Mengatasi ”stunting” atau tengkes ternyata tak semudah menetapkan target di atas kertas. Meski secara nasional prevalensi turun, banyak kelompok perlu diwaspadai.
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Target jangka pendek perpres adalah menurunkan prevalensi tengkes 3 persen per tahun agar mencapai 14 persen pada 2024. Sementara target jangka panjang membebaskan anak usia balita dari tengkes pada 2030.
Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), prevalensi tengkes di Indonesia mencapai 27,6 persen pada 2019. Prevalensi itu turun menjadi 24,4 persen pada 2021 dan menjadi 21,6 persen pada 2022. Namun, ternyata ada banyak kasus stuntingbaru pada usia 12-23 bulan.
Berita utama harian ini (Kompas, 28/1/2023) menyebutkan, jumlah anak tengkes usia 0-11 bulan pada 2021 mencapai 565.479 anak. Saat usia mereka bertambah dan masuk kelompok usia 12-23 bulan, jumlah diharapkan tetap. Ternyata jumlahnya naik menjadi 978.930 anak. Artinya, pada usia 12-23 bulan terjadi banyak kasus tengkes baru.
Tengkes bukanlah sekadar kasus kesehatan. Di dalamnya terkait masalah pendidikan, sosial, ekonomi, geografi, bahkan sumber daya alam setempat. Semakin terpencil dan semakin miskin wilayah, semakin mudah dijumpai kasus tengkes. Di sisi lain, ketimpangan jender, perkawinan anak, kurangnya pemahaman gizi, juga menjadi faktor pemicu tengkes. Belum lagi keluarga yang tidak mau anaknya dinyatakan tengkes sehingga tidak bersedia memeriksakan anaknya.
Sebenarnya sejak tengkes menjadi program nasional, pemerintah telah menggerakkan kader PKK, puskesmas, hingga dokter anak. Namun, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua dokter spesialis anak paham tata laksananya. Demikian juga dengan BPJS mandiri, yang ternyata tidak mengakomodasi rujukan tengkes. Belum lagi kebijakan pemberian biskuit yang rasa dan teksturnya tidak disukai anak-anak sehingga biskuit menumpuk dan kedaluwarsa.
Oleh karena itu, menanggulangi kasus tengkes tidak bisa ditangani sendiri oleh pemerintah, apalagi 2023 dan 2024 ini menjadi tahun politik yang bisa mengabaikan penanganan tengkes. Tanpa upaya percepatan, diperkirakan prevalensi tengkes hanya turun menjadi 21 persen tahun 2024.
Pemerintah juga harus menyelenggarakan program penanggulangan tengkes secara intensif sekaligus ekstensif yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengajak para pihak, termasuk swasta.
Di daerah dengan angka stunting tinggi, pemerintah setempat bisa mengajak perusahaan yang ada untuk membantu mengubah perilaku, sekaligus memperbaiki komunikasi dengan masyarakat dan melakukan pemantauan.