Teknologi IVUS dan OCT Didorong Jadi Standar Pemasangan Balon pada Jantung
Teknologi IVUS dan OCT belum banyak digunakan di Indonesia meski cara ini lebih presisi dalam pemasangan balon dan stent pada jantung.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
”
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan teknologi IntraVascular UltraSound atau IVUS dan optical coherence tomography atau OCT didorong untuk menjadi standar dalam tindakan kateter untuk pemasangan balon dan stent pada jantung. Tindakan ini penting untuk meningkatkan akurasi saat melebarkan penyempitan pembuluh darah penyebab penyakit jantung koroner.
Dokter spesialis jantung dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Utojo Lubiantoro menjelaskan, tindakan kateter dengan IVUS dan OCT membuat dokter lebih presisi saat mengukur lebar jalur pembuluh darah yang dibutuhkan untuk pemasangan balon atau stent.
Teknologi ini sudah dikenal sejak 1990-an, tetapi belum banyak digunakan di Indonesia. Selama ini tindakan medis umumnya hanya menggunakan kateter yang melihat dari luar pembuluh darah, sedangkan jika menggunakan IVUS dan OCT bisa melihat dari dalam. IVUS menggunakan sensor gelombang suara dan OCT menggunakan sinar infra merah untuk mengukur ketebalan penyempitan pembuluh darah.
Satu kali tindakan IVUS bisa mencapai Rp 30 juta, sedangkan untuk tindakan OCT sekitar Rp 45 juta. Kedua tindakan ini tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
”IVUS dan OCT penting karena langsung melihat dari dalam pembuluh darah sehingga komplikasi yang terjadi selama atau setelah tindakan bisa dilihat secara detail. Kalau angiografi atau kateter hanya melihat dari luar,” kata Utojo dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
IVUS dan OCT juga bisa mendeteksi penyempitan kembali (restenosis) pasca-pemasangan balon (balonisasi), menemukan area kompresi eksternal vena yang cenderung mengarah pada pembekuan darah, dan tidak ada paparan radiasi pengion. Tindakannya pun berlangsung cepat hanya 10-15 menit, tanpa bius anestesi.
Utojo menyebut, salah satu penyebab teknologi ini belum banyak digunakan di Indonesia karena biaya yang mahal. Satu kali tindakan IVUS bisa mencapai Rp 30 juta, sedangkan untuk tindakan OCT sekitar Rp 45 juta. Kedua tindakan ini tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Namun, dokter lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu menegaskan, dokter juga bertanggung jawab untuk menggunakan dan memberikan pelayanan yang presisi dengan meminimalkan risiko walau harganya tidak murah.
”Kalau di negara maju seperti Jepang mereka selalu menggunakan golden standard karena sudah menjadi tanggung jawab moral untuk memberikan yang terbaik. IVUS menjamin kita bekerja dengan baik, hasilnya baik, dan risiko kecil," ucapnya.
Salah satu pasien yang menggunakan IVUS, Gustinawati (54), mengaku tidak mengalami efek samping dari tindakan balonisasi setelah mengalami serangan jantung pada 21 Maret 2022. Saat itu penyumbatan pembuluh darahnya sudah mencapai 90 persen. Setelah setahun terpasang tiga balon di jantungnya, dia hanya mengonsumsi sejumlah obat pengencer darah.
Warga Semper, Jakarta Utara, ini hanya menjalani tindakan IVUS selama 45 menit untuk tiga tindakan balonisasi jantung. Setelah itu menginap di rumah sakit selama 24 jam untuk monitoring pasca-tindakan lalu diperbolehkan pulang.
”Saya masih minum obat, kemudian kontrol sebulan sekali, dan beberapa obat sudah mulai dikurangi sekarang. Sama makanan disarankan untuk tidak banyak makan daging dan gorengan. Sampai sekarang bisa aktivitas biasa tidak sakit lagi,” kata Gustinawati.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit jantung koroner masih menjadi penyakit nomor satu di dunia, termasuk saat pandemi Covid-19. Penyakit ini dapat disebabkan oleh pola hidup yang buruk, seperti tingginya kadar lemak darah, kurangnya olahraga, diet rendah serat, hipertensi, diabetes melitus, dan obesitas.