut menunjukkan, nilai indeks kegemaran membaca pada tahun 2016 masih 26,5. Nilai tersebut sesuai dengan target yang ditetapkan.
Tahun 2020, nilai indeks melonjak menjadi 55,74, melampaui target yang ditetapkan sebesar 55,3. Pencapaian ini boleh jadi tak lepas dari keberhasilan program Gerakan Literasi Nasional yang diluncurkan pemerintah sejak 2016.
DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau menjadi provinsi dengan nilai indeks aktivitas literasi membaca tertinggi, meski masih dalam kategori sedang.
Meski demikian, upaya perbaikan tingkat literasi ini masih tertinggal jauh dibandingan negara lain. Merujuk hasil survei Central Connecticut State University bertajuk World’s Most Literate Nations (2016), literasi Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara.
Posisi tersebut membuat Indonesia hanya berada satu tingkat di atas Botswana. Indonesia bahkan kalah dari negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand (peringkat ke-59), Malaysia (peringkat ke-53), dan Singapura (peringkat ke-36).
Alibaca
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan juga melakukan kajian terkait Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di 34 provinsi. Kajian yang diterbitkan tahun 2019 itu menunjukkan, nilai indeks Alibaca Indonesia tahun 2018 sebesar 37,22 yang masuk kategori rendah.
Hal tersebut tak lepas dari rendahnya nilai indeks dimensi pembentuknya, yakni dimensi kecakapan, dimensi akses, dimensi alternatif, dan dimensi budaya. Keempat dimensi tersebut dibentuk oleh 16 indikator.
Litbang Kompas menghitung analisis statistik korelasi untuk melihat tingkat kekuatan hubungan antar-indikator. Hasilnya, dimensi akses memiliki hubungan yang paling kuat dengan indeks Alibaca, yakni 94,5 persen.
Nilai indeks dimensi akses ini juga masuk dalam kategori rendah, yakni 23,09. Dimensi ini menggambarkan ketersediaan akses, seperti perpustakaan (sekolah, umum, komunitas), tenaga pengelola perpustakaan, dan perilaku membeli surat kabar, majalah, ataupun tabloid.
Ketersediaan akses literasi di Indonesia memang masih lemah. Perpustakaan, misalnya. Laporan Kinerja Perpusnas 2016 menunjukkan, ketersediaan perpustakaan secara nasional hanya memenuhi 20 persen dari kebutuhan. Jumlah perpustakaan hanya 154.359 unit dari jumlah kebutuhan sebanyak 767.951 unit.
Keterbatasan penunjang lain, seperti ketersediaan teknologi dan internet yang menjadi indikator dimensi alternatif, juga berdampak pada rendahnya nilai indeks dimensi tersebut, yakni 40,49.
Dimensi kecakapan yang disusun oleh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah sebenarnya masuk dalam kategori tinggi, yakni 79,32. Namun, nilai tersebut menjadi tidak berarti jika dimensi lainnya tidak teratasi dengan baik.
Budaya membaca
Dimensi akses tersebut berdampak pada rendahnya nilai indeks dimensi budaya sebesar 28,5. Indeks ini terdiri atas indikator kebiasaan membaca, mengunjungi perpustakaan dan taman bacaan.
Kebiasaan membaca sebaiknya dikenalkan kepada anak-anak sejak usia dini dengan mengenalkan buku kepada anak karena anak adalah individu yang dinamis. Hal ini akan membawa anak memiliki pengetahuan yang luas dan tingkat literasi yang lebih baik.
Pengenalan kebiasaan membaca sejak masa anak-anak diperingati setiap tahun pada Perayaan Hari Buku Anak Internasional setiap tanggal 2 April. Perayaan sedunia tahun ini digelar di Amerika Serikat dengan tujuan mempromosikan melek huruf dan inspirasi untuk membaca.
Literasi anak dan generasi muda secara global semakin baik dari tahun ke tahun. Hal ini tecermin dari semakin berkurangnya individu yang buta huruf.
Data United Nations Children’s Fund (Unicef) menunjukkan, tahun 2018 terdapat 100 juta penduduk di seluruh dunia usia 5-24 tahun dalam kondisi buta huruf. Jumlah tersebut turun 20,6 persen dibandingkan satu dekade sebelumnya, bahkan turun 43,5 persen dari tahun 1985.
Di sisi lain, problem ketidakmerataan literasi masih membayangi Indonesia. Indeks Alibaca menunjukkan, hanya 15 provinsi yang memiliki nilai indeks di atas rata-rata nasional. DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau menjadi provinsi dengan nilai indeks tertinggi meski masih dalam kategori sedang.
Dibutuhkan kolaborasi banyak pihak untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara dengan literasi tinggi. Pemerintah dan swasta menyediakan sarana untuk memperkuat akses membaca, sedangkan masyarakat, khususnya orangtua, turut serta memfasilitasi dan membiasakan anak-anaknya membaca sejak dini.