Masyarakat Urban Tidak Berarti Kebal ”Stunting”
Tinggal di perkotaan dengan akses kesehatan yang mudah, tingkat ekonomi yang relatif baik, dan akses pangan yang terjangkau tidak membuat masyarakat terhindar dari ”stunting”. Butuh strategi tepat untuk mengatasinya.
JAKARTA, KOMPAS — Tengkes merupakan persoalan nasional. Hal itu berarti stunting atau tengkes bukan hanya menjadi masalah di wilayah perdesaan, melainkan juga perkotaan atau urban. Akses pelayanan kesehatan yang mudah, tingkat ekonomi yang baik, dan akses pangan yang terjangkau nyatanya tidak serta-merta membuat stunting bisa dihindari.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia pada 2021 menunjukkan, angka stunting atau tengkes sebesar 21,6 persen. Angka ini turun hampir tiga persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, angka ini masih di atas ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen.
Dari data tersebut, ada 34 kota di Indonesia yang prevalensi stuntingnya masih di atas 20 persen. Prevalensi tertinggi tercatat di Kota Subulussalam, Aceh, sebesar 47,8 persen. Kemudian kota dengan prevalensi tengkes tinggi lainnya, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (33,8 persen), Kota Bima Nusa Tenggara Barat (31,2 persen), Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara (28,8 persen), dan Lhokseumawe, Aceh (28,1 persen).
Terkait hal itu, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi, di Jakarta, Minggu (9/4/2023), mengatakan, strategi penanganan tengkes kini akan diubah dari sebelumnya berfokus untuk mencari anak dengan stunting menjadi mencegah anak untuk tidak mengalami tengkes. Hal ini menjadi amat penting agar kasus tengkes baru tidak terus bertambah.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, di Jakarta, Kamis (6/3/2023), mengatakan, setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya tengkes pada anak-anak di wilayah urban dan suburban. Itu meliputi tidak optimalnya kecukupan nutrisi, tidak optimalnya status kesehatan, dan pola asuh yang kurang. Tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Baca juga: Pencegahan Tengkes Tidak Selalu Mahal
Menurut dia, banyak kasus tuberkulosis (TBC) pada anak yang ditemui di daerah perkotaan. Penduduk perkotaan yang tinggal di kawasan kumuh dengan tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat rumah sehat amat berisiko menimbulkan berbagai penyakit menular, seperti tuberkulosis. Padahal, anak dengan tuberkulosis berisiko mengalami gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan.
Selain itu, orangtua yang tinggal di perkotaan cenderung lebih sibuk sehingga banyak anak yang akhirnya dirawat pengasuh atau neneknya. Hal ini kadang membuat pemantauan nutrisi dan pola asuh jadi kurang baik.
”Hal itu membuat di perkotaan masih bisa ditemui banyak kasus stunting. Karena akses yang dekat, fasilitas tersedia, dan cenderung lebih mampu secara ekonomi tidak bisa serta-merta membuat orang di perkotaan tidak stunting,” tutur Hasto.
Upaya penanganan stunting harus tetap menjadi perhatian bersama, termasuk pada pemerintah daerah di wilayah perkotaan. Secara umum, kebijakan penanganan tengkes tetap berpijak pada lima pilar utama, yakni komitmen kuat, sosialisasi dan edukasi, konvergensi dan pengarahan lintas sektor menuju stunting, penyediaan makanan yang cukup, serta data yang baik, inovasi, dan evaluasi.
Setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak-anak di wilayah urban dan suburban. Itu meliputi tidak optimalnya kecukupan nutrisi, tidak optimalnya status kesehatan, dan pola asuh yang kurang.
Namun, pemerintah daerah perlu menerjemahkan kelima pilar tersebut ke dalam bentuk teknis yang sesuai kearifan lokal di setiap wilayah. Di DKI Jakarta, misalnya, penerapan bapak asuh untuk setiap anak stunting bisa dijalankan. Para pengusaha ataupun pihak swasta bisa diajak untuk menjadi bapak asuh untuk membantu pemenuhan nutrisi pada setiap anak stunting ataupun pada anak yang berisiko stunting.
Baca juga: Ajak Para Pihak Atasi Tengkes
Selain itu, pendekatan lain juga bisa dilakukan di kota besar di Aceh yang angka kasus tengkesnya tinggi. Pembinaan pada calon pengantin bisa dilakukan melalui bimbingan dari tokoh agama. Edukasi mengenai pemenuhan gizi sebelum hamil dan upaya mencegah tengkes sejak persiapan pernikahan bisa diberikan kepada calon pengantin.
”Semangat pada pemerintah daerah untuk penurunan stunting sudah tinggi namun perhatian pada teknis implementasinya masih kurang. Diharapkan jangan hanya memberikan imbauan yang sifatnya umum, namun harus perintah yang deskriptif dan spesifik,” kata Hasto. Program yang diterapkan dalam upaya percepatan penurunan stunting pun perlu dipastikan berjalan berkelanjutan. Intervensi untuk mencegah dan menangani anak dengan tengkes membutuhkan waktu panjang.
