Di tengah gemerlapnya lampu kota dan zaman yang diklaim serba maju, masih ada anak-anak yang tertinggal seribu langkah dan mengalami ”stunting” yang menghambat tumbuh kembang mereka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Tak jauh dari deretan rumah toko mewah, restoran cepat saji, dan gerai kopi waralaba di Jakarta Timur, terselip permukiman padat penduduk di dalam gang-gang sempit. Para kader posyandu datang ke sana setidaknya seminggu sekali. Berbekal alat timbangan dan meteran gulung, para kader rutin mengukur tinggi dan berat badan anak-anak yang mengalami stunting, yaitu gangguan tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Faradila Ayu (3) lahir dengan berat badan normal 2,9 kilogram. Ibunya, Nasihatul Karomah (26), pun dinyatakan sehat selama hamil. Kondisi tersebut mendukung Ayu untuk tumbuh sehat. Namun, Ayu tercatat sebagai 1 dari 11 anak dengan stunting (tengkes) di RW 009 Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Kader posyandu Cakung Barat, Martini, menduga Ayu stunting karena sering membeli jajanan di warung, baik permen maupun makanan ringan. Ayu pun kenyang, padahal jajanan yang ia konsumsi minim gizi. Saat diperiksa di posyandu, berat badan Ayu turun secara konsisten hingga berada di bawah garis merah. Garis merah adalah indikator anak mengalami kurang gizi sedang hingga berat. Garis ini ada di Kartu Menuju Sehat (KMS) yang digunakan untuk mencatat pertumbuhan anak.
”Ayu ikut (program penanganan stunting) pas November 2022. Waktu itu beratnya 9,6 kilogram,” kata Nasihatul, Sabtu (8/4/2023).
Kini berat badan Ayu 11,4 kilogram dan tinggi badannya 89 sentimeter. Pertumbuhan Ayu positif setelah diberi makanan tambahan berupa abon ayam, susu, dan zinc. Pemberian makanan tambahan dan vitamin ini bagian dari program penanganan stunting oleh pihak kecamatan lantas dilanjutkan PT United Tractor (Tbk).
Kunci mencegah stunting adalah konsumsi protein hewani.
Nasihatul mulanya enggan ikut program penanganan stunting. Ia minder dan khawatir dengan omongan orang lain karena anaknya kurang gizi. Setelah diberi pengertian oleh kader-kader posyandu, Nasihatul memutuskan ikut program ini. Kader posyandu juga berjanji membantu menjawab omongan sumbang tetangga.
”Saya juga lihat kalau anaknya enggak diperiksa saja, tetapi kami (orangtua) juga diajari cara nyuapin anak dan diajari soal makanan. Jadi tambah ilmu,” kata Nasihatul.
Ia menambahkan, anaknya kini makan dengan lahap. Anaknya juga perlahan-lahan suka minum susu yang diformulasikan khusus untuk menambah berat badan. ”Dulu Ayu enggak suka susunya. Terus saya coba bikin jadi agar-agar atau saya campur dengan susu lain,” katanya.
Kebiasaan mengonsumsi makanan ringan minim gizi juga diduga menjadi salah satu alasan Rosa (3) mengalami stunting. Kader posyandu, Cory, mengatakan, stunting tampak dari berat badan Rosa yang terus turun dan rambutnya yang berwarna kecoklatan.
Kondisi Rosa perlahan membaik dengan berat 11 kilogram dan tinggi 88 cm. Cory mengatakan, pertumbuhan Rosa positif karena nafsu makannya baik. ”Kami ingatkan orangtuanya agar (anaknya) tidak lupa minum susu, makan abon, dan minum zinc. Kami pantau terus lewat WA (Whatsapp). Ibunya pernah cerita, Rosa cuma mau makan kalau makanannya dibagi dua dengan kakaknya. Kami bilang tidak apa, asal kakaknya dibagi sedikit saja,” ujarnya.
Kemiskinan
Stunting tidak bisa dipisahkan dari kemiskinan. Kondisi ekonomi yang terbatas membuat sebagian orang sulit mengakses makanan bergizi seimbang buat anak. Nurjanah (16), misalnya, mengantongi rata-rata Rp 30.000 per hari untuk biaya makan dia dan Rafka, anaknya yang berumur 15 bulan. Jika tidak sedang beruntung, Nurjanah bisa tidak memegang uang belanja sama sekali.
Hanya suami Nurjanah yang bekerja di rumah itu. Suaminya digaji Rp 185.000 per hari sebagai sopir. Namun, belakangan gajinya dipotong Rp 60.000-Rp 100.000 per hari sebagai biaya ganti rugi usai menabrakkan mobil bosnya saat bekerja. Dengan estimasi sisa gaji Rp 125.000 per hari dan Nurjanah diberi Rp 30.000, suaminya memegang uang Rp 95.000 per hari.
”Itu dipakai dia buat makan, ngopi, beli rokok, beli token listrik, sama untuk (sewa) rumah kontrakan Rp 600.000 per bulan,” kata Nurjanah. ”Suami kuat merokok. Sehari bisa habis Rp 30.000 (untuk beli rokok),” katanya.
Nurjanah pernah memprotes suaminya perihal uang belanja dan uang rokok yang besarnya sama. Namun, suaminya tidak mengindahkan protes Nurjanah. Di sisi lain, Nurjanah butuh uang untuk membelikan makanan bergizi untuk Rafka yang mengalami stunting dan tuberkulosis (TBC).
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, kunci mencegah stunting adalah konsumsi protein hewani. Ini bisa diperoleh melalui ikan berharga murah, tidak melulu mesti daging sapi yang mahal. Ia juga meminta agar orangtua mengalihkan uang belanja rokok untuk makanan bergizi.
”Telur atau ikan yang murah saja. Tidak perlu beli yang mahal-mahal,” kata Hasto (Kompas.id, 16/2/2023).
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6 persen atau turun dari 24,4 persen pada 2021. Pemerintah menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen pada 2024. Untuk itu, angka stunting diupayakan turun 2,7 persen per tahun.
Intervensi yang memberikan daya ungkit langsung pada penurunan stunting ialah intervensi spesifik, yaitu gizi. Meski begitu, mengandalkan intervensi gizi saja tidak lengkap. Perlu intervensi lain pada aspek-aspek yang berkontribusi tidak langsung pada angka stunting. Intervensi sensitif yang lebih bersifat jangka menengah dan panjang ini, antara lain, penyediaan air bersih dan sanitasi, keluarga berencana, pola pengasuhan, dan relasi jender di dalam keluarga.