Pendanaan pun seharusnya tidak menjadi kendala sebab banyak sumber dana yang bisa dimanfaatkan oleh daerah. Itu mulai dari dana alokasi khusus (DAK) melalui BKKBN dan Kementerian Kesehatan, program Keluarga Harapan (PKH) melalui Kementerian Sosial dengan pemberian bantuan makanan nontunai, dana desa yang bisa dimanfaatkan untuk penanganan tengkes, hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Jika bisa bekerja secara logis dengan kerja yang cerdas dan lebih keras, target penurunan stunting menjadi 14 persen pada 2024 bisa dicapai. Penurunan yang bisa dicapai di wilayah perkotaan akan signifikan mendukung upaya percepatan tersebut karena 62 persen sasaran stunting kita ada di Jawa, Bali, dan Sumatera Utara,” tutur Hasto.
Strategi yang juga menjadi fokus pemerintah untuk percepatan penurunan stunting saat ini yakni mencegah stunting sejak dari calon pengantin. Setiap calon pengantin akan diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Jika tidak memenuhi syarat kesehatan, ia tidak disarankan untuk hamil setelah menikah.
”Kita akan lebih gencar menghadang stunting dari calon pengantin. Jika belum memenuhi syarat kesehatan, mereka tetap boleh menikah tetapi akan didampingi agar tidak hamil terlebih dulu. Saat ini dari 2 juta pernikahan ada 1,6 juta yang hamil dan 320.000 di antaranya menjadi stunting. Kalau bisa dihadang sejak awal, artinya 320.000 calon stunting bisa tercegah,” kata Hasto.
ASI eksklusif
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi di Jakarta, Minggu (9/4/2023), menuturkan, persoalan lain yang juga ditemui di wilayah perkotaan yang menjadi penyebab tengkes, yakni pemberian ASI eksklusif yang tidak optimal. Kesibukan ibu bekerja membuat pemberian ASI menjadi kurang baik.
”Penelitian dari World Bank (Bank Dunia) menunjukkan bahwa ibu yang mulai bekerja setelah tiga bulan membuat pemberian ASI eksklusif menjadi drop (berkurang). ASI eksklusif memiliki peran besar untuk mencegah stunting setidaknya mulai dari bayi lahir sampai usia enam bulan,” katanya.
Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu determinan yang memengaruhi penurunan stunting. Namun, data Kementerian Kesehatan memperlihatkan, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan justru mengalami penurunan dari 48,2 persen pada 2021 menjadi 16,7 persen pada 2022.
Endang menambahkan, faktor lain yang juga bisa menjadi penyebab terjadinya tengkes di wilayah urban yakni jangkauan posyandu yang terbatas karena banyaknya ibu yang bekerja. Pemantauan pun jadi tidak optimal, baik pemantauan pada saat masa kehamilan dengan pemeriksaan kehamilan minimal enam kali serta pemantauan berat dan tinggi badan anak yang seharusnya dilakukan setiap bulan.
”Di perkotaan banyak pula populasi pendatang. Itu menyebabkan tidak semua populasi tertangkap di sistem kita sehingga pelayanan rutin yang seharusnya diberikan jadi tidak terakses. Itu sebabnya, kader di puskesmas dan posyandu perlu upaya lebih untuk mendatangi sasaran dari penanganan stunting,” katanya.
Endang mengatakan, strategi penanganan tengkes kini akan diubah dari sebelumnya berfokus untuk mencari anak dengan stunting menjadi mencegah anak untuk tidak mengalami tengkes. Hal ini menjadi amat penting agar kasus tengkes baru tidak terus bertambah.
Baca juga: Mengatasi Masalah Persisten Gizi Masyarakat
Strategi akan dilakukan pada setiap fase intervensi, yakni pada remaja usia subur, ibu hamil, ibu menyusui, bayi yang mendapatkan makanan pendamping asi, hingga anak usia dua tahun.
Setidaknya ada 11 intervensi spesifik yang harus dijalankan, antara lain pemberian tablet tambah darah bagi remaja, perempuan usia subur, dan ibu hamil; pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan anak balita kurus; promosi dan konseling menyusui; pemberian makanan tambahan tinggi protein hewani; pemantauan dan promosi pertumbuhan; imunisasi dasar lengkap; dan pemeriksaan kehamilan.
”Stunting merupakan dampak akumulasi dari suatu proses pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal sejak di kandungan sampai usia dua tahun. Itu sebabnya, jika anak sudah mengalami stunting akan susah untuk mengembalikan kondisinya. Bahkan, sebelum anak berusia dua tahun pun tidak mudah untuk mengatasinya. Jadi, paling baik mencegah sejak kehamilan,” tutur Endang.